Jejak Waktu Desi

Khaulah
Chapter #13

[13] Rencana Perjodohan

“Des! Tolong pel pantry di lantai dua! Tadi ada yang numpahin teh! Sekalian juga cek WC sama wastafelnya.”

Desi mengerang. Ia paling benci jika ditugaskan ke lantai dua. Pasalnya, bagian itu merupakan kantor keuangan. Para pekerjanya terkenal sangat tidak ramah kepada siapa pun. Ia tidak pernah bisa menahan emosi jika ditugaskan ke sana.

“Gue mager ah, Rob!”

“Ma … ger?” Robi mengerjapkan mata, bingung. “Mager apaan, Des?”

“Malas gerak!”

Robi melongo sesaat sebelum tawanya meledak. Desi memutar kedua bola matanya. Ini adalah ketiga kalinya ia keceplosan menggunakan bahasa-bahasa slang dari masanya, dan ketiga kalinya Robi tertawa terbahak-bahak.

“Lo ada-ada aja deh! Istilah dari mana tuh?”

“Dari nenek moyang!” sahut Desi ketus. “Rob, gue seriusan ogah ke lantai dua! Horor!”

“Ya gimana. Gue harus benerin WC di lantai empat.”

“Suruh Aji saja deh! Gue ogah pokoknya!”

“Aji lagi dipinjam orang warehouse.”

“Astaga! Buat apa dipinjam?! Memangnya warehouse kekurangan orang?!”

“Enggak tahu. Tadi Pak Will manggil Aji. Katanya mau minta tolong.”

“Wah! Ini namanya sabotase!” Desi bangkit dan berderap hendak keluar ruangan. “Gue harus buat perhitungan sama Pak Will!”

Robi menggeleng pelan. “Buat perhitungan apaan? Memangnya jabatan lo apa, Des?”

Tapi gadis itu tidak menyahut. Ia buru-buru kabur sebelum Robi menyadari niat sebenarnya.

Desi benar-benar tidak mau bertugas ke lantai dua!

Tempo hari, ia mendapatkan tugas pertamanya di lantai dua. Pada menit-menit pertama, tidak ada yang aneh. Semua berjalan dengan baik. Tapi, saat ia sedang membersihkan pantry, tiba-tiba salah satu karyawati masuk dan mengomelinya hanya karena salah membuatkan kopi.

Setelah itu, seorang karyawan protes mengenai WC yang pampat dan keran air yang tidak berfungsi. Saat ia tahu bahwa Desi adalah seorang perempuan, ia justru semakin mengamuk. Katanya, yang lebih cocok menyelesaikan pekerjaan kasar seperti itu adalah laki-laki, bukan perempuan. (Sungguh sebuah alasan yang hingga saat ini terdengar tidak masuk akal Tapi, Desi menahan diri untuk tidak menyampaikan pemikirannya tersebut).

Pada dasarnya, ia tidak mempermasalahkan kata-kata yang dilontarkan, karena sudah kebal. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa telinganya terasa sakit juga. Belum lagi kepalanya yang berdenyut nyeri karena diomeli habis-habisan.

“Hendak ke mana dirimu, Des?” Tahu-tahu Lukas muncul di sampingnya.

“Ke gudang.” Setelah hampir seminggu “hidup” bersama pemuda itu, Desi mulai terbiasa dengan kondisinya yang gaib dan selalu muncul atau menghilang secara tiba-tiba.

“Untuk melakukan apa?”

“Cari Aji.”

“Mengapa?”

Desi mengerang keras. “Luk, bisa enggak lo berhenti nanya?”

“Ini sudah hampir seminggu, Desi. Tapi kamu belum ada kemajuan sama sekali terkait mendekati ibu dan ayahmu. Sebenarnya, apa yang hendak kamu lakukan di masa ini?”

Gadis itu tidak menjawab. Apa yang dikatakan Lukas memang benar. Sudah hampir seminggu, namun Desi belum melakukan apa pun yang berarti. Selama ini, ia hanya menghindar atau bersembunyi dari ibu atau ayahnya.

Atin sendiri sudah beberapa kali berusaha mendekati Desi. Wanita muda itu selalu tampak tertarik dengannya, dan berkali-kali mengatakan bahwa wajahnya sangat familier.

Sementara itu, Aziz seolah menjadi musuh bebuyutannya. Setiap kali ada kesempatan—yang berarti Desi bertemu dengannya secara tidak sengaja dan tidak ada orang lain di sekeliling mereka—pria itu pasti akan bersikap kasar dan dingin. Tentu saja Desi tak kalah kasar dan dingin. Ia tidak takut dipecat atau ditegur Bu Angel karena yakin Aziz tidak akan berani mengadukannya. Posisi ayahnya masih terbilang riskan di masa-masa sekarang, jadi ia belum berani banyak bertingkah.

“Desi.”

“Nanti juga ada progres, Luk. Sabar dikit,” gerutu Desi.

“Lebih cepat lebih baik.”

“Gue tau.” Desi menggigit bibir bawah. “Nanti gue coba deketin Nyokap deh.”

“Bagus.” Setelah mengangguk, Lukas menghilang.

Desi mendesah kesal dan melanjutkan perjalanannya menuju gudang barang.

Bukan tanpa alasan ia merasa kesal dan risi pada Lukas. Selama seminggu belakangan ini, pemuda itu terus menerus mengganggu dan mendesaknya dengan berbagai macam pertanyaan.

“Apa kesalahan ayahmu?”

“Mengapa kamu dendam?”

“Kapan kamu akan melanjutkan rencana?”

“Apa rencanamu, Des?”

“Ayahmu kelihatan seperti orang baik. Kemarin, kudengar beliau … bla bla bla ….”

Itu semua membuat Desi naik pitam. Jadilah hubungannya dengan Lukas agak renggang akhir-akhir ini. Pemuda itu tidak lagi sering-sering menunjukkan diri, kecuali pada saat Desi hendak dan bangun tidur. Selebihnya, ia tidak akan muncul jika tidak dipanggil.

“Pak Winar!”

Seorang pria tua berkepala botak mendongak. Wajahnya, yang selalu masam, seketika berubah menjadi cerah ceria.

Lihat selengkapnya