“Omong-omong, aku penasaran ….”
“Ya?”
“Sebenarnya, seperti apa keluarga ibumu? Kulihat, mereka sangat harmonis.”
Desi tersenyum kecil. Cahaya lampu kota memantul di bola matanya yang jernih, membuatnya terlihat seperti bintang yang berkelap-kelip. Diam-diam, Lukas merasa kagum.
“Mereka memang harmonis. Gue sudah bilang kalau kakek gue kerja sebagai kepala cabang perusahaan, kan?”
Lukas mengangguk. Ia beringsut, mengubah posisi duduk sehingga bisa menatap wajah Desi lebih jelas.
“Kondisi ekonomi keluarga ibu gue boleh dibilang lebih dari cukup. Kakek gue sering dinas ke luar negeri, dan nenek gue juga aktif di perkumpulan para istri kantor kakek gue,” jelas Desi. “Ibu dan saudara-saudaranya sekolah di SD, SMP, dan SMA yang bergengsi. Kuliah pun enggak main-main. Ada yang di Atma Jaya, Trisakti, Tarakanita, dan Universitas Indonesia. Semua itu kampus keren.”
“Wow ….”
Desi mengangguk. Hingga saat ini, ia pun merasa kagum dengan kehidupan lama ibunya yang sangat makmur dan sejahtera.
“Pakaian bermerek, makanan mahal, liburan di luar kota dan negeri …. Itu semua udah jadi makanan sehari-hari nyokap gue dan saudara-saudaranya,” lanjut Desi.
“Berarti … kakek dan nenekmu sangat menyayangi anak-anaknya, ya?”
“Wah! Sayang banget!” Desi menggeleng pelan. “Nenek gue itu tipe orang yang sangat periang. Suka menyanyi dan menari. Terobsesi sama hal-hal mistis dan gaib. Sayang banget sama anak-anak dan cucu-cucunya. Rajin bikin kue kering dan bronis kukus. Sementara, kakek gue orang paling cerdas sedunia. Fasih empat bahasa asing; bahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Jepang. Hobinya baca buku sambil dengerin lagu. Atau ngerokok sambil lihatin burung-burung peliharaannya.”
“Lalu, bagaimana dengan ibu dan ayahmu?”
“Ibu gue itu perpaduan antara Nenek dan Kakek. Beliau suka baca dan bikin kue. Suka dengerin musik juga. Tapi Ibu enggak seramai Nenek. Beliau cenderung pemalu dan pendiam. Tetap saja, sih, teman dan sahabatnya banyak. Nah, kalau abang kembar gue itu mirip banget sama Kakek. Mereka serius, logis, realistis, walau sebenarnya penyayang. Mereka juga hobinya baca buku. Jarang main keluar sama teman-temannya. Lebih milih di rumah buat baca atau nonton film.” Desi terdiam sejenak, lalu bergumam, “Kalau bokap gue … yah … nanti juga lo tau sendiri.”
Lukas manggut-manggut. Tanpa penjelasan detail, ia tahu bahwa ayah adalah topik yang sensitif bagi gadis itu. Jadi, ia tidak mendesaknya untuk bercerita lebih lanjut.
“Sekarang, ke mana kita akan pergi?”
Desi menggigit bibir bawah, ragu-ragu sejenak. “Gue sebenarnya ada ide. Tapi … masih mentah banget.”
“Lebih baik daripada tidak ada sama sekali, bukan?”
“Bener juga.” Gadis itu mengalihkan pandang sejenak untuk tersenyum pada Lukas. “Oke. Jadi … gue berpikir untuk pergi ke kantor Nyokap aja.”
“Di mana itu?”
“Jalan Wijaya. Enggak terlalu jauh dari sini.”
“Baiklah. Dan … apa rencanamu itu?”
Desi tidak langsung menjawab. Sementara itu, mereka terus melaju di jalanan Jakarta Selatan yang cukup ramai. Pedagang kaki lima menjajakan beragam jenis makanan dan barang, kendaraan yang berlalu lalang, orang-orang bergandeng tangan dan bercengkerama …. Walau begitu, semuanya belum terlalu semrawut seperti di tahun 2022.
