Berbagai jenis sarapan terhidang di meja. Padahal mereka hanya bertiga. Papanya juga jarang pulang karena sibuk bekerja, sedangkan Nakula memiliki menu sendiri. Reo yang melihat hidangan di meja geleng-geleng. Seringkali keluarganya suka berlebihan soal makanan.
“Ayo duduk! Dilihatin aja makanannya,” ucap mamanya yang baru keluar dari kamar.
Reo menarik kursi dengan malas. “Ma, ini masaknya enggak bisa dikurangin apa? Enggak baik tiap hari buang-buang makanan.”
Mamanya hanya tersenyum dan membuat Reo bertambah cemberut.
“Ya udahlah, Re. Kalau takut buang-buang makanan, bungkus aja! Bawa ke EL. Pekerja di sana pasti suka,” celoteh Nakula yang baru bergabung di meja makan.
Mendengar nama EL membuat Reo teringat Nai seketika. Sepertinya ide bagus membawakannya sarapan. Sekadar ucapan terima kasih karena sudah mengajarinya. Saat Reo melamun, Nakula mengambil salad yang dibuat khusus sesuai pesanannya. Ada yang harus dia bicarakan dengan Reo.
“Kemarin habis kamu apain Jola?”
Pertanyaan Nakula membuat pagi Reo yang cerah mendadak mendung. Dia memutar bola matanya dengan malas.
“Masih pagi, Bang. Enggak bisa apa ngomongin yang lain aja?” gerutu Reo membuka piringnya dengan enggan. Tangannya mengambil nasi dan beberapa sayuran. Dia butuh makanan bergizi untuk beraktivitas sebagai atlet.
“Emang Jola kurang apa sih, sampai kamu cuekin terus? Anak orang jangan digituin, kasihan!”
"Dia ngadu sama Abang?" sergah Reo sambil memasukkan irisan brokoli ke mulut dan mengunyahnya perlahan.
"Reo!" tegur Nakula.
"Jola siapa? Cantik enggak?" sambar mamanya yang sedari tadi penasaran dengan percakapan keduanya.
"Udahlah, Ma, enggak usah dibahas. Reo males. Lagian bukan siapa-siapa juga."
"Itu lho, Ma. Duta Pariwisata yang sekarang lagi ada program TV sama Reo."
"Abang apaan, sih, pakai cerita sama Mama segala?" pekik Reo.
"Eh, Reo, enggak boleh gitu sama Abang. Lagian enggak apa-apa kalau kamu sama Jola. Dia cantik dan berprestasi, bagus itu!" dukung mamanya.
"Bagus apanya? Agresif!" gerutu Reo sambil menyendok makanannya setelah berkomat-kamit berdoa.
"Kamu sama Abang kamu itu emang harusnya dideketin sama cewek agresif. Kalian berdua kan lempeng kalau sama cewek."
Nakula tersenyum lebar menanggapi celotehan mamanya, berbeda dengan Reo yang jadi buruk suasana hatinya.
"Atau jangan-jangan kamu naksir sama Nai, ya?" goda Nakula.
"Abang!" Reo malas kalau Nakula sudah mulai mengadu pada mamanya seperti ini.
"Nai siapa lagi?" Mamanya semakin antusias setiap kali kedua putranya membicarakan perempuan. Karena dengan begitu istri pengusaha kaya itu yakin bahwa kedua putranya masih normal.
"Udah, Ma, enggak usah didengerin. Abang suka ngacau kalau ngomong." Reo semakin sewot.
"Ngaco apa ngaco?"
Reo sudah tidak tahan lagi.
"Bang Naku kalau enggak mau diem aku bongkar juga nih, rahasia Abang."
Nakula langsung tergelak. Sepertinya Reo sudah mulai tahu cara menyerangnya balik.
"Rahasia apa nih, kalian berdua? Pakai rahasian dari Mama."
Nakula menghentikan tawanya. "Enggak apa-apa, Ma. Biasa anak muda."
Reo menirukan ucapan Nakula sambil mewek. Nakula kembali tergelak. Lantas diam-diam menatap mamanya. Selain dirinya, mamanya adalah orang pertama yang menyimpan rahasia bersamanya. Tentang sebuah pembunuhan di Sumba dua puluh empat tahun yang lalu. Saat Nakula masih terlalu muda untuk menanggung rahasia menakutkan itu sendirian. Ketika Nakula mengatakan akan melakukan syuting ke Sumba, mamanya sempat khawatir. Namun, Nakula berhasil menenangkan mamanya. Sekarang, dia ingin bercerita tentang Nai, tetapi Nakula harus memastikan dulu bahwa Nai adalah seseorang yang sama, yang pernah terlibat dalam kisah masa lalunya itu.
"Abang hari ini enggak latihan?" tanya Reo sambil bersiap.
"Abang ada syuting sama Jola. Mungkin minggu depan baru latihan lagi."
"Udah bilang sama Nai?"
"Panggil kakak, Reo. Nai itu lebih tua dari kamu, lho."
"Nai enggak protes aku panggil namanya."
"Tetep aja kamu harus ngehormatin dia."
Reo tidak menyahut. Aneh rasanya kalau dirinya harus memanggil Nai dengan panggilan kakak.
"Aku udah bilang kok sama Nai," jawab Nakula untuk pertanyaan Reo yang belum dijawab.
Reo sudah selesia bersiap. Semua perlengkapan sudah dia masukkan ke dalam tas besar miliknya.
"Ya udah, aku berangkat duluan, Bang!" pamitnya lalu salim pada Nakula.
"Enggak bareng Abang?"
"Enggak. Dianter sama Pak Hutar." Reo berjalan menuju mamanya untuk salim. "Ma, Reo berangkat latihan!"
"Hati-hati!"
"Iya, Ma!"
Seperginya Reo, mamanya menghampiri Nakula yang tampak diam melamum. Sebagai seorang ibu, mamanya sebenarnya akhir-akhir ini merasakan gelagat aneh putra sulungnya. Namun, dia berusaha tidak bertanya karena ingin memberikan Nakula waktu untuk berpikir.
"Ada yang ganggu pikiran kamu?"
Nakula melihat mamanya yang mengambil duduk di sofa. Tepat di sebelahnya. Aktor tampan itu mengangguk perlahan.