"Dulu, saat Abang tinggal lama di Sumba, Abang bertemu keluarga yang sangat baik. Mereka adalah keluarga Umbu Reo. Waktu itu dia punya adik perempuan kisaran usia lima tahunan. Namanya Nai Sabira. Nai yang kamu kenal."
Reo mematung di depan kubur batu. Merasa aneh setiap kali mengingat bahwa di dalam kubur batu itu ada jasad dirinya. Bukankah itu mustahil. Jelas bahwa dirinya sedang berdiri bersama raganya. Namun, apa yang mustahil di dunia ini jika Tuhan yang menghendaki. Bukankah semesta ini milik-Nya dan semua kuasa ada pada-Nya.
"Hari itu, Umbu Kiedu dan teman-temannya membunuh Umbu Reo, tapi orang-orang berasumsi lain. Abang masih lima belas tahun dan terlalu pengecut. Abang tidak berani mengungkapkan kebenarannya. Abang takut orang-orang itu juga akan membunuh Abang jika Abang mengungkapkan kebenarannya. Akan tetapi, tepat di hari kepergian Umbu Reo, saat ritual saiso sebagai runutan adat penyucian jiwa orang yang dianggap mati secara enggak wajar digelar, Mama melahirkan kamu. Awalnya, semua baik-baik saja. Sayangnya, beberapa tahun kemudian, kamu mulai bersikap aneh. Kamu mewarisi banyak kebiasaan yang dimiliki Umbu Reo."
Reo mengembuskan napas berat. "Umbu Reo, benarkah bahwa kita adalah orang yang sama? Benarkah bahwa kita ini satu? Tapi bagaimana bisa. Kita menjalani kehidupan masing-masing. Kita memiliki cerita hidup sendiri-sendiri. Bagaimana bisa kita ini satu? Jasadmu terkubur di dalam kubur batu ini dan jasadku berdiri di depannya. Bagaimana bisa satu orang berada di dua tempat berbeda? Bahkan dalam kilasan bayangan di kepalaku, kita memiliki wajah yang tidak serupa. Bagaimana mungkin kita ini satu? Kita dua, bukan?"
Reo merasa frustrasi memikirkan hal yang menurutnya tidak masuk akal. Sayangnya, sesuatu itu membuatnya terpaksa membenarkan segala yang tidak masuk akal. Kilasan gambaran di kepalanya. Kian hari semakin terlihat jelas sejak Reo menapakkan kaki di Sumba. Kilasan aneh berubah serupa ingatan yang dimiliki Reo. Benar, sebuah ingatan. Bahwa semua hal itu nyata pernah dirinya alami.
Sekarang, tampak jelas di kepala Reo, Nai kecil sedang berlari dari kejarannya. Bersembunyi di belakang Nakula remaja. Tertawa riang. Suaranya melebur bersama debur ombak. Begitu pun tawa Nakula, juga tawa Umbu Reo, dirinya?
"Kaka Reo!"
Sebuah panggilan membuat Reo berbalik. Suaranya mirip Nai, tapi jelas yang datang bukan wajah perempuan itu.
"Kaka Reo?" ulangnya seakan memastikan. Bahwa seseorang di hadapannya benar bernama Reo.
"Maaf, siapa?" tanya Reo balik. Dia merasa tidak mengenal remaja perempuan itu.
"Saya Lince, adik Rambu Nai," jawabnya memperkenalkan diri. Wajahnya tampak gelisah dan tergesa.
"Lince, adik Nai?" Reo ingat, nama itu juga tertulis di dalam surat Nai yang masih dia simpan.
"Benar, Kaka. Tolonglah Rambu Nai, Kaka. Umbu Kiedu datang bersama rombongan untuk membelis Rambu Nai."
"Membelis?"
"Memberikan mahar kawin," jelasnya membuat Reo ikut gelisah. “Sekarang, Umbu Kiedu membawa paksa Rambu Nai.”
"Reo, siapa ini?" Nakula muncul dan Reo langsung mendekati abangnya dan membawanya agak menjauh dari Lince.
"Bang, Umbu Kiedu datang membelis Nai.”
"Apa?" Nakula ikut terkejut.
“Kata Lince, Umbu Kiedu membawa paksa Nai ke rumahnya.”
“Lince?” Nakula tidak kenal nama itu. Reo langsung memajukan dagunya ke arah remaja perempuan yang menunggu keduanya dengan gelisah.
“Adik Nai,” jelas Reo. “Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan rahasia itu untuk menolong Nai, Bang."
"Tapi, Reo," Nakula tampak ragu. "Jika keluarga Nai tahu, mungkin mereka akan marah sama Abang dan kamu bisa jadi ikut dilibatkan atas kesalahan Abang."
"Aku tahu, tapi Nai harus diselamatkan dan sepertinya tidak ada cara lain, Bang."
Nakula tampak gamang. Dirinya belum siap mengungkap segalanya sekarang. Jika segalanya mendadak kacau, ada banyak hal dipertaruhkan. Termasuk proses syuting program acara yang dibawakannya.
Reo tampak berpikir keras. "Reo ada ide," cetusnya tiba-tiba.
"Apa?"
"Abang ikut saja! Reo butuh Abang."
Nakula tidak tahu apa yang akan dilakukan Reo, tetapi dia berusaha percaya pada adiknya. Keduanya berangkat ke rumah Nai bersama Lince sebagai penunjuk jalan. Hingga akhirnya mereka sampai dan kehadiran keduanya menyita perhatian Umbu Kiedu yang berusaha menarik Nai. Laki-laki itu tampak geram karena merasa terganggu.