Reo tahu, tidak mudah menguasai permainan sola. Tidak sama dengan panahan berkuda. Namun, ada yang aneh pada tubuhnya. Setiap kali menggenggam sola, Reo merasa ada ikatan antara dirinya dan benda itu. Bahkan, dia merasa telah lama memainkan tradisi berbahaya yang biasanya dimainkan secara berkelompok ini. Apakah ini bagian dari pertanda, bahwa dirinya dan Umbu Reo adalah satu kesatuan?
“Dulu, Umbu Reo sangat mahir bermain sola,” cerita Nakula yang baru selesai melakukan pengambilan gambar tiba-tiba terdengar dari samping saat Reo mematung menatap sabana Sumba yang menghijau. Dia sengaja datang ke tempat Reo berlatih sola. “Umbu Kiedu dan Umbu Reo, mereka berdua adalah ksatria padang pasola. Keduanya bersahabat baik. Enggak tahu kenapa, semuanya berubah hanya karena perempuan.”
Reo melihat abangnya selintas. “Pasti berat buat Abang menyimpan rahasia itu,” ucapnya pelan.
Nakula tersenyum sedih. “Setiap malam, Abang susah tidur dengan nyenyak. Bayangan Umbu Reo saat kesakitan mengganggu Abang setiap waktu. Merasa bersalah, merasa menyesal. Kalau saja waktu itu Abang enggak pengecut, mungkin Umbu Reo bisa selamat. Tapi, Abang cuma bisa menonton teman Abang diperlakukan tidak adil. Abang cuma bisa bersembunyi.”
“Jadi kamu tahu semuanya dari Mas Nakula?”
Suara Nai mengejutkan keduanya. Nakula dan Reo berbalik seketika. Nai menatap keduanya dengan wajah marah dan air mata menggenang.
“Jadi semua yang kamu bilang itu bohong. Kamu dapat kesempatan hidup kedua, itu juga omong kosong?”
“Na-Nai, enggak seperti itu,” Reo hampir mendekati Nai.
“Diam di situ!” hardik Nai membuat langkah Reo terhenti seketika.
Nai beralih menatap Nakula. “Kenapa Mas Nakula enggak pernah cerita soal ini? Dua puluh tahun lebih, Na’a terbaring di kubur batu dengan rahasia yang enggak pernah terungkap. Dan sekarang, kalian membuat drama.”
“Nai, kamu salah paham. Dengerin dulu penjelasanku!”
“Penjelasan apalagi? Dua puluh tahun lebih, kami kehilangan dan bertanya-tanya bagaimana Na’a bisa meninggal setragis itu.” Nai berbalik dan berlari pergi.
“Nai!” Reo hampir mengejarnya, tetapi Nakula mencekal lengannya.
“Biarin dulu!”
“Tapi, Bang,”
“Nai butuh waktu sendiri untuk berpikir dengan tenang.”
Reo mendesah cemas. Terbayang wajah sedih Nai dan air mata yang berusaha ditahan perempuan itu. Nai sangat dekat dengan kakaknya, wajar jika dia semarah itu saat mengetahui kebenarannya.
ԉ
Reo berkeringat dingin. Dia tampak gelisah dalam tidurnya. Laki-laki muda itu sedang bermimpi, dirinya melihat Umbu Kiedu berada di hadapannya dengan menunggang kuda. Tangannya menggenggam sola yang siap dilemparkan ke arahnya.
Srrrt! Sola itu menembus dada Reo. Darah mengucur seperti mata air berwarna merah. Bau anyir merebak, menyengat hidung Reo hingga membuatnya mual sendiri. Dia muntah, tetapi yang keluar juga darah. Sakit sekali, sekujur tubuhnya. Napasnya pun mendadak sesak. Sementara Nai, hanya tampak berdiri di kejauhan. Memandangnya saja, tanpa tindakan. Sesaat sebelum rasa sakit menghancurkan keberaniannya, Nai bahkan berbalik dan berjalan menjauh.
“Nai! Nai!”
Rintihan Reo membuat Nakula yang sedang memeriksa skrip bangkit dari duduknya untuk menghampiri adiknya.
“Reo! Reo!”
“Nai! Nai!” Reo menggeliat gelisah, tetapi matanya tidak mau terbuka.
“Reo, bangun! Reo!”
Reo akhirnya membuka mata. Dia merasakan dadanya sesak dan bergegas duduk. Berusaha mengatur napas agar kembali teratur ritmenya.
