“Sekarang, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Lukas saat ia dan Desi sudah berjalan menuju tempat parkir mobil. “Apakah kamu yakin mampu bekerja di sana? Sebagai cleaning service?”
“Yakin,” gumam Desi sambil sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang melihat arah kepergiannya. “Lo lihat aja, Luk. Kali ini gue bertindak penuh perhitungan.”
“Tapi … bagaimana kamu bisa bersandiwara seperti tadi?”
Desi menyeringai. “Hasil latihan bertahun-tahun.”
“Kamu bergabung dalam kelompok teater?”
“Enggak. Gue sandiwara depan keluarga besar Nyokap dan Bokap.”
Lukas mengerutkan kening, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Sejak semalam, entah mengapa, ia merasa sangat gelisah. Tapi, ia tidak mungkin membaginya dengan Desi. Bagaimanapun juga, Lukas merasa iba pada gadis itu.
“Aku tidak melihat ibumu tadi. Atau ayahmu.”
“Bagus deh. Gue bingung kalau ketemu muka. Mending nanti aja kalau udah kerja beberapa hari. Gue kenalin diri sebagai cleaning service.”
Lukas manggut-manggut. “Sekarang, kita akan ke mana?”
“Kita harus cari kontrakan. Dan cari duit untuk makan.”
“Tuhan bisa memberimu roti.”
“Duh, bosan. Gue bukan anak Londo. Gue nih anak Indonesia yang mesti ketemu nasi,” gerutu Desi.
“Apakah kita harus membeli beras?”
Desi mengangguk. “Sama rice cooker.”
“Berarti … kita akan pergi ke pasar?”
“Cari kontrakan dulu deh.”
Tanpa mengacuhkan seru-seruan anak-anak kecil yang mengelilingi mobil mencoloknya, Desi membuka kunci dan bergegas masuk. Lukas menghilang selama sesaat dan muncul kembali tepat di bangku penumpang, di samping Desi.
Gadis itu menekan klakson beberapa kali, membuat anak-anak bersorak gembira. Ia lalu menurunkan kaca jendela dan memberikan segenggam permen kepada mereka. Barulah menyalakan mesin dan melaju pergi. Sengaja mengambil arah yang berlawanan dari kantor Samahar agar tidak ada yang melihat.
“Kalau gue pinjam uang ke Tuhan, bisa enggak?”
“Pinjam? Maksudmu bagaimana?”
“Pinjam … ya, pinjam. Nanti uangnya gue ganti pas gajian.”
Seketika Lukas tertawa terpingkal-pingkal. “Ya, silakan saja kamu bertanya pada Tuhan.”
Desi mengangguk. Buru-buru ia memohon dalam hati agar Tuhan meminjamkannya sedikit uang. Tidak perlu banyak. Yang penting cukup untuk menyewa kamar atau kontrakan kecil selama sebulan, membeli beras, lauk pauk, kompor, rice cooker, dan …. Astaga! Banyak juga keperluannya! Oke. Kalau begitu, cukup untuk kontrakan dan makan sehari-hari saja. Ia bisa membeli nasi dan lauk-pauk di warung makan pinggir jalan, bukan?
“Berhasil enggak?”
Lukas mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Semua itu tergantung kapan Tuhan akan mengabulkan permohonanmu.”
“Biasanya butuh berapa lama?”
“Tidak tentu. Bisa satu detik, tapi bisa juga seribu tahun.”
“Bagus banget,” gerutu Desi. “Lo beneran enggak bisa kasih uang? Gue ternyata butuh banyak keperluan.”
“Aku bukan bank, Desi.”
“Sial.”
Lukas meringis. “Malang betul nasibmu.”
“Ini gara-gara lo datang tiba-tiba! Kalau lo pakai permisi dulu kan gue punya kesempatan buat siap-siap!”
“Sudah kujelaskan, semua itu adalah kehendak Tuhan. Kalau kamu ingin protes, silakan saja protes kepada Tuhan.”
“Tapi kan yang disuruh nemenin gue ke sini lo. Jadi, untuk sekarang, gue marahnya ke lo dulu! Baru ke Tuhan!”
“Sangat tidak masuk akal,” gerutu Lukas. “Lebih baik kamu pikirkan cara untuk mendapatkan uang tanpa merampok—”
Desi menjentikkan jari sambil berseru, “Aha! Itu dia! Rampok bank!”
“Astaga …. Itu dosa, Desi.”
“Itu salah satu trik bertahan hidup, Lukas.”
“Bukan. Itu adalah—”
Desi menginjak rem secara mendadak, membuatnya dan Lukas terempas hingga menghantam dashboard dan kemudi. Terdengar suara klakson dari kendaraan-kendaraan di belakang mereka, disusul decit ban.