Jejak Waktu Desi

Khaulah
Chapter #14

[14] Rumor

Salah satu fasilitas yang diberikan kantor Samahar kepada seluruh pekerjanya adalah sarapan pagi dan makan siang. Biasanya, sarapan terdiri dari semangkuk bubur ayam dan segelas teh atau kopi. Tapi, terkadang juga berupa roti atau kue-kue basah dan segelas kopi. Walau begitu, semua pasti mendapat jatah dan boleh meminta tambah.

Sementara untuk makan siang, kantor menyediakan kupon yang berlaku satu hari untuk satu orang. Kupon itu nantinya bisa ditukarkan di kantin dengan senampan makan siang lengkap. Ada nasi, sayur, daging atau ikan, tahu atau tempe, serta teh botol atau air mineral. Semua tergantung juru masak di kantin.

Hal itu tentu saja membuat Desi sangat bahagia. Sebab, ia tidak perlu pusing mengatur uang makan sehari-hari. Ia hanya perlu membeli sepotong besar roti gambang dan satu liter botol air mineral untuk makan malam. Itu sudah lebih dari cukup.

“Des! Lo ngambilnya banyak banget, gelo!” pekik Winda, salah satu teman barunya.

“Bodo amat. Gue lapar.” Desi buru-buru menyuapkan bubur ayam seolah takut Winda akan menyambar.

“Lo puasa lagi memangnya?” tanya Winda prihatin.

Seluruh tim kebersihan Samahar sudah tahu cerita ‘menyedihkan’ Desi. Betapa gadis itu merupakan anak rantauan dan baru-baru ini ditipu teman. Betapa ia mati-matian bekerja demi menghidupi diri sendiri. Betapa ia terkadang harus berpuasa demi berhemat. Betapa ia adalah tulang punggung keluarga di kampung ….

Wajar jika sebagian besar dari mereka bersimpati dengan gadis unik itu.

“Enggak sih. Gue lapar doang.”

Winda menjitak kepala temannya dengan gemas. Yang dijitak hanya terkekeh sambil menyendokkan lagi bubur ayam ke dalam mulut.

“Desi! Lo udah makan berapa mangkuk?!” Terdengar Adam, temannya yang lain, menjerit saat baru saja memasuki ruang khusus petugas kebersihan. Di sinilah mereka biasa berkumpul saat istirahat, sebelum, dan setelah bekerja.

“Sepuluh!”

Semua orang yang sedang berkumpul di ruangan itu tertawa geli mendengar seloroh Desi. Mereka sudah mulai terbiasa dengan sifatnya yang suka ceplas-ceplos. Entah mengapa dan bagaimana, mau tidak mau, suka tidak suka, mereka mulai jatuh sayang pada gadis tomboi itu.

“Wuih! Pak Agus! Buat siapa tuh, Pak?!” seru Seno—salah satu pekerja gudang—saat melihat Pak Agus menenteng nampan dengan semangkuk penuh bubur dan segelas teh.

“Aduh, Pak Agus repot-repot banget sih! Terima kasih, Pak! Terima kasih!” seru Heni—salah satu petugas kebersihan—bergurau, pura-pura hendak menerima nampan tersebut.

Pak Agus terkekeh dan menjitak kepala Heni dengan pelan. “Hush! Ini buat Mbak Atin.”

“Oh! Buat maskot kita toh!” seru Sumi—petugas kebersihan yang lain—dengan bersemangat. “Yo wiss, Pak! Silakan deh, diantarkan ke Mbak Atin!”

“Sekalian titip salam ya, Pak!” seru Parno—salah satu pekerja gudang. Pemuda itu sedang berjongkok sambil menyeruput kopi hitamnya.

“Mana pantas orang kayak lo titip salam buat Mbak Atin!” seru Robi berapi-api.

“Pantas aja ya! Mbak Atin tuh orangnya baik! Enggak suka menghina orang kayak lo!”

“Iya sih …. Tapi lo tau diri dong!”

Pak Agus tertawa kemudian berlalu. Beliau sudah terbiasa dengan pertengkaran-pertengkaran kecil anak-anak buahnya dengan anak-anak buah Pak William.

“Eh, tapi, kalian tau enggak sih?” tanya Sumi tiba-tiba.

“Apaan?” Parno menaikkan alis heran.

“Kelihatannya … Mbak Atin pacaran sama Pak Aziz.”

Desi tersedak teh yang sedang ia minum. Robi harus menepuk-nepuk punggungnya agar gadis itu berhenti batuk-batuk. Untunglah sebagian besar temannya terlalu sibuk mengorek informasi dari Sumi untuk memperhatikannya.

“Ah! Yang bener lu, Sum!” jerit Parno. “Mana mungkin Mbak Atin yang cantik jadi sama orang kayak gitu!”

“Iya ih! Enggak mungkin banget!” tukas Winda.

Desi termenung. Sudah dua minggu ia bekerja di Samahar dan belum ada kemajuan apa pun terkait rencananya. Mas Aris tidak pernah muncul lagi, sementara Pak Will terlalu sibuk dengan pekerjaan.

Sejauh ini, yang bisa ia lakukan hanya memperhatikan ibunya dari bayang-bayang. Atin terkadang berusaha mengajaknya mengobrol, tapi Desi selalu menghindar. Ia tidak mau terlibat emosi terlalu dalam.

“Sumpah, woi!” seru Sumi di antara ingar-bingar ruang kumpul petugas kebersihan. “Kemarin gue lihat Mbak Atin jalan berdua sama Pak Aziz!”

“Alah! Itu paling buat kerja aja. Mbak Atin juga sering jalan berdua Pak Will, Pak Yono, Pak Rian, atau manajer lain,” timpal Robi.

“Ih! Tapi ini beda! Masa Pak Aziz rangkul Mbak Atin?!”

“Dan Mbak Atin diam aja?” tanya Winda penasaran.

“Iya!”

Suasana menjadi heboh. Desi menggunakan kesempatan itu untuk menyelinap keluar ruangan dan pergi ke tangga darurat, di mana tidak ada seorang pun yang lewat.

“Lukas.”

Seketika itu juga, si pemuda gaib muncul di hadapan Desi. Ekspresinya datar, seperti biasa.

“Ada apa?”

“Lo benar.”

“Maksudmu?”

“Lo benar tentang semuanya, Luk.” Gadis itu mulai mengerang sambil mengacak-acak rambut. “Seharusnya, dari awal, gue deketin Nyokap dan berusaha jadi sahabatnya. Jadi, gue bisa pantau dari dekat semua gelagat aneh bokap gue.”

Salah satu alis Lukas melejit. “Apa yang terjadi hingga kamu akhirnya berubah pikiran?”

“Rumor bokap dan nyokap gue.”

“Rumor apa?”

“Jadi … dulu … yah, di masa ini … nyokap dan bokap gue pernah dirumorin pacaran.”

Lihat selengkapnya