Sejak Desi berusia dua tahun, keluarganya tinggal di rumah warisan orang tua Atin Prameswari, ibu Desi. Seharusnya, mereka hanya menumpang untuk sementara waktu. Hanya sampai Aziz, ayah Desi, berhasil membeli rumah. Bagaimanapun juga mereka baru saja kembali ke Jakarta setelah beberapa tahun hidup di Palembang, mengikuti Aziz yang dipindahtugaskan.
Satu tahun berubah menjadi lima tahun dengan cepat. Tapi Aziz belum juga membawa keluarganya tinggal di rumah milik sendiri.
“Uangnya belum ada.”
Begitu alasannya setiap kali Atin bertanya.
“Pinjam saja ke kantor atau ke bank. Nanti dibayar dengan potong gaji.”
“Enak aja! Kalau gitu lo sendiri aja sana yang kerja! Gue setengah mati cuma demi keluarga ini. Tapi lo banyak nuntut! Dasar matre!”
“Ini bukan tuntutan! Aku bukan matre! Ini memang udah jadi kewajibanmu sebagai ayah dan suami! Anak kita udah tiga! Sudah beranjak dewasa juga! Tapi kita belum punya rumah sama sekali! Kita belum memberi mereka kenyamanan di rumah sendiri!”
Desi masih ingat penggalan perdebatan orang tuanya bertahun-tahun yang lalu. Walau ia masih cukup kecil (mencuri dengar dari balik pintu kamar Ayah-Ibu), tapi ia sedikit banyak memahami inti pembahasan tersebut.
Dan, memang. Aziz tidak pernah memberikan mereka rumah. Jangankan rumah, sedikit waktu liburnya untuk keluarga saja tidak. Akhirnya, Atin tidak tahan dan menggugat cerai.
Desi sebenarnya suka sekali dengan rumah peninggalan kakek-neneknya. Rumah itu besar dan luas, terletak di sebuah kompleks perumahan elit di Kota Depok. Kamar tidurnya ada lima, kamar mandinya ada dua. Ditambah pula loteng dan tempat mencuci juga menjemur. Daerah sekitar aman dan nyaman. Para tetangga sangat ramah. Suasana tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi mencekam. Benar-benar definisi rumah ideal.
Akan tetapi, tetap saja itu bukan rumah miliknya. Bukan pula rumah milik ibunya semata. Masih ada sepuluh orang paman dan bibi yang juga memiliki hak atas rumah warisan tersebut.
Untuk menghindari salah paham dan perseteruan antar-saudara, Atin bekerja mati-matian dan mengumpulkan uang demi membeli rumah. Ia tidak ingin anak-anaknya turut dimusuhi keluarga besar karena sudah terlalu lama menumpang di rumah warisan itu.
Tapi, butuh beberapa tahun sebelum akhirnya ia berhasil membeli rumah kecil yang sederhana. Dan setelah hidup selama tiga belas tahun di rumah warisan kakek-neneknya itu, Desi akhirnya memiliki rumah sendiri.
Rumah yang dibeli oleh ibunya dengan hasil jerih payah sendiri. Rumah yang hangat dan nyaman hanya untuk mereka berempat.
“Apakah kamu masih tidak percaya?”
Suara Lukas membuyarkan semua kenangan tentang rumah warisan kakek-nenek dan rumah pembelian ibunya yang sudah ia tinggali selama delapan tahun belakangan. Gadis itu mengerjap, mengembalikan fokus.
Hujan sudah benar-benar reda dan langit mulai gelap. Tapi mereka masih duduk termangu di dalam mobil, di tepi jalan sempit yang sepi, tidak terlalu jauh dari warung kumuh di mana Desi menanyakan tanggal dan tahun beberapa menit sebelumnya.
“Ini benar-benar tahun 1992?”
Lukas berdecak tak sabar. “Iya! Kamu sudah bertanya pada wanita penjaga warung itu kan? Mengapa masih belum percaya?!”
“Tapi … kok bisa ….”
Memang sangat sulit dipercaya. Beberapa saat yang lalu, Desi masih melewati flyover kecil di jalan tol menuju Depok. Beberapa saat yang lalu, ia masih berada di bulan November tahun 2022. Tapi sekarang ….
“Ini … mustahil.”
“Baiklah. Terserah padamu saja!” erang Lukas. “Aku tidak peduli lagi apakah kamu percaya atau tidak. Yang terpenting adalah sampai kapan kita akan berdiam diri di sini?”
Desi tidak menjawab. Ia kembali menunduk, menatap layar ponselnya yang mati total. Padahal ia sudah menyambungkan kabel pengisi daya.
“Tidak ada gunanya. Kita sekarang berada di tahun 1992. Ponsel canggih seperti milikmu tidak akan mungkin bisa berfungsi.”
“Tapi kenapa mobil gue masih bisa jalan?”
“Tuhan yang membuatnya tetap bisa berfungsi. Karena kita butuh kendaraan, bukan?” Lukas mendesah. “Lagi pula, secara teknis, mesin mobil sudah ditemukan sejak abad 18-an. Jadi, walau modelnya mungkin terlalu mencolok, tidak akan membuat orang-orang curiga. Paling-paling kamu dikira orang kaya raya yang memesan mobil dengan model khusus.”
“Hape juga sudah ditemukan di tahun segini! Ayo, buat hape gue nyala lagi!”
“Kalau berfungsi, apa yang akan kamu lakukan? Menelepon polisi? Mengirim pesan ke keluargamu? Memangnya bisa?” Lukas berdecak lagi. “Kalaupun ponsel itu menyala, kamu tetap tidak akan bisa menggunakannya. Karena belum ada jaringan empat ge dan lima ge di tahun ini. Paham?”