Jejak Waktu Desi

Khaulah
Chapter #11

[11] Wajah Familier

Butuh beberapa menit hingga napas Atin Prameswari kembali normal. Dan saat itu, mereka sudah tiba di lantai dua. Pintu lift terbuka dengan denting lembut dan beberapa orang pekerja melangkah masuk. Mau tak mau, Atin harus berdiri berdempetan dengan Desi.

Lukas menjerit-jerit heboh, menyuruh Desi segera melakukan sesuatu; berkali-kali mengatakan bahwa ini adalah kesempatan emas yang tidak akan datang dua kali. Sayangnya, gadis itu bagaikan tuli. Matanya terpaku pada ujung sepatu dekilnya seolah itu hal paling menarik di seluruh dunia.

Ketika akhirnya mereka tiba di lantai satu, Desi buru-buru keluar lift sambil menenteng peralatan kebersihannya. Debaran jantungnya sudah benar-benar tidak terkontrol dan ia khawatir orang-orang sekitar bisa mendengar.

“Tunggu!”

Aduh! Mampus gue! erang Desi dalam hati.

“Ini kesempatanmu, Desi!” bisik Lukas tepat di telinganya. “Lakukan apa yang harus kamu lakukan! Laksanakan rencanamu!”

Diam!

“Tunggu!” Atin menahan pergelangan tangan Desi.

“Jangan pegang, Bu— Eh, Mbak.”

“Oh, maaf!” Atin buru-buru melepas genggamannya.

“Bukan begitu ….” Desi meringis. “Tangan saya kotor. Habis bersihin toilet. Nanti baju Mbak ikut kotor kalau pegang-pegang saya.”

“Ah, enggak kok!”

“Ada perlu apa, Mbak?”

“Kamu ….” Atin mengerutkan kening. Selama beberapa saat, ia hanya terdiam sembari meneliti setiap jengkal wajah Desi. “Saya… kayaknya pernah ketemu kamu. Muka kamu familier.”

Sekali lagi, Desi meringis. Ia tidak tahu harus merasa bersyukur atau takut dengan kekuatan ikatan batin antara ia dan sang ibu. Bahkan, ketika bertemu di masa lalu, beliau tetap bisa mengenalinya.

“Muka saya pasaran, Mbak. Banyak yang mirip mukanya sama saya.” Desi mencoba berkelakar walau keringat dingin terus mengucur membasahi seragamnya.

“Enggak.” Atin menggeleng tegas. “Saya yakin banget pernah ketemu sama kamu. Muka kamu itu … ada di dalam kepala saya. Tapi … saya lupa nama kamu.”

Mampus beribu mampus! Mesti jawab apa gueee …?! pekik Desi dalam hati. Seandainya bisa, ia pasti sudah mengubur diri sejak beberapa menit lalu.

“Nama saya Desi, Mbak.”

“Desi ….”

Bodoh! Seharusnya dari awal gue bikin nama palsu! Bodoh! Bodoh! Bod—

“Kamu dulu sekolah di TK Garuda ya? Atau mungkin SD Asisi? Atau … SD Rawa Kemiri?”

“Enggak, Mbak.” Buru-buru Desi menggeleng. “Saya sekolah di kampung saya.”

“Kampung kamu di mana?”

“Kediri.”

“Aha!” Atin menjentikkan jari. “Kita pasti ada hubungan saudara. Soalnya, eyang putri saya dari Kediri.”

Tolol, Desi! Kenapa pula lo sebut kampung halaman ibu lo sendiri! Harusnya bilang lo dari Kalimantan atau Sulawesi!

“Eyang putri? Wah, kayaknya enggak deh, Mbak,” ucap Desi, berusaha memasang ekspresi santai walau jantungnya berjingkrak-jingkrak tak keruan. “Saya bukan keturunan ningrat, Mbak. Saya cuma anak desa biasa.”

Maafkan aku, para leluhur! Bukan aku menyangkal! Aku cuma terpaksa bohong biar ibuku enggak tahu kalau aku anaknya! jerit Desi dalam hati, lagi.

Lihat selengkapnya