Jejak Waktu Desi

Khaulah
Chapter #1

[1] Perjalanan yang Sia-sia

Sial beribu sial. Desi memukul setir mobil berkali-kali dengan sekuat tenaga. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya sesak. Kedua pipinya basah oleh air mata yang sejak sejam yang lalu terus mengucur.

“Bajingan!!!” jeritnya sekuat tenaga. Untunglah saat itu ia seorang diri di dalam mobil. “Harusnya gue enggak perlu ketemu dia! Buang-buang waktu aja! Ah! Sialan!”

Hari ini, Desi pergi menemui ayahnya untuk meminta restu menikah. Tadinya, Ibu, kedua abang, dan tunangannya ingin mengantar, tapi Desi menolak. Ia ingin menghadapi ayahnya seorang diri. Masih ada banyak hal yang ingin ia katakan kepada pria tua itu. Hal-hal yang tidak mungkin ia sampaikan di hadapan orang lain. Walau dengan berat hati, akhirnya keluarga dan orang terkasihnya memberi izin.

Desi sudah merancang rencana masak-masak. Ia akan datang, mengetuk pintu, meminta restu, dan pulang. Itu saja. Tapi ia juga sudah bersiap. Jika Ayah mengamuk, maka ia akan melawan. Tidak akan ada lagi Desi yang diam ketakutan.

Dan benar saja dugaannya. Pembicaraan sore itu sangat alot.

“Hah! Jadi kamu masih ingat punya Ayah?” tanya pria berusia enam puluh tahun itu dengan ketus. Keduanya sudah duduk di ruang tamu yang sangat mewah, saling berhadapan.

Desi tersenyum kaku. “Aku justru kaget Ayah masih ingat sama aku.”

Aziz tidak menjawab. Ia menatap putrinya dengan tajam. “Mana Tira dan Bima?”

“Kerja.”

“Mentang-mentang udah sukses jadi enggak peduli lagi sama Ayah ya?”

“Sama aja kayak Ayah dulu kan?” Desi tahu benar bahwa perkataannya itu hanya akan memicu peperangan. Tapi ia tidak bisa diam. Pria itu harus tahu dosa-dosanya. “Lebih milih kerjaan daripada keluarga sendiri. Mending beneran kerja, taunya selingkuh di kantor.”

Wajah Aziz memerah. Rahangnya berkedut dan kedua telapak tangannya, yang sudah keriput, mengepal. Desi menanti sambil menahan napas. Seluruh ototnya menegang.

“Mau apa kamu ke sini?” tanya Aziz akhirnya. Walau begitu, ia masih mengepalkan kedua tangan.

“Mau minta restu untuk menikah.”

Aziz menaikkan salah satu alis lalu tersenyum miring. “Oh? Menikah juga kamu akhirnya. Selamat deh! Mana calonmu?”

“Sibuk kerja. Aku enggak bakal lama. Cuma mau tanya, Ayah bersedia jadi wali nikahku atau enggak.”

Aziz tertawa mengejek. “Akhirnya kamu mengakui kalau masih butuh Ayah kan?! Dulu kamu sia-siain Ayah, sekarang kamu datang ngemis-ngemis.”

“Oh, enggak.” Desi tersenyum masam. “Aku enggak ngemis. Aku juga enggak sia-siain Ayah. Justru Ayah yang sia-siain aku, Mas Tira, Mas Bima, dan Ibu. Terutama Ibu sih.”

Aziz membuka mulut, hendak menyahut. Tapi Desi tidak memberinya kesempatan.

“Sudah deh. Itu enggak penting. Intinya, bisa atau enggak? Kalau enggak bisa ya enggak masalah. Masih ada Mas Tira dan Mas Bima yang bisa jadi wali nikahku.”

Aziz melotot. “Jadi begini ya, ajaran ibumu. Enggak ada sopan santun sama sekali. Bertingkah kurang ajar. Sombong.”

Lihat selengkapnya