Jejak Umbu di Tanah Bertuah

Sika Indry
Chapter #9

Melerai Tikai

Setelah beberapa hari dirawat di rumab sakit, Nai akhirnya diizinkan pulang. Karena kekebalan tubuh dan kondisi fisik yang baik, tulang Nai membaik lebih cepat dari kebanyakan pasien yang pernah mngalami cedera tulang. Meskipun begitu, Nai belum diperbolehkan terlalu banyak bergerak. Bahkan, dirinya harus berjalan dengan bantuan penyangga dan semacamnya.

Kembalinya Nai ke EL disambut suka cita oleh pekerja lain. Bahkan, Pak Ramzan sengaja menyiapkan pesta syukuran khusus untuk kepulangan Nai dari rumah sakit. Bagaimana pun, Nai sudah seperti putrinya sendiri. Sudah bertahun-tahun, Nai bekerja bersamanya. Saat awal kedatangannya ke Ibu Kota, Nai masih berusia belasan tahun. Dia dengan berani mengatakan membutuhkan uang dan ingin bekerja merawat kuda. Tentu saja, saat itu Pak Ramzan ragu. Selain karena Nai masih remaja, pekerjaan merawat kuda adalah pekerjaan berat yang penuh resiko. Dia bisa saja cedera, celaka, atau bahkan kehilangan nyawa. Namun, Nai begitu gigih dan bahkan meminta Pak Ramzan memberinya kesempatan untuk membuktikan. Nai juga bercerita bahwa dia bisa melaso karena dulu sering membantu ama-nya yang bekerja sebagai pelaso. Nai tidak sekadar bicara omong kosong. Dia membuktikan kemampuannya dan berhasil mencuri hati Pak Ramzan. Dirinya bahkan sempat disekolahkan oleh Pak Ramzan.

"Selamat datang! Jangan sakit lagi! Jangan celaka lagi!" Pak Ramzan melafalkan doa yang baik-baik untuk Nai.

Nai tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk. Setelah berdoa untuk Nai, mereka langsung membagi makanan. Sayangnya, di tengah acara makan-makan, seorang pekerja datang tergopoh. Memberitahukan ada dua orang sedang berkelahi. Pak Ramzan diikuti beberapa pegawainya bergegas ke tempat kejadian. Sementara Nai hanya menunggu di tempat karena kakinya belum pulih benar.

Setelah syukuran selesai, Nai berniat kembali ke kamar. Namun, di tengah perjalanan, dia mendengar kerumunan pengunjung yang menyinggung tentang perkelahian di arena latihan panahan berkuda. Nama tempat itu membuat Nai langsung teringat Reo dan Keanu. Perempuan itu membatalkan rencana awalnya dan bergegas ke area latihan panahan berkuda. Dia ingin memastikan bahwa bukan keduanya yang berkelahi.

Sayangnya, sepertinya keinginan Nai belum terkabul. Kali ini, Nai melihat Keanu dan Reo berdiri di depan pelatihnya dengan baju dan wajah yang cukup berantakan. Ada luka di wajah keduanya, juga memar-memar yang belum seberapa kentara.

"Kalian ini teman satu klub, bisa-bisanya bertengkar seperti ini. Memperburuk nama klub saja. Bukan bekelahi Reo, Keanu, tapi prestasi." Pelatihnya mengembuskan napas berat. "Sekali lagi saya mendengar kalian berkelahi, kalian akan saya keluarkan dari seleksi kejuaraan."

Keduanya tampak terkejut dan menyesal. Memang kekanak-kanakan, tetapi laki-laki juga manusia.

ԉ

Reo mengulurkan rumput pada kuda miliknya yang telah dikandangkan. Sambil sesekali menepuk-nepuk leher kudanya. Tebersit sesal di hati Reo setiap kali teringat kemarahan pelatih. Namun, dia tidak pernah menyesal telah memukul Keanu. Dia memang pantas mendapat pukulan.

Sesekali luka memarnya terasa perih. Reo merintih lirih. Selain itu, sekujur tubuhnya juga terasa sakit. Bagaimana pun, Keanu dengan tubuh besarnya bukanlah tandingan yang seimbang.

Reo meninggalkan kandang kuda. Dia memilih duduk di bawah menyelonjorkan kaki kirinya dan menekuk kaki kanannya. punggungnya sakit sekali. Sesekali, diusapnya sisa darah di ujung bibir.

Sibuk dengan luka-luka dan pikirannya yang semrawut membuat Reo tidak menyadari kedatangan Nai. Perempuan itu datang membawa kotak P3K dan menghampirinya. Dengan sedikit kesusahan karena Nai harus berjalan dengan bantuan tongkat, perempuan itu berusaha keras duduk di samping Rro yang tampak terkejut melihat Nai sudah duduk di sampingnya sambil tersenyum tipis.

"Mana yang sakit?" tanya Nai sambil mengeluarkan handuk yang basah oleh air hangat.

Reo memalingkan wajahnya dengan bibir terkatup rapat.

Nai mengintip wajah Reo, lalu mengompres beberapa bagian wajah yang tampak memar. Dia menyekanya pelan-pelan, tetapi tetap saja membuat Reo berjingkat-jingkat kecil karena rasa perih dan sakit.

"Kamu tuh kayak anak kecil, pakai berantem segala," lirih Nai.

Reo tidak menyahut.

Nai ganti mengambil plester untuk menutupi luka di bagian wajah dan lengannya. "Lihat! Kausnya sampai sobek."

Reo menoleh mengawasi Nai saat perempuan itu sibuk menempelkan plester pada lukanya dengan kepala menunduk. "Sori!" ucapnya lirih.

Nai mengangkat wajahnya. Dia tersenyum heran. "Sori kenapa? Aku enggak ngerasa kamu berbuat salah sama aku."

"Gara-gara aku ... kamu jadi sasaran anak-anak."

Jemari Nai yang sedang membuka plester terhenti. Reo sudah tahu kalau ini perbuatan teman satu klubnya?

"Dari mana kamu tahu?" Nai kembali menatap Reo yang balik menatapnya.

"Aku denger sendiri obrolan mereka."

Nai menarik tangan Reo dan menempelkan plester ke luka laki-laki itu. "Terus kenapa kamu berantemnya sama Keanu? Padahal dia enggak tahu apa-apa soal ini."

Reo menoleh dengan terkejut.

"Aku bahkan sudah minta Pak Ramzan enggak perlu memperpanjang masalahnya, tapi kamu malah berantem." Nai sudah selesai menutup semua luka Reo.

Lihat selengkapnya