“Apakah kamu benar-benar tidak akan mendekati ibu dan ayahmu?”
Desi mengembuskan napas kasar. “Enggak, Luk! Eng-gak! Lo mau gue pakai bahasa apa lagi? No! Aniyo! Net! Non!”
“Kenapa?” Lukas setengah merengek sebelum menjatuhkan diri secara dramatis di atas meja oval panjang di dalam ruang rapat tersebut. “Bukankah mendekati keduanya dapat membuat misimu berjalan lebih lancar?”
“Enggak! Yang ada malah bikin mereka curiga!”
“Bukankah tidak ada larangan dan batasan? Mengapa kamu begitu takut—”
Desi berdesis sambil melotot tepat saat pintu terbuka dan beberapa orang melangkah masuk. Tiga orang di antaranya adalah Atin, Pak Alex, dan Aziz.
Sambil diam seribu bahasa dan menunduk dalam, Desi bergegas membereskan semua peralatan kebersihan dan melejit keluar ruang rapat. Lukas tentu saja tidak jauh di belakangnya. Pemuda itu melayang menembus dinding layaknya hantu.
“Dengerin gue baik-baik, Lukas,” bisik Desi saat mereka menuruni anak-anak tangga darurat menuju lantai dasar. “Kalau gue cerita yang sejujurnya, ada kemungkinan besar nyokap dan bokap gue enggak percaya. Terutama bokap gue. Dan kalau mereka enggak percaya, apa yang akan terjadi?”
“Mereka akan menyebutmu orang asing yang penuh halusinasi?”
“Lebih parah dari itu.” Desi menggeleng dengan raut serius. “Mereka pasti bakal panggil polisi karena gue pasti dianggap gila.”
Lukas mengerutkan kening. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan?”
Desi sudah hendak menjawab, namun terhenti karena gema langkah berat. Ia berbalik dan langsung berhadapan dengan wajah familier.
“Loh, Mbak Desi?”
“Selamat siang, semua,” sapa Pak Alex. Mata pria itu bergerak untuk menatap peserta rapat satu per satu. “Terima kasih sudah hadir. Hari ini, saya akan menjelaskan strategi sekaligus mengenalkan produk terbaru. Nanti Pak William, dan Pak Aziz juga akan bergantian memaparkan laporan mereka.”
Terdengar gumaman setuju dari para peserta rapat sebelum Pak Alex membuka berkas di hadapannya. Atin duduk tepat di sampingnya, sudah siap dengan sebuah buku catatan kecil dan pulpen berwarna hijau muda.
Rapat berlangsung dengan lancar. Seluruh strategi tersampaikan dengan baik. Beberapa perubahan dibuat demi menyesuaikan dengan dana dan kemampuan divisi.
Atin berusaha keras untuk fokus terhadap catatan rapat yang ia buat. Akan tetapi, ingatan tentang wajah gadis itu terus berkelebat di benaknya.
Siapakah ia? Apa hubungannya dengan Atin? Mengapa ia terasa begitu familier? Mengapa ia terasa sangat dekat dengan Atin? Mungkinkah gadis itu sebenarnya sahabat lama yang terlupakan? Tapi, itu agak mustahil, sebab Atin tidak pernah melupakan para sahabatnya.
“Ada kabar dari Jakarta dan Paris, Tin?” Suara Pak Alex membuyarkan semua pemikiran Atin.
“Katanya, mereka mau diskusi dulu, Pak. Keputusan akhir paling lambat bakal dikasih hari Jumat besok,” sahut Atin dengan sigap.
“Oke. Jangan lupa nanti kamu follow up ya.”
“Siap, Pak.”
“Gimana, Pak Will? Ada tambahan untuk strategi kita ini?”
“Parfumnya untuk remaja, kan, Pak?”
“Ya. Betul.”
“Kalau begitu, untuk model iklannya kita bisa coba pakai Cindy Fatika Sari.”
“Kenapa enggak Lulu Tobing aja? Kan dia juara pertama Gadis Sampul kemarin,” celetuk Bu Anggi, manajer keuangan.
“Nanti biayanya membludak loh. Memangnya Bu Anggi siap?” kelakar Pak Yono, salah satu staf copywriter.
Tawa santai memenuhi ruang rapat. Atin memandang berkeliling dan berhenti pada satu sosok yang duduk dengan bahu merosot dan kepala tertunduk. Aziz terlihat sedikit gemetar. Pelipisnya berkilat oleh keringat. Entah apa yang membuatnya hingga seperti itu.