Angin dingin menerpa wajah Arga saat ia berdiri di depan bangunan tua di tengah pulau tak berpenghuni itu. Salju turun perlahan, menambah keheningan yang hanya terganggu oleh desir angin dan suara langkah sepatu di atas salju. Elara berdiri di sampingnya, mengamati bangunan itu dengan tatapan penuh pertimbangan. Di tangannya, jurnal tua milik Kaelen yang baru saja mereka temukan di dalam bangunan itu.
"Kalau kau mau mundur, sekarang saat yang tepat," ujar Elara dengan nada tegas. "Antartika bukan tempat untuk orang yang setengah hati."
Arga menelan ludah. Kata-kata Elara menusuk pikirannya, menyalakan kembali keraguannya. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang. Hidupnya selama ini adalah sebuah perjalanan penuh kehati-hatian, langkah-langkah yang selalu dipertimbangkan dengan cermat. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa hidup untuk sesuatu yang benar-benar bermakna.
"Aku sudah sejauh ini, Elara," katanya akhirnya. "Aku tidak akan berbalik."
Elara mengangguk, menghormati keputusan Arga. "Baiklah," katanya. "Tapi apa pun yang kita temukan di sini, ingat bahwa tempat ini selalu punya cara untuk menguji siapa kita sebenarnya."
Mereka melangkah memasuki bangunan tua itu. Di dalamnya, suasana dingin dan gelap menyelimuti mereka. Dinding-dindingnya penuh retakan, dengan sisa-sisa perlengkapan penelitian berserakan di lantai. Sebuah meja kayu tua menarik perhatian Arga. Di atasnya, terdapat peta yang lebih rinci daripada yang ia bawa.
"Peta ini menunjukkan jalur yang lebih spesifik," gumam Arga sambil memeriksa peta tersebut. Tanda lingkaran dengan simbol yang sama seperti di peta tuanya tampak menonjol. Namun, ada peringatan kecil di bagian bawah peta: "Jangan melangkah lebih jauh tanpa izin."
"Apa maksudnya?" tanya Arga.
"Sulit untuk dikatakan," jawab Elara. "Tapi mungkin ini peringatan serius."
Sebelum mereka bisa berdiskusi lebih jauh, suara samar terdengar dari ruangan sebelah. Suara itu seperti bisikan yang hampir tenggelam oleh angin.
"Kau dengar itu?" tanya Arga, nadanya penuh kewaspadaan.
Elara mengangguk, dan mereka melangkah perlahan menuju asal suara. Ketika memasuki ruangan itu, suara itu hilang. Namun, di dinding ruangan, ukiran-ukiran misterius menarik perhatian mereka.
"Ini apa?" tanya Arga, mendekati dinding itu. Ukiran-ukiran itu menggambarkan pola-pola geometris yang rumit, dengan simbol lingkaran di tengahnya.
"Sesuatu yang kuno," jawab Elara pelan. "Aku pernah melihat pola seperti ini di jurnal-jurnal ekspedisi tua. Tapi belum ada yang berhasil menerjemahkan apa arti simbol-simbol ini."
Sebelum mereka sempat mempelajari lebih jauh, lampu senter Elara berkedip dan mati. Ruangan itu mendadak gelap. Arga merogoh sakunya untuk mengambil senter cadangan, tetapi sebelum ia berhasil menyalakannya, sesuatu yang aneh terjadi. Ukiran di dinding mulai bersinar, memancarkan cahaya kebiruan.