Mobil terus melaju hingga tiba di sebuah jajaran ruko kosong. Papan-papan bertuliskan ‘DIJUAL’ dan ‘DISEWAKAN’ tergantung di setiap pintu.
Desi memarkir mobil di depan ruko paling pojok, yang tidak terkena cahaya lampu jalanan. Ia menaikkan rem tangan, membuka semua kaca jendela sedikit, dan mematikan mesin mobil.
“Malam ini kita tidur di sini,” jelasnya kepada Lukas yang memasang wajah bingung. “Karena gue belum punya uang untuk sewa kamar hotel. Semoga aja besok gue bisa dapat pinjaman.”
“Pinjaman? Dari mana? Bank?”
Desi tersenyum misterius. “Lihat aja nanti. Semoga rencana gue kali ini berhasil. Karena yang ini lebih logis dan bisa diterima orang.”
“Kuharap kau benar.”
“Nah, sekarang, gue bisa mengandalkan elo untuk jaga sekeliling kita kan? Maksud gue, jangan sampai ada orang jahat yang mendekat.”
Lukas membusungkan dada sambil tersenyum lebar. “Tenang aja. Aku tidak butuh tidur. Jadi, aku bisa berjaga sepanjang malam.”
Desi membalas senyuman pemuda itu. Sungguh, ia sangat menggemaskan.
“Makasih, Lukas. Gue tidur ya?”
“Selamat tidur, Desi Dwifarras.”
Desi bangun tepat pukul enam pagi. Lukas sudah menantinya dengan senyum lebar, beberapa bungkus roti, dan sebotol air mineral. Setelah menyantap sarapan sederhana tersebut, mereka pun memulai perjalanan lagi.
“Apakah kita akan pergi ke kantor ibumu sekarang?” tanya Lukas, masih tersenyum lebar.
“Yup.” Desi memperlambat laju mobil agar bisa membaca papan-papan tanda jalan. “Kantor bokap gue juga.”
“Oh! Orang tuamu bekerja di satu kantor yang sama?”
“Ya. Di situ juga mereka kenalan dan mulai pacaran.”
“Kamu ... ingin menggagalkan hubungan mereka, ya?”
“Lihat aja nanti.”
“Memangnya, kamu tahu di mana lokasi kantor orang tuamu?” Lukas ikut celingak-celinguk, memperhatikan setiap gedung dan ruko. Kebanyakan masih sepi, beberapa bahkan belum ditempati sama sekali.
“Enggak tahu. Tapi Nyokap pernah cerita kalau nama kantornya itu Samahar. Ada di Jalan Wijaya. Tapi … gue lupa Jalan Wijaya berapa.”
“Perusahaan apa itu?”
“Advertisement,” sahut Desi sambil menghentikan mobil sejenak untuk membaca papan tanda jalan. Setelah memastikan bahwa itu bukan yang ia cari, mobil kembali melaju. “Pemasaran. Nyokap gue kerja sebagai sekretaris. Sementara bokap gue manajer desain grafis.”
“Itu ... hebat kan?”
“Apa?" Desi menatap Lukas sejenak. "Oh, maksud lo jabatan kerja mereka? Iya, lumayan hebat. Gaji mereka udah cukup tinggi untuk tahun ini. Apalagi bokap gue. Karena di zaman sekarang masih sedikit orang yang punya kemampuan desain grafis.”
“Berarti ... kamu anak orang kaya, ya?”
Desi tertawa mendengar pertanyaan polos Lukas. Ia kemudian menggeleng pelan.
“Enggak. Gue biasa aja. Karena bokap gue .... Lo lihat sendiri nanti.”
“Aku jadi semakin penasaran dengan kisah hidupmu.”
“Kisah hidup gue ribet. Rumit. Capek deh kalau lo ikutin dari awal. Kayak sinetron.” Tiba-tiba Desi menghentikan mobil. “Ini dia!”
Lukas ternganga melihat sebuah gedung yang cukup besar. Bentuknya memanjang dengan papan besar bertuliskan ‘Samahar’ di bagian depan. Daerah di sekeliling gedung tersebut cukup ramai, banyak tukang dagang dan rumah-rumah makan.
“Wah! Besar sekali gedungnya!”