Jejak Umbu di Tanah Bertuah

Sika Indry
Chapter #13

Jejak Rasa di Tanah Sumba

Perjalanan menuju Sumba terasa lama karena keberadaan Jola yang terus mengganggunya dan berusaha dekat meskipun Reo berusaha keras mengusirnya. Perjalanan udara, laut, dan darat jadi semakin memusingkan. Padahal, Jola datang untuk keperluan syuting bersama Nakula. Bukan malah sibuk mengganggu Reo. Kalau bukan karena Nai dan kilasan bayangan di kepalanya, Reo tidak akan pernah menjebak dirinya sendiri berada satu perjalanan dengan Jola.

Setelah menempuh berjam-jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di Sumba Timur. Untuk menuju Sumba Barat, mereka akan menempuh perjalanan darat.

"Pemandangan Sumba menakjubkan," puji Nakula saat duduk di sebelah Reo yang sengaja minta bertukar tempat duduk. Setidaknya, Reo sedikit lega karena tempat duduknya dan Jola disekat Nakula.

Mobil mulai memasuki jalanan Bukit Warinding. Seketika tatapan Reo teralihkan oleh keelokan alam Sumba itu. Perbukitan yang memukau. Akan tetapi, ada yang lebih menakjubkan dari semua itu. Tentang keberadaan tempat yang dilewatinya saat ini di dalam mimpinya. Tidak sama persis, tetapi nyaris sama.

"Reo! Reo!"

Reo tidak lagi menggubris panggilan kakaknya. Kepalanya sedang dibingungkan oleh banyak hal yang mengganggu di setiap tidur malamnya. Banyak hal yang selama ini hanya dia anggap sebagai bunga tidur. Anehnya, semua tempat yang tampak di dalam mimpi-mimpinya kini benar-benar nyata. Pertanda apa itu sebenarnya?

"Umbu Naku, apakah hidup di kota menyenangkan?"

Saat melewati sebuah jalan, dalam bayangannya Reo melihat dua remaja laki-laki sedang berbincang. Satunya berkuda sendiri, satunya berkuda berdua. Dua dari mereka adalah orang-orang yang biasa muncul dalam bayangan di kepalanya. Namun, seseorang yang lain sepertinya sangat mirip dengan seseorang yang dia kenal. Reo menoleh pada kakaknya.

Umbu Naku? batinnya.

"Bang, Abang bilang pernah ke Sumba?"

 

Nakula terkejut mendapat pertanyaan mendadak.

"Kapan terakhir kali Abang kemari?" Reo memperjelas pertanyaannya.

"Kapan, ya? Sekitar dua puluh empat tahun yang lalu. Tepat di hari kelahiran kamu."

Reo mengangguk-angguk gamang.

"Kenapa tanya soal itu?"

"Enggak apa-apa, Bang. Tanya aja. Apa ... kebetulan Abang pernah naik kuda lewat jalanan ini?"

Nakula langsung menatap berkitar. Pernah, memang. Bersama Umbu Reo.

"Kayaknya pernah," jawab Nakula ragu. "Kenapa?"

"Sama siapa?" cerca Reo.

Hati Nakula kembali gundah. "Teman," jawabnya berusaha tersenyum.

"Namanya siapa?"

"Kalau Abang sebutkan pun kamu enggak akan kenal." Nakula memalingkan wajahnya.

Reo kembali menatap jalanan. Semakin jauh perjalanan yang mereka tempuh, semakin nyata berbagai macam keanehan yang ditemukan Reo. Ada apa sebenarnya dengan hidupnya?

ԉ

Mobil rombongan memasuki kampung adat di daerah Kodi Bangedo. Riuh, masyarakat telah bersiap menyambut mereka dengan tarian woleka dan tradisi hongi atau cium hidung.

Salah seorang peserta menyeret Reo ikut bergabung dalam tarian. Saat itulah, Reo kembali merasa terseret ke sebuah tempat asing yang terasa nyata. Seakan apa yang ada dibenaknya pernah benar-benar dia alami.

"Umbu Naku, ikuti saja gerakanku!" Reo merasa seolah dirinyalah yang mengatakan hal itu. Sementara di depannya, dia melihat sosok abangnya saat remaja.

"Umbu Naku! Umbu Reo!" Kemunculan anak perempuan kecil membuat gerakan tarian Reo seketika terhenti. "Nai ikut!"

Seketika kepalanya pusing dan tubuhnya oleng. Dengan sempoyongan atlet muda itu bergegas keluar dari kerumunan. Reo menepi dan berpegangan di salah satu pohon terdekat. Bayangan itu terlalu aneh. Bagaimana bisa, orang-orang itu terlibat? Apakah ini nyata atau halusinasinya saja? Akan tetapi, dirinya bahkan tidak pernah mengkhayalkan hal aneh semacam itu.

"Reo, kamu baik-baik saja?" Jola menyusulnya dan membuat Reo harus segera bergabung dalam acara kembali, sebelum Jola terus mengganggunya.

Lihat selengkapnya