“Asik... besok Doraemon!! Kamu suka doraemon Ra?” ucap seorang anak saat kami berpapasan di lapangan bola samping kelurahan Ciptomulyo. Ciptomulyo adalah kampung tempatku besar dan tinggal. Sebuah kampung kecil yang diberi julukan “Coban Bau”, karena di gang masuknya terdapat sungai kecil, meski aku lebih suka menyebutnya kalen superbesar tempat bermuaranya segala limbah. Dari limbah pabrik kulit, pabrik rokok, pabrik besi, sampai entah limbah apa lagi, terlalu banyak hingga aku tak mampu menghafal, dan sebab pertemuan sekeluarga limba disana, maka aroma sungainya sangat menyengat. Tapi aku dan seluruh warga kampung disini nyaris terbiasa dengan bau-bauan itu.
Rumah disini sangat padat dan berukuran super kecil, beberapa berjejer tepat di depan Rel kereta api yang mengarah ke stasiun Kota Lama, mungkin hanya berjarak satu meter saja dari rel tersebut. Setiap hari kereta lewat beberapa kali, sama seperti bebauan, suara keretapun sudah terlewat akrab di telinga kami, hingga setiap kali kereta lewat, seolah kami semua tak mendengar suara apapun.
Di lapangan ini, setiap pukul setengah lima sore menjelang, setelah keranjang pastel terakhir selesai kuantar, aku mempunyai sekian menit waktu yang bisa kucuri untuk berpura-pura menjadi bocah TK normal seperti yang lain, yang boleh bersantai di sore hari menjelang maghrib. Namun masa itupun tak sepenuhya mampu kumiliki, aku hanya boleh menonton mereka bertanding bola tanpa ikut bermain. Seperti yang aku bilang aku hanya berpura-pura menjadi bocah TK yang hidupnya normal, kenyataannya hidup yang kujalani sebagai anak TK, tak sama dengan mereka. Hal itu kerap kali membuatku merasa kecil, anak kecil yang ‘kecil’, tersisih, dan minder. Jangan dikira di tempat yang kecil pun tak ada pengucilan.
“Enggak“ Hh.. Doraemon? mana sempat aku mengurus hidup kucing robot bersuara berat itu, hidupku sendiri saja entahlah apa.
Dan Taura kecil saat itu sebenarnya selalu bertanya “Mengapa aku tak boleh menonton doraemon, tapi siapa yang tidak memperbolehkan?” berkutat sendiri dengan pertanyaan itu, tak menemukan jawaban, kecuali setiap pagi kudapati diriku harus mencubiti bagian pinggir pastel basah yang akan dijual dipasar oleh nenekku. Menyusul pertanyaan berikutnya, “Mengapa aku tak boleh memegang bola yang bisa dimainkan oleh bocah-bocah lain setiap sore?” aku juga tak menemukan jawaban kecuali tiap sore aku tetap berkeliling menaruh keranjang-keranjang plastik berisi pastel basah, sisa dagangan yang tidak laku di pasar pada pagi harinya, menaruhnya di warung-warung kecil sekitar kampung untuk dijual kembali.
“Kenapa nggak nonton?”
“Nggak apa-apa.” jawabku dengan merunduk dan suara lirih, aku tak berani menatap anak lelaki ini, bajunya terlalu bagus dan bersih. Aku takut dengan menatap bajunya hanya akan mengotorinya, mengingat bajuku terlalu kotor dan lusuh.
“Kamu nggak punya TV ya, rumahmu kan yang kecil disana itu kan?” Ucapnya sambil mengolok. Sudah kubilang pengucilan itu ada di mana-mana, si kecil mengucilkan yang lebih kecil. Inilah yang membuat sekian menitku di tempat ini seringkali harus kuserahkan pada udara untuk dilebur saja. Aku pulang. Menangis. Menangis untuk apa? Tak pernah kutahu, otak dalam kepala mungilku tak mampu mencernanya, kala itu.
