JEJAK UJUNG DUNIA

devana
Chapter #4

WARISAN ARKANIS

Saat Arga dan Elara melangkah melewati pintu bercahaya itu, perasaan ganjil menyelimuti mereka. Seolah gravitasi berubah dan waktu melambat. Ketika mereka sampai di sisi lain, pemandangan yang menanti tidak seperti yang mereka bayangkan.

Di depan mereka terbentang sebuah lanskap luas, mirip dengan Antartika, namun tanpa salju. Tanahnya berwarna keabu-abuan, dengan struktur aneh yang mencuat dari permukaan seperti reruntuhan kota kuno. Langit di atas mereka berwarna biru tua dengan bintang-bintang yang tampak lebih dekat, seolah-olah mereka berada di tengah galaksi, bukan di bumi.

"Di mana kita?" bisik Elara, pandangannya terpaku pada keindahan sekaligus kehancuran tempat itu.

Arga tidak menjawab. Dia terlalu sibuk merenungi perasaan akrab yang menyelimutinya. Meski tempat itu asing, ia merasa seperti telah berdiri di sana sebelumnya—entah dalam mimpi, atau dalam sesuatu yang lebih tua dari kenangan.

Mereka berjalan menyusuri jalanan yang penuh puing. Setiap batu yang mereka lewati dipenuhi ukiran simbol-simbol seperti yang ada di struktur batu sebelumnya. Jalan itu akhirnya membawa mereka ke tengah sebuah lapangan besar, di mana berdiri sebuah monumen megah. Monumen itu berbentuk seperti piramida terbalik, mengapung beberapa meter di atas tanah.

"Ini... teknologi yang sangat maju," ujar Elara, suaranya penuh takjub. "Bagaimana bisa peradaban seperti ini hilang tanpa jejak?"

Arga mendekati monumen itu, mencoba merasakan energi yang terpancar darinya. Ketika tangannya hampir menyentuh permukaan halusnya, suara penjaga kembali terdengar, kali ini dari dalam pikirannya.

"Arga, monumen ini adalah inti dari segala sesuatu. Jika kau ingin memahami warisan Arkanis, kau harus mengaktifkannya."

"Aktivasi?" gumam Arga bingung. "Bagaimana caranya?"

"Arga, kau bicara dengan siapa?" tanya Elara.

"Penjaga," jawab Arga sambil menunjuk monumen itu. "Dia bilang aku harus mengaktifkan ini."

Elara tampak waspada. "Dan kau pikir itu ide yang bagus? Bagaimana jika ini jebakan?"

Arga memandangi monumen itu dengan tatapan penuh tekad. "Aku tidak tahu, Elara. Tapi jika aku tidak mencoba, aku tidak akan pernah tahu. Mungkin ini adalah alasan aku datang sejauh ini."

Sebelum Elara bisa melarangnya, Arga meletakkan kedua tangannya pada monumen itu. Seketika, seluruh struktur mulai bersinar, dan lapangan tempat mereka berdiri bergetar hebat.

Saat cahaya dari monumen itu meluas, pikiran Arga terbawa ke tempat lain. Ia tidak lagi berdiri di lapangan, melainkan di tengah-tengah kota yang hidup dan megah. Bangunan tinggi yang berkilauan, jalanan penuh orang-orang dengan pakaian bercahaya, dan langit penuh kendaraan terbang.

"Ini... Arkanis," bisik Arga.

Ia merasa seperti seorang pengamat yang tidak terlihat. Orang-orang berjalan melewatinya tanpa menyadari keberadaannya. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti, tetapi emosinya terasa jelas—kebanggaan, ambisi, dan rasa takut yang samar.

Lihat selengkapnya