Isi surat yang Nai dapat dari inna-nya terus mengganggu pikirannya. Hutang keluarganya mungkin tidak terlalu besar bagi orang lain, tetapi jumlah itu cukup besar bagi keluarganya. Terkadang Nai suka menyesali sikap ama-nya yang membawa kabar uang Maramba Mette. Sejak hari itu, hidup keluarganya jadi tidak tenang. Sekarang, jalan keluar yang nyata di hadapannya hanya ada dua pilihan. Pertama, membiarkan adiknya menjadi istri ketiga kaweda kaya itu. Kedua, Nai harus menikah dengan Umbu Kiedu. Seseorang yang suka gonta-ganti perempuan karena merasa kaya.
Seseorang tiba-tiba menutup kedua matanya dari belakang. Nai diam. Tidak pernah ada yang bersikap seperti ini padanya kecuali kakaknya. Itu pun saat Nai masih kecil. Lumrahnya, kenangan usia belia itu mudah terlupa. Akan tetapi, tidak bagi Nai, karena kenangan bersama kakaknya begitu singkat, maka kenangan-kenangan itu justru begitu membekas.
"Tebak siapa?"
Nai tersenyum karena sudah jelas siapa pemilik suara itu.
"Lepasin, Reo! Ntar kalau ada yang lihat kamu bakal digosipin yang enggak-enggak."
Reo melepaskannya dan duduk di sisi Nai. "Kamu pasti ikutan baca gosipku sama Jola. Nyebelin emang dia. Ngapain nyebut-nyebut namaku di wawancara."
Nai tersenyum mendengar gerutuan Reo. "Enggak boleh begitu sama perempuan. Kalau kamu jatuh cinta sama dia ntar nyesel, lho."
Reo melirik Nai dengab sebal. "Siapa juga yang mau jatuh cinta sama dia."
"Enggak boleh begitu! Kita itu enggak pernah tahu siapa jodoh kita. Kalau ternyata dia jodoh kamu gimana?"
"Ini kenapa jadi ngomongin Jola, sih? Enggak ada pembahasan lain? Ngomongin dia tuh, bikin suasana hatiku memburuk." Reo semakin sewot dan Nai memilih untuk mengalah.
"Dia kurang apa sih, emangnya?"
Reo mengembuskan napas kesalnya. Kemudian menoleh pada Nai dan menatap lugas ke dalam dua manik mata Nai.
"Kurangnya Jola cuma satu," Reo mengambil jeda tanpa mengalihkan kedua matanya dari Nai. "Dia bukan kamu!" ucapnya serius.
Keduanya terdiam beberapa saat, hanya saling tatap. Berusaha menyelami mata dan hati masing-masing. Namun, Nai berpaling dan tersenyum hambar.
"Siapa pun yang dapetin kamu nanti, semoga bisa bahagiain kamu," doa Nai tulus. Membuat Reo melenguh kesal sekaligus frustrasi. Dengan semua pembicaraan itu, Nai masih saja berbelok-belok.
"Terserah kamulah!" seloroh Reo menatap depan dengan kesal.
Sesekali Nai menoleh pada wajah Reo yang tampak cemberut. Bibirnya berusaha tersenyum meskipun hambar. Nai tidak bisa terlalu jauh memasuki kehidupan Reo. Nai harus segera kembali ke tempat asalnya untuk menyelesaikan masalah keluarga. Cepat atau lambat, Reo dan dirinya akan kembali menjadi dua orang asing di dua tempat yang berbeda. Dua tempat yang berjarak. Dua tempat yang berbeda adat dan budayanya.
Meskipun kesal, Reo masih saja kepikiran kondisi kaki Nai. Dia ingin mengabaikan rasa penasarannya, tetapi tidak bisa.
"Kaki kamu udah baikan?"
Nai menoleh, kemudian mengangguk. "Jauh lebih baik."
Reo mengangguk-angguk dan kembali melihat ke depan.
"Aku udah baikan sama Keanu," lapor Reo.
"Oh, ya?" Nai tampak berbinar.
Reo menoleh dan melihat rona bahagia di wajah Nai. "Senang?"
Nai mengangguk-angguk berkali-kali. Lantas seperti menular, senyuman Nai membuat Reo ikut tersenyum.
"Nyebelin!" seloroh Reo.
Nai hanya tersenyum.
"Oh iya, kamu pernah janji mau cerita, kenapa kamu enggak ngewujudin mimpi kamu jadi atlet panahan berkuda?"
Nai mengalihkan pandangannya. "Di tempat asalku, hanya kaum laki-laki yang boleh berkuda. Bagi masyarakat kami, perempuan dianggap tabu mengendarai kuda. Cepat atau lambat, pada akhirnya aku akan kembali ke sana. Jadi, mau tidak mau, harus ngikutin aturan di sana."
"Serumit itu? Kenapa enggak dibikin sederhana aja? Pindah aja dari sana. Menetap di sini misalnya, sama aku."
Nai tersenyum lirih. "Jiwaku ada di sana, Reo. Akan sulit pergi dari tempat itu."