“Lapo kok nangis? (mengapa kok menangis?)” pertanyaan bernada tinggi sebagai sambutan atas kedatanganku di gubug anyaman bambu, atau biasa disebut gedheg, ukuran 3x10 meter, berlantai tanah. “Kamu berkelahi lagi ya, kamu memang bocah nggak tahu diuntung, nyekolahin kamu itu susahnya minta ampun, bukannya makin pinter malah kelahi aja kerjaannya... Masih kecil uda mau sok jagoan!!!” Nenek marah-marah sambil menjewerku, mungkin karena aku tak segera menjawab pertanyaannya. Saat itu aku bingung harus menjawab apa, karena memang tak ku tahu jawabannya. Kubiarkan saja ia memukuliku, kutahan sekuat tenaga agar tangisku tak menjadi-jadi, mungkin nenek sedang lelah, dan orang lelah jadi gampang marah. Tapi mengapa marah padaku?
Aku telah kehilangan fungsi bertanya sejak dulu, sebab tak pernah ada yang sudi menjawab setiap pertanyaan-pertanyaanku mengenai hidup?
Lihat! Nenekku saja lebih suka menghajarku daripada mendengarkan alasanku. Biar aku bertanya pada diriku sendiri, dan biarkan aku percaya dengan jawaban apapun yang kutemukan.
***
Setahun berselang seragamku sudah berubah menjadi merah putih. Tak banyak yang berubah, doraemon yang kabarnya berteman baik dengan Nobita masih ada di RCTI, dan aku masih duduk di atas kursi plastik kecil disamping ranjang kayu tempat nenekku tidur, mencubiti pinggiran pastel lalu sore harinya masih mengantar keranjang-keranjang pastel ke toko langganan.
Sore hari, anak-anak sebayaku tak lagi bermain di lapangan, tapi mengaji setiap sore. Katanya mengaji itu membaca al- Qur’an yang ukurannya lebih besar daripada al-quran di Taman Kanak-Kanak dulu. Iming-iming itu membuatku ingin sekali ikut mengaji untuk bisa melihat al- Qur’an yang berukuran besar itu.
Suatu kali aku membuntuti salah satu bocah seumuranku yang berjalan menuju rumah seorang ustadz pengajar baca al-qur’an dikampungku. Sesampainya di sana ada beberapa anak lain, anak perempuan dan anak lelaki duduk terpisah, mereka memakai baju muslim yang bersih dan berwarna-warni, membawa sebuah tongkat kecil yang juga berwarna-warni. Aku tersenyum-senyum sendiri melihatnya, tanpa terasa langkahku mendekat ke mereka, semakin dekat aku menempel jendela untuk mengintip ada apa didalamnya. Wah, ternyata benar, ada al- Qur’an yang ukurannya lebih besar daripada di sekolah TK-ku dulu, dan tongkat kecil itu ternyata alat untuk menunjuk huruf-huruf arab yang indah. Ya Tuhan, hanya melihatnya saja aku kegirangan. Saat sedang keasikan memandang mereka, tiba-tiba seorang wanita paruh bayah keluar membuka pintu.
“Heh! Arapah cong?” (Hei, ada apa bocah lelaki?) Ia membuka pintu dengan kasar, lalu memakiku dengan nada yang keras. Untung berbahasa Madura, jadi tak perlu kutersinggung karena tak mengerti artinya. Tampaknya ia menangkap gelagatku yang tak memahami bahasanya, ia merubah kalimatnya dengan bahasa Indonesia berlogat Madura.
“Ngapain disini? Dasar anak berandal, mau ngajakin anak-anak biar nggak ngaji. Hush.. hush.. sana pergi.” Dia menyuruhku pergi tak rupa halnya seperti mengusir ayam, bahkan sambil membawa gayung yang untungnya tidak berisikan air. Aku terbirit-birit berlari hingga kakiku yang tak pernah memakai alas kini sedikit berdarah karena terantuk batu.
“Taura, ngapain disana?” Romeo Reichman, dia seorang bocah bule yang tinggal di kompleks perumahan sebelah kampungku, ia mengenalku sebab sering berpapasan saat aku sedang mengirim pastel. Romeo sering memborong pastelku dan membuatku beberapa kali tak perlu susah payah menaruhnya di warung-warung. Romeo biasa dipanggil “Romi” oleh lidah Jawa kami. Sangat tampan dan layak untuk bersombong, tapi justru dialah bocah paling rendah hati diantara bocah-bocah lain dikampung ini yang buluk-buluk itu. Romi satu-satunya bocah yang tak pernah menindasku, tapi juga tak dijauhi oleh yang lain.