Reo bertahan dengan bersusah payah setelah terkena lemparan dan tubuhnya oleng hingga kudanya hampir saja tidak terkendali. Beruntung kuda itu masih menurut untuk dia kendalikan. Rupanya Umbu Kiedu berbuat curang. Sesuai peraturan, seharusnya sola yang digunakan berujung tumpul, tetapi Umbu Kiedu justru membuatnya menjadi runcing.
Baik Reo ataupun Umbu Kiedu terengah saling memandang dengan berjauhan. Reo mengusap sesekali darah yang merembas di pipinya. Sementara Umbu Kiedu tersenyum mengejek. Seakan puas telah melukai bocah ingusan dari kota itu.
Di tepi lapangan, Nai sangat cemas. Terlebih ketika sola itu melukai Reo dan membuat laki-laki itu meringis menahan sakit. Darah merah itu bahkan telah mewarnai wajah Reo yang penuh keringat.
"Menyerahlah saja sebelum aku membuatmu sekarat!" ejek Kiedu membuat dada Reo memanas.
Tentu saja tidak ada yang namanya menyerah dalam kamus hidupnya. Tatapan Reo beralih pada sola di tangan Umbu Kiedu yang tinggal satu, sementara dirinya masih memegang dua. Reo tidak ingin membuang kesempatan. Mengabaikan luka perih di pipinya, Reo memacu kuda mendekati Umbu Kiedu yang tampak bersiap ikut maju. Reo bergerak cepat dan sola tumpul Reo mengenai hidung Umbu Kiedu hingga berdarah. Umbu Kiedu serta merta melafalkan sumpah serapah. Kedua matanya bahkan tampak memerah dan menatap garang pada Reo.
Dari dua arah yang berbeda, dua laki-laki beda usia dengan amarah masing-masing itu sama-sama mengambil ancang-ancang. Memacu kuda menuju titik tengah. Titik temu perang yang sesuangguhnya. Membuang rasa takut dan mengedepankan emosi diri. Dalam hitungan detik, keduanya kembali saling serang. Sola terlempar dengan arah berlawanan. Hampir saja, sola Umbu Kideu yang lancip itu menancap di mata Reo. Beruntungnya, dia dengan sigap menangkap sola dan menghindarinya, hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terpaksa melompat dari kuda. Reo terjatuh dengan posisi yang tidak berbahaya.
Sementara Reo berusaha menyelamatkan dirinya dengan berguling di pasir, sola yang dilemparnya justru tepat mengenai dada Umbu Kiedu. Hingga membuat laki-laki itu kehilangan keseimbangan dan berguling di pasir. Laki-laki itu tampak memegangi dadanya sambil merintih kesakitan. Melihat hal itu membuat Reo teringat peristiwa dua puluh empat tahun silam. Umbu Kiedu bukannya kasihan, tetapi malah memacu kuda yang ditunggangi dan mengarahkannya ke arah tubuh Umbu Reo. Menerjang tubuh tidak berdaya itu dengan kudanya sampai berkali-kali. Hingga Umbu Reo tidak berdaya dan sekarat. Dalam ingatan Reo, hari itu Umbu Kiedu menyukai gadis yang justru suka pada Umbu Reo. Keduanya jelas sudah sepakat untuk tidak mempermasalahkan hal itu, rupanya Umbu Kiedu menyimpan dendam dan justru tega melenyapkan nyawa teman dekatnya.
Ingatan itu membuat Reo mendadak berdiri dan berjalan menuju kudanya. Dia melompat ke punggung kuda. Kepalanya kalap. Tiba-tiba dia berniat melakukan hal sama pada Umbu Kiedu. Laki-laki tak berhati itu harus menerima hukuman setimpal atas perbuatannya.
Melihat Reo berada di atas punggung kuda dengan sorot mata garang mengarah pada Umbu Kiedu membuat Nai khawatir. Meskipun dirinya juga marah atas kenyataan bahwa kakaknya telah dibunuh, tetapi Nai tidak ingin Reo melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Umbu Kiedu. Sejenak, Nai melupakan kodratnya sebagai perempuan Sumba. Tanpa berpikir panjang, perempuan itu melompat ke kuda salah satu penonton yang sedang menyaksikan pertunjukan siang itu. Tepat saat itu, Reo memacu kudanya, sehingga Nai memacu lebih cepat agar terlebih dulu sampai di tempat Umbu Kiedu.
Ketika kepala dan hati Reo dipenuhi amarah untuk menghancurkan Umbu Kiedu, dia justru dikejutkan dengan kemunculan kuda lain yang rupanya ditunggangi Nai. Jarak yang cukup dekat membuat Reo yang takut mencelakai Nai terpaksa menarik kekang kuda, hingga kuda berbelok mendadak dan tubuhnya kembali terjatuh berguling di atas pasir.
"Reo!" Khawatir Reo celaka, Nai langsung menghentikan kudanya dan melompat turun. Lantas berlari menghampiri Reo dengan perasaan menyesal.
Tubuh Reo menelentang di atas pasir. Di bawah matahari Sumba menjelang musim penghujan yang tetap saja membuat peluhnya berjatuhan, Reo kelelahan. Sebagian tubuhnya merasa ngilu. Jatuh dari kuda tentu saja menyakitkan. Ditambah dengan ingatan traumatis yang terus menerus muncul di kepalanya. Membuat sekujur tubuhnya merasakan sakit yang tidak jelas asalnya. Sampai akhirnya perempuan itu datang. Bayangannya menaungi wajah Reo dari terik matahari.
"Reo! Reo! Apa ada yang terluka? Reo!"
Reo tidak ingin berbicara. Dia hanya melihat wajah Nai yang mencemaskannya. Lantas, entah dari mana datangnya, seperti ada yang berbisik. Menitipkan Nai padanya. Memintanya menjaga Nai dan berterima kasih untuk semuanya.
"Reo! Reo!" Air mata itu menelisir dari pipi perempuan itu dan menggantung di dagunya. Nai sungguh menyesal telah membuat Reo terjatuh.
Reo mengangkat tangannya perlahan, lantas mengusap basah di pipi Nai. "Jangan nangis! Aku enggak apa-apa."
Nai diam melihatnya. Merasa sangat menyesal telah mencelakai Reo yang memperjuangkannya. Perlahan, Reo bangun dengan tertatih. Pasir pantai menempel di pakaian dan tubuhnya, juga di rambutnya yang agak ikal.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Nai memastikan.
Reo mengangguk. "Kamu enggak pantes nangis." Tangannya meraih tangan Nai dan mengusapkannya di wajah perempuan itu sendiri.