Gang menuju Jalan Cidodol hampir gelap gulita. Desi merasakan betapa tanah yang licin dan becek membuat ban mobilnya kesulitan melaju. Jantungnya berdebar kencang sementara ia duduk dengan punggung tegak. Ia tidak mau mengalami kecelakaan di tengah malam di tiga puluh tahun yang lalu.
“Desi, bolehkah aku bertanya?”
“Tanya apa?”
Lukas tidak langsung menyahut. Ia justru menatap gadis di sampingnya selama beberapa saat. Kening Desi berkerut dalam, tanda bahwa ia sedang sangat berkonsentrasi. Tangannya mencengkeram kemudi hingga buku-buku jarinya memutih.
“Mau tanya apaan, Luk?”
“Memangnya … pernikahan orang tuamu itu … salah ya?”
“Iya.”
Lukas agak terkejut dengan jawaban Desi yang begitu lugas. Seolah ia tidak perlu lagi berpikir atau menimbang-nimbang.
“Salah siapa?”
Kali ini, Desi tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada jalanan di depan. Tangan dan kakinya masih sibuk berusaha mengendalikan mobil. Tapi otaknya berpacu dengan sangat cepat.
Salah siapa?
Ayahnya—Aziz—jelas bersalah. Pria itu memaksa Atin—ibu Desi—untuk menikah, tapi kemudian tidak berusaha membahagiakan beliau sedikit pun.
Walau begitu, Desi tahu bahwa ada banyak orang yang menurutnya juga salah dalam kasus ini. Seperti kakeknya yang tidak bisa bersikap tegas dan menolak pinangan Aziz. Atau para bude, bulik, pakde, dan pakliknya yang tidak berusaha melindungi Atin sama sekali. Atau Atin sendiri yang tidak bisa melawan atau melapor ke pihak berwenang.
Desi juga menyalahkan para sahabat dan teman-teman satu kantor Atin yang jelas-jelas melihat tingkah laku Aziz tapi tidak berusaha sedikit pun untuk membantu.
“Takdir adalah sesuatu yang … aneh.”
Perkataan Lukas membuyarkan lamunan Desi. Ia mengerjap. Mobilnya sudah berhasil melalui bagian jalan bertanah lengket dan saat ini sedang melaju perlahan memasuki daerah perumahan beraspal.
“Aneh gimana?”
“Tuhan suka bermain-main dengan takdir. Dia bisa saja membuat takdir para manusia tumpang tindih atau saling berjauhan.” Lukas menatap Desi sejenak. “Seperti takdir ibumu. Ada takdir banyak orang juga yang berkaitan dengan takdirnya.”
“Maksud lo, kalau gue ubah takdir Nyokap, berarti bakal ada takdir orang lain yang ikut berubah?”
“Betul.”
“Tapi, Tuhan udah bolehin gue untuk berbuat kayak gitu kan?”
“Betul. Tuhan memperbolehkanmu melakukan apa pun yang menurutmu terbaik. Asalkan bukan membunuh atau memberi tahu kematian seseorang.”
“Gue paham.” Desi mengangguk. Tatapannya sekarang agak nyalang. Untunglah mobil sudah tidak melaju terlalu kencang. “Gue cuma mau fokus sama Nyokap. Gue mau beliau bahagia.”
Lukas mengangguk. “Dan aku akan selalu mendampingimu, Desi Dwifarras.”
Desi tertawa kecil. Ia mengerling pemuda di sampingnya. “Cara omong lo aneh deh, Luk.”
“Aneh?” Lukas tampak kebingungan. “Mengapa aneh? Kukira aku sudah menggunakan padanan kata yang baik dan benar.”
Tawa Desi mengeras. “Memang enggak ada yang salah kok. Cuma … kelewat baku aja.”