“Atin!”
Diam-diam, si empunya nama mengerang kesal. Entah apa yang terjadi belakangan ini—ia merasa tidak melakukan sesuatu yang berarti atau spesial—namun Aziz kerap mengikutinya bagai hantu.
Pria itu seringkali muncul di saat yang tak terduga. Paling sering ketika Atin sedang bersama teman-teman lelakinya, seperti Pak William, Pak Yono, Bung Torik, Brur Rudi, dan Andrew. Ia tidak selalu turut dalam percakapan, melainkan berdiri diam sambil mengepalkan tangan dan melotot. Membayangkannya saja membuat Atin merinding.
Apa sebenarnya yang diinginkan pria itu? Mengapa tingkahnya aneh sekali?
“Atin!”
“Ada apa, Pak?” sahut Atin pada akhirnya. Ia sengaja bersikap serius dan tidak terlalu ramah agar tidak disalahartikan.
“Saya mau minta tolong sama kamu untuk faks berkas,” jelas Aziz setelah berhenti di hadapan Atin. “Soalnya, Elsa lagi makan siang di luar. Dan saya ….” Ia tertawa canggung sambil mengusap bagian belakang leher. “Saya … enggak ngerti cara pakai mesin faks. Saya mau tanya ke yang lain tapi … malu ….”
Rasa iba mulai tumbuh dalam hati Atin. Teringat kembali olehnya kondisi Aziz ketika melakukan presentasi di ruang rapat beberapa minggu yang lalu. Kemudian, ia juga teringat betapa Aziz seperti dikucilkan oleh para pekerja lain. Ia selalu duduk sendiri ketika makan siang; tidak ada satu pun yang mengajaknya berkelakar atau sekadar mengobrol.
Sangat berbeda dengan Atin yang selalu dikelilingi oleh para sahabat. Tidak pernah kekurangan kasih sayang, baik dari keluarga maupun orang sekitar. Tidak pernah juga dikucilkan. Semua orang—baik yang sudah dekat maupun yang baru berkenalan—selalu mengajaknya mengobrol, bercanda, jalan-jalan, makan siang, dan berlibur.
Pada akhirnya, rasa iba dalam hati Atin menang. Ia menghela napas dan mengulurkan tangan, hendak menerima berkas-berkas yang disodorkan Aziz. Mata pria itu berbinar-binar. Kemenangan sudah ada di depan mata.
“Permisi, Pak, Mbak.”
Nyaris saja Aziz mengumpat. Untung saja ia ingat untuk menjaga sikap di hadapan wanita incarannya. Kendati demikian, ia tetap melotot kesal kepada gadis yang baru muncul.
“Oh, Desi. Ada apa?”
“Mbak Atin dipanggil Pak Alex ke ruangan,” jelas Desi sopan. Walau begitu, ia mengerling tajam ke arah Aziz.
“Loh? Bukannya Pak Alex lagi makan siang di luar?”
“Beliau sudah balik, Mbak.”
“Oh, oke. Makasih, Des. Saya ke sana segera.” Atin mengangguk. Ia lalu menoleh kepada Aziz. “Pak Aziz, untuk faks-nya bisa minta tolong sama Desi aja ya? Maaf, saya harus balik kerja.”
Aziz belum sempat menyahut saat wanita tersebut berderap pergi—untuk yang kedua kalinya.
“Mari, Pak Aziz. Biar saya bantu kirim faks,” kata Desi dengan suara yang sengaja dibuat-buat manis.
Pria itu menatapnya lekat-lekat. Ia masih belum paham mengapa hatinya langsung dipenuhi kebencian setiap kali melihat wajah Desi. Padahal, mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.
“Enggak usah. Saya bisa sendiri,” sahut Aziz ketus. Ia langsung berlalu dan masuk ke dalam lift.
Desi—yang berdiri di dekat pintu masuk-keluar kantor—hanya mencibir. “Pura-pura enggak bisa pakai mesin faks cuma buat deketin Mbak Atin. Dasar cemen!”
“Siapa yang cemen?”
Desi menjerit dan berbalik cepat. Ketika menyadari siapa yang membuatnya terkejut, ia langsung mengomel, “Jangan ngagetin gitu, Mas!”
Aris menyeringai. Salah satu tangannya terbenam dalam saku celana, sementara yang lain menenteng tas kulit berwarna cokelat.
“Datang dari mana sih?! Kok enggak kelihatan keluar dari lift?!”
“Dari tangga darurat.” Aris mengedikkan dagu ke arah pintu menuju tangga darurat yang terletak berseberangan dengan pintu lift. “Kamu sendiri ngapain di sini? Kenapa enggak kerja?”
Desi mencibir. “Iya, iya. Ini mau kerja.”
Aris tertawa geli. Pandangannya tiba-tiba jatuh kepada cincin yang melingkar di jari manis kanan Desi. Seketika itu juga ekspresinya menjadi muram.
“Kamu … udah punya tunangan, Des?”
“Iya.” Desi mengangkat tangan agar cincinnya terlihat lebih jelas. “Rencananya mau menikah bulan April tahun depan.”
“Oh ….”
“Mas Aris sendiri gimana? Kapan nikah sama Mbak Yanti Seksi?”
Mau tidak mau, Aris kembali tertawa terbahak-bahak. “Kamu jangan ikut-ikutan Ibu ah!”
Desis terkikik. “Aku jadi penasaran sama penampilan Mbak Yanti. Seseksi apa sih, Mas?”
“Enggak seksi. Biasa aja.” Aris tersenyum lembut. “By the way, saya udah putus sama Yanti.”
“Loh?! Kenapa?!”