Seharian ini masing-masing orang sedang sibuk dengan pekerjaannya untuk mempersiapkan syuting yang akan dimulai besok. Termasuk Jola dan Nakula. Hanya Reo yang tampak bersantai di beranda salah satu rumah penduduk yang khusus disewakan untuk rombongan film. Pandangan Reo menyasar ke banyak hal. Pada tulang-tulang dan kepala kerbau yang menggantung, atap menara rumah penduduk yang lain, dan berakhir pada kubur batu yang membuat kepalanya memunculkan kilasan gambar kubur batu di sampng sebuah pohon yang ditumbuhi banyak bunga. Mengingatkannya pada pohon bunga sakura di Jepang.
Reo merasa bahwa apa yang dilihat di kepalanya selama ini bukanlah hal yang sepatutnya dia abaikan. Anehnya, kilasan-kilasan itu seperti sebuah ingatan yang dia lupakan. Meskipun rasanya itu mustahil. Reo tidak memiliki riwayat amnesia. Baik seluruhnya maupun sebagian. Dia masih mengingat kehidupannya bersama orang tuanya dan Nakula, tidak ada kenangan penting yang dia lupakan.
Reo turun dari beranda dan berencana lebih dekat dengan kubur batu di pekarangan. Di antara gelap malam, Reo berusaha mencari jawaban atas keanehan hidupnya. Ingatannya menuntunnya kembali pada peristiwa kemarin sore. Saat sekumpulan orang yang sedang berlatih perang sola hampir saja mengeroyok Nakula dan dirinya. Beruntung Kepala Desa datang dan menyelamatkan keduanya.
Peristiwa itu masih menyisakan tanda tanya di benak Reo. Dia merasa ada reaksi aneh pada dirinya saat melihat Umbu Kiedu terjatuh dari kuda, Reo merasa pernah terjatuh seperti itu. Lantas seperti terinjak kuda, Reo merasakan rasa sakit dan sesak luar biasa di dadanya seakan dirinya sedang sekarat.
Reo mendesah sekali. "Ada apa sebenarnya? Kenapa tempat ini rasanya enggak asing?" tanyanya seakan ditujukan pada diri sendiri. "Sumba yang baru sekali kukunjungi, terasa seperti rumah sekaligus menyelipkan sakit yang enggak bisa kumaknai dengan benar."
Reo berbalik. Bermaksud kembali ke rumah.
"Dari inna kau?" terdengar percakapan antara istri Kepala Desa dengan seseorang. "Katakan pada inna kau, terima kasih."
Reo melihat seorang perempuan menyerahkan beberapa anyaman bakul berisi makanan. Dia terlalu sibuk memikirkan keanehan dirinya sendiri hingga tidak peduli pada siapa yang datang. Namun, saat perempuan itu berbalik dan keduanya bersitatap, tubuh Reo membeku seketika. Dia tidak sedang berhalusinasi bukan? Perempuan itu adalah Nai.
Ketika Reo sibuk menerka, Nai segera mempercepat langkahnya untuk pergi. Barulah setelah Nai menghilang dari tempatnya berdiri, Reo tersentak dan bergegas mengejar perempuan itu.
"Nai!" Semakin dipanggil, perempuan itu semakin mempercepat langkahnya. "Nai!"
Nai tidak peduli. Bagaimana bisa Reo ada di sini? Takdir seperti apa ini?
"Nai!" Reo mencekal lengan Reo dan menghadang dengan napas yang tampak agak terengah.
Nai langsung membuang muka ke samping kanan.
"Ini benar kamu, kan?" tanya Reo memastikan.
Nai berusaha melepaskan tangannya, tetapi Reo menggenggam dengan kuat.
"Kenapa pergi? Apa sulit buat pamit sama aku?" Reo butuh penjelasan.
Nai menyerah meronta karena laki-laki yang lebih muda darinya itu ternyata lebih kuat dari dugaannya.
"Bisa tolong lepasin tangan kamu?"
"Jawab dulu pertanyaanku."
Nai mengalihkan matanya dati tatapan lugas Reo yang tidak beralih dari wajahnya.
"Enggak ada lagi yang perlu dijawab, Reo. Kita berdua ... anggap saja tidak pernah kenal."
"Nai!"
"Maaf."
"Segitu mudahnya kamu minta aku ngelupain semuanya."
Nai memberanikan diri membalas tatapan Reo. "Kita baru kenal sebentar, itu pasti mudah buat ngelupain semuanya."