Hari seleksi kejuaraan akhirnya tiba. Mereka akan berangkat ke luar kota selama tiga hari. Namun, sebelum itu mereka akan berkumpul di tempat latihan untuk mendapatkan beberapa arahan.
Sejak sampai Equestrian Lamd dan berpapasan dengan Nai, Reo bersikap seolah keduanya adalah orang asing. Nai benar-benar tidak tahu apa penyebabnya. Meskipun mencoba memikirkannya berkali-kali, Nai masih tidak mengerti, kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga membuat Reo mengabaikannya.
"Keluarkan kemampuan terbaik yang kalian miliki! Ini adalah pertempuran kalian." Setelah mendapatkan wejangan dari Pelatih, Reo dan teman satu klubnya membubarkan diri dari barisan.
Reo tampak diam sendirian di depan kandang kudanya saat Nai sedang mencarinya. Pikirannya sedang kacau sejak dirinya melihat Nai mengobati Keanu di ruang kesehatan. Keduanya tampak akrab dan itu mengganggunya. Dia tidak suka jika Nai juga dekat dengan Keanu, saingannya.
"Teman-teman kamu sudah berkumpul di depan."
Suara Nai membuat Reo menoleh sekilas, kemudian kembali mengabaikannya dan berpura sibuk dengan kudanya. Nai tersenyum kemudian menggandeng tangan Reo dan membawanya menjauh dari kandang kuda. Di bawah pohon, tempat mereka biasa berbincang, Nai meminta Reo duduk. Meskipun Reo tidak berkata sepatah kata pun, Nai masih tetap memperlakukannya dengan baik. Perempuan itu mengeluarkan plester dan meraih jemari Reo yang penuh luka karena terlalu sering berlatih memanah.
"Aku udah bilang, hati-hati sama jari kamu. Jangan sampai mencederainya. Kalau sampai enggak bisa memanah gimana?" celoteh Nai pelan sembari merekatkan plester dengan benar.
Reo masih bungkam, tetapi mendapat perhatian seperti ini dari Nai membuat hatinya goyah. "Apa kamu selalu seperti ini?" tanya Reo pelan.
"Seperti ini gimana maksudnya?" tanya Nai balik. Dia belum mengerti arah pertanyaan Reo.
"Mengobati siapa pun yang terluka."
Nai tersenyum, kemudian menggeleng. "Aku hanya baik pada orang tertentu."
"Selain sama aku dan Keanu, sama siapa lagi?"
Raut Nai berubah seketika saat Reo menyebut nama Keanu. Atlet dua puluh empat tahun itu memalingkan wajahnya saat Nai melihatnya dengan terpegun.
Nai tersenyum tanpa suara. "Kamu lihat aku ngobatin Keanu?" tebaknya menanggapi dengan tenang.
Reo menunduk sambil mengangguk.
Nai memutar duduknya hingga bersisian dengan Reo. Pandangan Nai berkitar pada hamparan perkebunan di belakang Equestrian Land.
"Mau denger sebuah rahasia enggak?"
"Rahasia?"
Nai mengangguk saat Reo menoleh padanya. "Tapi kamu harus janji bakal menjaga rahasia ini."
Reo diam sejenak, lantas mengangguk.
Tatapan Nai menerawang jauh ke beberapa tahun silam.
"Sebelum ketemu kamu, aku terlebih dulu ketemu Keanu."
"Keanu Alditama?" Reo menyebutkan nama panjang teman satu klubnya.
Nai mengangguk yakin. "Dia ... dulu enggak seperti sekarang. Dia juga mengalami waktu yang sulit seperti kamu. Selalu disudutkan dan dirundung seniornya. Tapi ... waktu itu dia masih gabung di klub lain."
Reo menyimak dengan seksama.
"Sampai akhirnya kami bertemu. Seperti yang aku lakuin sama kamu, aku akhirnya jadi pelatih panahannya."
Reo tampak diam sambil menatap tanah. "Seberapa dekat hubungan kalian?"
Nai kembali menoleh dan Reo ikut menoleh ke arahnya dengan wajah gelisah. Nai berusaha menelisik, ada apa dengan laki-laki di depannya itu.
"Kenapa bertanya begitu?"
Reo kembali menjauhkan pandangannya dengan gerakan tidak tenang. "Aku enggak tahu kenapa, tapi itu mengganggu pikiranku," akunya.
Nai kembali menatap kuda-kuda yang sedang disiapkan oleh pekerja lain yang bersiap mengantar pengunjung berkeliling perkebunan.
"Kenapa kamu merasa terganggu?" tanya Nai kembali.