Jejak Waktu Desi

Khaulah
Chapter #2

[2] Sesuatu yang Tak Terduga

“Lo gila ya?!” bentak Desi setelah keluar dari mobil dan berdiri di hadapan pemuda yang hampir ia tabrak. “Ngapain lo berdiri di tengah jalan begitu?! Udah bosan hidup?!”

“Aku sudah menunggumu dari tadi.” Pemuda itu tersenyum. Wajahnya tampak sangat tampan walau basah kuyup oleh air hujan.

“Udah gila,” gumam Desi sambil mundur perlahan. “Edan.” Ia lalu memandang berkeliling, berharap ada petugas yang menyadari kekacauan ini dan menepi. Sayangnya, jalan tol itu lengang. Tidak ada satu pun kendaraan yang melintas. Padahal, beberapa saat yang lalu, Desi mendengar jerit klakson dari beberapa mobil di belakangnya kala ia banting setir secara mendadak.

Tiba-tiba saja bulu kuduk Desi berdiri. Ia kembali menatap si Pemuda. Selain basah kuyup, tidak ada yang ganjil dari penampilannya. Jangan saja ia membuka mulut. Karena sudah dapat dipastikan isi kepala si Pemuda carut-marut.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Desi langsung berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya. Tangan sudah terulur hendak membuka pintu ketika terdengar si Pemuda berkata, “Aku sudah menunggumu sedari tadi, Desi Dwifarras.”

Gelegar petir menahan jerit histeris yang hampir lompat keluar dari tenggorokan Desi. Ia berbalik lagi, menatap si Pemuda dengan mata melotot. Punggungnya merapat ke pintu mobil. Jantungnya bertalu-talu. Segala jenis pemikiran buruk berkelebat dalam benak.

“Tahu nama gue dari mana?” Desi akhirnya dapat berbicara tanpa gemetar ketakutan. Ia sengaja setengah berteriak untuk mengalahkan deru angin dan hujan.

“Dari sini.” Pemuda itu mengangkat sebuah berkas berwarna kuning yang juga basah kuyup.

“Lo pembunuh bayaran ya? Lo dikirim bokap gue?”

“Bukan.” Pemuda itu menggeleng sambil berjalan pelan mendekati Desi. “Aku dikirim Tuhan.”

Desi melongo. Tentu saja bukan itu jawaban yang ia perkirakan. Sesaat kemudian ia tertawa terbahak-bahak sampai tersedak air hujan.

“Wah! Ternyata lo benar-benar orang gila!”

Pemuda itu malah menelengkan kepala sambil mengernyit.

“Lo kabur dari rumah sakit jiwa mana?”

Tidak ada jawaban. Hanya saja kerutan di kening si Pemuda semakin dalam.

“Lo bisa sampai di sini gimana caranya?”

Masih bergeming. Desi menggerutu. Jelas sekali yang dihadapinya adalah orang gila. Mengapa ia harus repot-repot menginterogasi? Tidak. Seharusnya, sejak awal, ia tidak perlu keluar dari mobil dan langsung tancap gas saja. Bukankah salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan tokoh protagonis dalam film-film misteri dan horor adalah keluar dari mobil ketika terjadi suatu insiden?

Jantung Desi berdegup lebih cepat. Tubuhnya kembali bisa digerakkan dan ia meraih kunci mobil. Bila merujuk pada film-film misteri dan horor dalam bayangannya, adegan selanjutnya setelah si tokoh protagonis keluar dari mobil adalah—

Nope. Nope. Not today,” gumam Desi. “Gue belum mau mati. Nope.” Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera masuk ke dalam mobil.

“Kamu mendapat kesempatan dari Tuhan, sesuai dengan harapanmu.”

Desi menjerit sekuat tenaga. Punggungnya membentur pintu saat ia bergerak liar, berusaha menjauh dari si Pemuda yang tahu-tahu sudah duduk di kursi penumpang.

“Lo— Gimana— Tadi kan lo— Kok bisa—”

“Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus segera mulai! Lebih cepat, lebih baik.”

“Mulai apa?! Gimana cara lo masuk?!” sergah Desi, antara kesal dan takut setengah mati. “Gue enggak dengar lo buka pintu! Lo beneran orang gila ya?!”

“Itu tidak penting. Yang penting adalah—”

Desi tidak mau mendengar penjelasan apa-apa lagi. Gadis itu membuka pintu dan melompat keluar. Ia berlari di tengah hujan menuju bagian bawah flyover. Mungkin saja ia akan menemukan mobil yang melintas dan meminta bantuan pada pengemudinya. Tapi, tiba-tiba pemuda aneh itu sudah berdiri di hadapannya—lagi—dengan ekspresi lelah.

“Bisakah kau berhenti? Ada hal yang lebih penting yang harus kita kerjakan!”

Dengan cekatan, Desi berbalik dan kembali menuju mobilnya. Ia melompat masuk, mengunci semua pintu, menyalakan mesin, lalu langsung tancap gas.

Ia tidak berani menatap kaca spion, takut jikalau pemuda itu ternyata—

“Hati-hati. Jangan ngebut. Jalanannya licin.”

Desi menginjak rem secara mendadak. Bunyi ban berdecit langsung disahuti oleh gelegar guntur.

“LO KENAPA BISA BALIK, HAH?! LO SIAPA?! LO APAAN?!”

Si pemuda menutup kedua telinganya. “Tidak perlu berteriak-teriak. Namaku Lukas.”

“GIMANA LO BISA ADA DI SINI?! LO SETAN YA?! IBLIS YA?!”

“Enak saja!” sergah si Pemuda yang ternyata bernama Lukas. “Aku lebih baik daripada makhluk pembangkang itu!”

Lihat selengkapnya