Bibir Reo mengesah sekali lagi saat anak panahnya meleset dari papan target. Sejak pagi, entah sudah berapa banyak anak panah yang dilesatkan Reo, tetapi hasilnya cukup buruk. Terlebih efek dari sepakan kuda di bagian dadanya belum sembuh benar. Membuatnya merasakan sakit setiap kali membentangkan busur panah. Terlebih rasa sakit itu kian menjadi setiap kali bayangan aneh berkelebat di kepalanya. Jelas bahwa kuda itu hanya menyepak dirinya, tetapi dirinya merasa telah diinjak oleh kuda berkali-kali.
Nai hanya melihat tanpa berkomentar sepatah kata pun. Semua gerakan yang dilakukan Reo, sama persis dengan apa yang dilakukan kakaknya. Namun, entah mengapa hasilnya berbeda. Kakaknya jago memanah, selalu tepat menganai sasaran. Dulu, Nai dan kakaknya bahkan bisa dengan mudah mendapatkan buah dari pohon dengan panah kakaknya. Akan tetapi, Reo tidak. Seakan papan target dan anak panah yang dia lesatkan adalah kutub magnet yang sama, sehingga saling menjauh saat berdekatan.
"Kamu mau ngajarin aku atau mau ngelamun?"
Saat tersadar dari lamunan, Nai dikejutkan dengan keberadaan wajah Reo yang cukup dekat di depan wajahnya, hingga dia harus menarik kepalanya dan hampir kehilangan keseimbangan. Beruntung, Reo sigap memegangi lengan Nai, sehingga meskipun terperenyak, pantat Nai tidak mendarat dengan keras di lantai karena Reo membantu menahan tubuhnya dari depan.
Reo tersenyum lebar melihat wajah terkejut Nai. Dia bahkan tergelak setelah Nai terduduk sambil melihat sengit ke arahnya. Padahal, Reo sedang berusaha menutupi dadanya yang berdebar. Dia masih seorang laki-laki normal.
"Wajah kamu lucu, Nai," komentar Reo membuat Nai memalingkan pandangannya ke arah lain dengan wajah enggan, sambil menekuk lutut kanannya dan membiarkan kaki kirinya berselonjor.
Melihat hal itu, Reo ikut duduk di sampingnya dan berhenti tertawa. "Lihat! Permainanku kacau banget kan?" selorohnya tersenyum nelangsa.
Nai menoleh dan melihat betapa kesal Reo pada dirinya sendiri.
"Pikiran kamu ke mana-mana setiap kali melesatkan anak panah." Setidaknya, itulah yang dilihat Nai.
Reo menoleh dengan terkejut. Bagaimana Nai bisa tahu tentang hal itu? Meskipun lebih tepatnya, bukan pikirannya yang ke mana-mana, melainkan jiwanya seperti tertarik ke tempat lain dan hal itu seringkali menyulut rasa sakit tanpa alasan di tubuh Reo. Sehingga berimbas pada lesatan anak panahnya.
Reo kembali tersenyum. Menertawakan dirinya sendiri. "Kamu tuh, kayak cenayang."
"Maksudnya?"
"Tahu aja kalau pikiranku ke mana-mana."
Nai berdecih. "Keliatan di wajah kamu kalau kamu enggak fokus."
Reo hanya mengangguk-angguk tanpa alasan. "Ayo latihan lagi! Ajari aku!" Laki-laki itu bangkit. Kemudian berdiri di depan Nai dan mengulurkan tangannya.
Semula Nai mengawasi uluran tangan itu. Memikirkan betapa besar ukurannya. Akan tetapi, setelahnya Nai berdiri sendiri mengabaikan uluran Reo. Lebih dari itu, Nai berlalu begitu saja untuk mengambil busur dan anak panah yang tergeletak di lantai.
Reo menarik tangannya yang diabaikan sambil tersenyum gemas. Ingin rasanya dia memiting kepala Nai. Perempuan itu benar-benar menyebalkan. Padahal ada banyak perempuan yang mengantri hanya karena ingin dekat dengannya. Saat Reo berbalik, Nai bahkan memberinya isyarat untuk mendekat hanya menggunakan jari telunjuknya.
"Kalau aja aku enggak butuh diajarin, udah kukerjain dia," gerutu Reo kemudian memenuhi panggilan Nai.
Saat atlet muda itu sampai, Nai memberikan busur dan anak panahnya. "Stance![1]" perintahnya.
Reo tidak memiliki alibi untuk menghindari perintah pelatihnya yang menyebalkan itu. Akhirnya, dia hanya pasrah mengikuti setiap perintah yang keluar dari bibir Nai.
"Fokuskan pikiran dan bidik papan target!"
Rei kembali menuruti perintah Nai. Namun, setiap kali membidik dan memfokuskan pikirannya, kilasan bayangan itu kembali mengganggu. Hingga tiba-tiba, dia dikejutkan dengan keberadaan Nai di belakang dirinya dengan tangan yang menangkup tangannya.
"Fokus pada papan target!" perintah Nai lugas.
Berdebar. Tentu saja. Reo masihlah laki-laki normal yang jantungnya bisa berlonjakan tanpa aturan jika berada dekat dengan perempuan.
"Bayangan saja wajah Keanu di papan target itu! Panah dia!" ucap Nai asal.
Entah mengapa perkataannya menjelma sihir. Reo benar-benar melihat wajah Keanu di papan target.
"Bidik!" perintah Nai lugas. "Lepaskan!"
Anak panah melesat dan hampir berada di titik tengah papan target.
Nai melepaskan tangan Reo. Dia tersenyum melihat Reo mematung dengan busur panah yang mash terangkat. Laki-laki itu terpegun menatap anak panahnya yang menancap. Itu adalah hasil terbaik yang pernah dia dapatkan. Akan tetapi, ada sesuatu lain yang lebih mengejutkan Reo. Saat Nai membantunya merentangkan busur dan mengarahkan anak panah, bayangan di kepala Reo yang biasanya samar semakin tampak jelas. Anehnya, Reo melihat bayangan seorang laki-laki belasan tahun sedang mengajari anak perempuan yang masih cukup kecil berlatih memanah. Reo tidak mengenali keduanya. Satu-satunya hal yang diingat adalah ikat kepala yang terpasang di kepala remaja laki-laki itu. Juga jari tangan anak perempuan di dalam bayangannya yang berjumlah enam. Seketika pandangan Reo beralih pada tangan Nai.
"Seru banget latihannya. Gabung, dong!" seruan Nakula membuat Nai dan Reo menoleh.
Nakula yang semula berdiri di tepi lapangan berjalan memasuki area latihan panahan. "Mau juga dong, diajarin memanah sama Nai, kayaknya romantis banget," usilnya setelah melihat Nai membantu Reo membidik.
Reo langsung mendelik agar Nakula tidak usil, tetapi abangnya justru tergelak.
"Kamu latihan sama klub kamu sana. Sekarang waktunya Nai ngajarin aku!"