Jejak Umbu di Tanah Bertuah

Sika Indry
Chapter #3

Kuda Padi

Sarung tangan, pelindung dada, pelindung lengan, dan perlengkapan lainnya Reo pakai satu per satu dengan pikiran khawatir. Meninggalkan abangnya dengan pelatih perempuan itu membuatnya tidak tenang. Nakula bahkan baru pertama kali mencoba naik ke punggung kuda.

Reo mematung di depan kaca riben yang samar-samar memantulkan bayangan dirinya. Dahinya berkerut dan semakin lama semakin khawatir.

"Apa aku susul aja, ya?" kemamnya.

Reo kembali diam. Menimbang banyak hal dan akhirnya pergi ke lapangan berkuda untuk pemula. Sambil celingukan, Reo berjalan dengan sembunyi-sembunyi menuju lapangan pemula. Dari sela beberapa tumbuhan taman, dia memperhatikan Nakula dan pelatih perempuan itu sedang berbincang. Pastinya perempuan bernama Nai itu sedang menjelaskan beberapa teknik dasar berkuda. Seharusnya demikian.

Reo ingin pergi dan mengabaikan rasa penasaran yang sedang menguasai kepalanya. Akan tetapi, dia gagal. Kepalanya terus memikirkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Nakula? Apakah dia memberikan instruksi dengan benar? Langkah Reo yang hendak kembali ke tempat latihan terhenti di tengah selasar. Dia yang sudah berjalan menuju tempat latihannya terpaksa berbalik kembali untuk menguping penjelasan Nai.

"Membuat kuda nyaman dengan keberadaan kita adalah hal yang paling utama. Sulitnya adalah karena dia hewan, tentu saja kita yang harus pandai menjaga emosi kuda."

"Kalau gagal bikin mereka nyaman kita dibawa lari, ya?"

Nai mengangguk.

"Susah, nih. Coba aja kalau sama gebetan kayak begini."

"Hmmm." Nai tidak mengerti maksud ucapan Nakula.

"Iya. Kalau sama gebetan, dia enggak nyaman sama kita, dia kan kabur sendirian. Kalau sama kuda kan enak, dia enggak nyaman kitanya ikut dibawa pergi."

Dahi Nai berkerut, sementara bibirnya tersenyum aneh.

Nakula meringis sambil menggaruk belakang kepalanya. "Receh, ya? Niatnya sih, bercanda tadi."

"Oh,"

Penjelasan Nakula justru terdengar lebih lucu dari candaannya. Hingga membuat Nai tersenyum simpul.

"Kita lanjutin," ucap Nai membuat Nakula kembali menyimak. "Jadi, ketika naik di punggung kuda, sekali loncat sudah harus duduk di pelana ini. Usahakan jangan terlalu menggebu sampai pas duduk kenceng banget karena hal itu bisa membuat kuda terkejut."

Kedatangan Reo dengan wajah memberengut membuat Nai berhenti bicara dan menoleh. Begitu pun dengan Nakula.

"Reo, enggak latihan? Ngapain ke sini?" tanya Nakula heran.

Bukannya menjawab, Reo malah menjeling pada Nai dengan wajah tidak bersahabat. Nai yang semula melihat balik ke wajah Reo jadi merasa enggan dan mengalihkan pandangannya.

"Yang bener kalau ngajarin!" seru Reo dengan songongnya. Membuat Nakula tersenyum sebelah, tidak percaya Reo akan begitu protektif padanya.

Alis Nai seketika menyatu di tengah dan kembali menatap lugas pada Atlet songong itu.

"Kalau sampai abangku jatuh apalagi cedera, aku tuntut kamu!" ancamnya yang membuat Reo tampak kekanak-kanakan dalam pandangan Nakula.

"Kamu tuh apaan sih, Re? Protektif banget." Nakula bahkan menertawakan kelakuan adiknya. "Abang tuh udah gede. Enggak perlu kamu khawatirin sampai segitunya kali."

Reo beralih pada Nakula. "Ya, kan tetep aja, Bang. Meskipun Abang lebih tua dari Reo, dalam dunia berkuda, ibaratnya Abang itu bayi yang baru lahir."

Seketika Nakula tergelak. Sementara Nai tersedak satu kali. Bukannya itu pengibaratan yang berlebihan. Reo semakin dongkol merasa ditertawakan abangnya.

"Jangan ketawa, Bang! Aku lagi serius ini."

Lihat selengkapnya