Nakula mengambil segelas air putih dan memberikannya pada Reo. “Minum dulu!”
Reo langsung menerimanya. Semburat cahaya dari luar perlahan menerobos celah-celah kayu rumah adat yang mereka tinggali.
“Ada apa? Kamu mimpi buruk?” tanya Nakula ingin tahu.
Reo diam. Menceritakan mimpinya mungkin akan membuat Nakula khawatir. “Enggak apa-apa, Bang.”
Dia memilih bangkit dan pergi ke sumber mata air untuk mengambil air wudu. Dia harus menunaikan salat Subuh.
Usai melaksanakan kewajibannya, dia kembali teringat pada Nai dan rencana perang solanya dengan Umbu Kiedu. Reo bertanya-tanya tentang makna di dalam mimpinya. Mungkinkah sebuah pertanda atau ketakutannya saja?
“Enggak bisa, aku harus ketemu Nai!” putus Reo tiba-tiba. Dia berjalan tergesa untuk mencari rumah keluarga Nai. Namun, baru berjalan beberapa langkah, Jola mendadak muncul.
“Mau ke mana?” tanyanya masih tidak ingin menyerah mendapatkan hati Reo. "Aku benar-benar iri sama Nai."
Reo menatap Jola ramah. Senyuman tulus mengembang di bibirnya. "Jangan serakah!" tuturnya tanpa berniat menggurui. "Tuhan udah baik banget ngasih kamu banyak hal. Tuhan cuma enggak ngasih hati aku ke kamu, tapi Dia ngasih hal lain lebih banyak buat kamu."
"Aku tahu. Tapi, satu hal yang enggak dikasih Tuhan buat aku itu benar-benar penting."
"Itu serakah namanya."
Jola menjatuhkan pandangannya sejenak, lantas kembali meranggulkan dagunya. "Sekali lagi, enggak bisakah kamu memberiku kesempatan? Pikirin dulu aja sekali."
Reo menggeleng. "Apa yang aku lakuin saat ini, apa belum cukup jadi bukti buat kamu, betapa berartinya Nai buat aku?" Laki-laki muda itu mengambil jeda. "Jujur aja, aku datang ke Sumba memang buat nyusul Nai. Meskipun belum sempat mencari dan pada akhirnya, Tuhan sendiri yang menuliskan takdir-Nya untuk membuat kami bertemu. Tapi, aku datang ke sini untuk Nai."
"Kamu nyebelin!" keluh Jola sambil menunduk. “Kamu bahkan melakukan hal berbahaya itu buat dia.”
Reo mengangguk. "Maaf. Aku tahu ini kasar, tapi aku memang begini orangnya. Terima kasih sudah menginginkanku."
Jola ingin menangis, tetapi dia sudah berusaha dan sangat sulit memang menggoyahkan hati Reo.
Reo mengulurkan tangannya. “Kita berteman saja. Kalau kamu mau.”
Jola menatap tangan Reo dengan perasaan sedih. Tidak berapa lama, dia mengangkat tangannya, tetapi ragu-ragu. Teringat percakapan dirinya dengan sepupunya. Sepupu yang sejak awal tidak pernah akur dengannya.
“Kamu harus siap patah hati,” nasehat Keanu saat mereka tidak sengaja bertemu di Equestrian Land.
“Enggak ada satu orang pun yang bisa nolak pesona seorang Jola.” Jola sangat percaya diri. Banyak orang mengakui kecantikan dirina di atas rata-rata. Terlebih dengan kepandaian yang dimilikinya.
Keanu menertawakannya. “Itu jika kamu tidak bersaing dengan Nai Sabira.”
“Nai Sabira. Siapa dia?” Jola tidak terima mendengar ada perempuan lain dipuji di hadapannya.
“Cari tahu sendiri. Dia bekerja di sini.” Keanu pergi tanpa menoleh sekali pun.
Setelah percakapan itu, Jola berusaha mencari tahu perempuan bernama Nai Sabira dan mulai mendekatinya. Saat mengenal Nai pertama kali, Jola sangat percaya diri. Kemudian tanpa sengaja dia melihat keakraban Nai dan Reo. Hal itu cukup mengejutkan dirinya. Jola rasa, tidak ad ayang istimewa dari Nai selain kemampuannya merawat kuda. Akan tetapi, apakah itu cukup bisa disebut sebagai kelebihan sebagai seorang perempuan.