"Saya pamit, Mas. Mulai besok, saya mungkin tidak bisa mengajari Mas berkuda lagi."
Kalimat yang diucapkan Nai benar-benar mengganggu Nakula selama meeting dengan kru. Seminggu lagi, mereka harus benar-benar pergi ke Sumba. Namun, entah mengapa masa lalu seakan berpusara kembali dalam kehidupan Nakula.
"Ada laki-laki yang akan menikahi saya. Namanya Umbu Kiedu."
Nakula meresah. Dari sekian banyak laki-laki, mengapa harus Kiedu. Tidak adakah laki-laki di Sumba.
"Tolong rahasiakan ini dari Reo ya, Mas! Saya ingin dia menjalani kehidupannya seperti dulu."
"Itu enggak akan mudah buat Reo, Nai."
"Akan lebih tidak mudah jika Reo terlibat dalam kerumitan masalah yang saya hadapi.”
Meeting selesai. Nakula langsung keluar dari ruangan untuk mencari udara segar. Saat melewati lobi, televisi yang menggantung di salah satu sisi memberitakan kemenangan seorang atlet dari kejuaraan panahan bekuda. Nama Aryo Pamungkas disebut-sebut, bahkan wajahnya muncul dalam sesi wawancara dengan wartawan. Nakula tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya, Nakula tidak bisa datang ke kejuaraan Reo. Untunglah adiknya akhirnya menang setelah banyak usaha yang telah dia lakukan selama ini.
ԉ
Mama Reo berdiri di depan pintu kamar Reo sambil menempelkan telinganya ke sisi pintu. Entah apa yang terjadi dengan putra bungsunya. Dia baru saja sampai dari kejuaraan, tetapi pulang-pulang langsung masuk kamar dan berteriak-teriak. Bahkan terdengar bunyi benda-benda yang dilemparkan atau mungkin dibanting. Mamanya benar-benar bingung. Bukannya dia memenangkan kejuaraan, anehnya dia malah terlihat marah seperti sedang kesal.
"Reo, kamu kenapa, Nak?" Suara mamanya seperti terbawa angin lalu dan tidak dipedulikan. Perempuan yang melahirkan Nakula dan Reo itu berkali-kali berusaha menghubungi putra sulungnya dan menceritakan keadaan Reo. Membuat Nakula meninggalkan meeting dan segera pulang.
"Ma, Reo kenapa?" tanya Nakula saat baru datang. Ransel yang dibawanya dia letakkan di lantai begitu saja. Dia ikut mendekat ke pintu kamar Reo dan menyimak suara berisik dari dalamnya.
"Mama enggak tahu, Naku. Adik kamu dateng-dateng langsung marah-marah begitu."
Nakula memutar pegangan pintu Reo berkali-kali. "Reo! Reo! Buka pintunya! Abang mau ngomong."
Nakula juga diabaikan. Maka, dia memikirkan cara lain dan terlintas ide bertanya pada Pak Hutar. Bukankah Pak Hutar yang menjemput Reo di Bandara. Nakula pun bergegas mencari Pak Hutar ke pos satpam. Biasanya Pak Hutar sedang mengobrol bersama Satpam jika tidak ada pekerjaan.
"Pak Hutar! Pak Hutar!"
Rupanya Pak Hutar sedang melamun di teras. Karena tidak memberikan tanggapan atas panggilannya, Nakula menyentuh pundaknya. Barulah Pak Hutar tersentak dari lamunannya.
"I-iya, Den. Kenapa?"
"Pak, saya mau tanya. Tadi sebelum ke rumah, Reo sempat mampir ke tempat lain enggak?"
"A-anu, Den. Tadi Den Reo minta mampir ke EL. Tapi, habis itu pas keluar udah kayak kesal gitu mukanya," jelas Pak Hutar.
"Astaga! Dia pasti marah karena Nai enggak ada di sana." Nakula bergegas ke kamar Reo kembali. Sementara Pak Hutar justru mematung.
“Nai tidak ada di EL,” ulang Pak Hutar lirih
Nakula bergegas mencari kunci cadangan kamar Reo yang disimpan mamanya. Dia tidak perlu meminta persetujuan Reo untuk membuka kamar adik semata wayangnya itu.
"Abang masuk, ya!" Itu bukan permintaan izin, melainkan pemberitahuan.
Nakula menerobos masuk dan menemukan Reo duduk di sebelah tempat tidur dengan wajah dan rambut berantakan. Sementara beberapa barang-barang di dalam kamar Reo berantakan di lantai seperti baru saja terkena angin ribut.
Aktor yang tidak lagi muda itu mendekati adiknya dan duduk bersila di dekat Reo.
"Reo!"
"Dia bohong sama Reo, Bang." Reo tampak sangat kesal. "Dia bilang mau ngasih jawaban Reo kalau Reo pulang bawa kemenangan. Tapi apa, dia malah pergi dan enggak tahu ke mana. Memang apa susahnya sih, pamit sama Reo. Dia pikir cuma dia perempuan yang ada di hidup Reo. Masih banyak!"
Nakula sedih, tetapi juga ingin tertawa.
"Abang malah ketawa?" protes Reo.
"Ya, gimana, Re? Kamu tuh, lucu tahu enggak."
Reo menutupkan telapak tangan kirinya di kedua matanya, lalu menangis seperti anak kecil. Dia tidak bisa lagi menahan kesal di hatinya. Membayangkan bahwa esok di hidupnya tidak akan ada lagi Nai yang bisa dia temui membuat Reo merasa takut.
"Reo!" Nakula agak panik.
Reo malah menangis semakin keras saking kesalnya.
"Hei, udah dong, jangan nangis!"
Reo tidak peduli dan tetap menangis dengan keras. Mamanya bahkan sampai datang dengan tergopoh dan Nakula memberi isyarat agar mamanya membiarkan Reo. Nakula pun hanya menepuk pundak Reo pelan-pelan. Yang dibutuhkan Reo adalah meluapkan kekesalannya. Meskipun terlihat kekanak-kanakan, tetapi beginilah manusia. Mereka punya cara masing-masing untuk melegakan hati yang sesak. Termasuk menangis. Meskipun Reo seorang laki-laki, bukan berarti dia tidak berhak menangis. Laki-laki juga punya kantung air mata, tidak hanya perempuan.
ԉ
Sudah tiga hari sejak pulang dari kejuaraan, Reo lebih banyak mengurung diri di kamar. Hanya sesekali keluar, itu pun hanya untuk berdiam diri di tepi kolam renang. Menatap kosong ke arah genangan air kolam. Mamanya sedih melihat kondisi putranya, begitu pun dengan Nakula.
"Lihat adikmu itu, enggak bersemangat hidupnya. Memang Nai itu siapa, sih? Berani-beraninya gantungin perasaan anak Mama kayak gitu."
Nakula meneguk jus buatan mamanya dan meletakkan gelas kosong di atas meja kembali. Dia berjalan ke belakang mamanya dan merangkul perempuan itu dari belakang. Menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu kanan mamanya.
"Nai itu mawinne[1] dari Tanah Bertuah, Ma."