Jejak Waktu Desi

Khaulah
Chapter #16

[16] Pengganggu

Aziz mengepalkan kedua tangan. Ia menatap ke arah dua orang wanita muda yang tengah berbincang-bincang dengan begitu akrab. Rasanya ia ingin mendorong salah satu di antara mereka dari lantai lima supaya ia tidak akan pernah bisa bangun lagi dan—

“Ziz, ada perlu apa ke sini?”

Aziz terkesiap dan berbalik dengan cepat saat seseorang menepuk bahunya. Ia mengembuskan napas lega saat melihat bahwa orang tersebut adalah Pak Tiko—manajer divisi Artist—beserta salah satu anak buahnya, Arman.

“Mau ketemu Pak Alex,” gumam Aziz sambil meremas berkas dalam genggamannya.

“Buat apa? Bukannya kemarin udah finishing desain baru? Tinggal produksi aja kan?” tanya Pak Tiko sambil mengerutkan kening.

Aziz menggeram kesal dan membuang muka. Ia memilih untuk melenggang begitu saja, memasuki ruangan Pak Alex.

Pria bertubuh tambun yang merupakan manajer divisi Advertisement and Promotion itu mengerutkan kening sejenak saat melihat kemunculan Aziz dengan beberapa berkas di tangan.

“Ada apa, Ziz?” tanya Pak Alex.

“Saya mau diskusi tentang desain leaflet parfum Nolac, Pak,” sahut Aziz sambil duduk di sofa tamu sebelum dipersilakan.

“Oh. Oke.”

Sejujurnya, Pak Alex merasa sangat tidak nyaman dengan sikap Aziz yang kurang sopan. Tapi ia berusaha mengenyahkan perasaan tersebut dan berpikir positif.

Bukankah para seniman memang terkadang bersikap kurang ajar? Padahal mereka sebenarnya bukan bermaksud menyakiti siapa pun. Mereka hanya bertindak secara spontan dan jujur. Begitu, bukan?

“Jadi, bagaimana? Apa tepatnya yang mau kamu diskusikan?”

Pak Alex bangkit dari kursi kerja dan beralih ke sofa di seberang Aziz. Dengan begitu, ia bisa secara leluasa meneliti berkas-berkas yang tersebar di atas meja.

Aziz menunjuk salah satu kertas dengan gambaran kasar sambil menjelaskan desain terbaru yang ia buat. Bukan hanya untuk leaflet, melainkan untuk botol parfum dan segala kemasannya. Ia bahkan mengubah artis yang nantinya akan menjadi wajah dalam iklan Nolac.

Ketika akhirnya ia selesai, kening Pak Alex sudah berkerut-kerut begitu dalam.

“Kenapa ganti desain lagi, Ziz? Yang kemarin kan sudah di-approve,” tanyanya dengan nada sedikit kesal.

“Yang kemarin menurut saya kurang kelihatan estetikanya, Pak. Jadi, memang sengaja saya rombak lagi,” sahut Aziz dengan enteng, seolah itu bukan masalah besar.

“Tapi, yang kemarin itu sudah di-approve pihak Nolac, Ziz. Mereka sudah setuju. Kita cuma perlu fokus ke launching. Kenapa kamu malah tambah-tambah kerjaan sih?!” Suara Pak Alex mulai meninggi.

Aziz berdecak tak sabar. “Yang kemarin kan hasil diskusi orang-orang awam. Ini sudah saya benerin jadi enggak kelihatan amatiran banget.”

“Amatiran gimana?! Yang kemarin bagus kok! Sudah cocok sama tema yang mau kita usung.”

“Pak Alex enggak paham estetika. Makanya—”

“Saya paham!” tukas Pak Alex, sudah benar-benar dongkol. Wajahnya merah padam dan kumisnya bergetar-getar seraya mengembuskan napas kasar. “Ini bukan cuma masalah estetika. Kita bicara tentang cost dan waktu. Kalau kamu ubah desain, otomatis semuanya bakal berubah juga! Dan kita sudah enggak punya anggaran dan waktu lagi!”

“Tapi—”

“Jangan masukkan idealisme kamu ke dalam desain ini! Jadilah profesional!” Pak Alex bangkit dan kembali ke kursi kerjanya. “Sana, balik! Jangan utak-atik lagi desainnya. Kita pakai yang pertama.”

Aziz tidak bisa berkata-kata. Walau begitu, bukan berarti ia tidak merasa kesal. Kembali terngiang olehnya suara sang abang yang mengejeknya tidak berbakat, aneh, dan bodoh. Baginya, apa yang dikatakan Pak Alex tidak jauh berbeda. Pria itu jelas-jelas meremehkan dan merendahkannya.

Tentu saja Aziz harus membalas. Ia harus membuat Pak Alex merasa berdosa dan memohon-mohon ampun padanya. Ia harus memberi pria itu pelajaran.

Sebelum Aziz bisa melakukan apa pun, pintu diketuk dan dibuka. Detik berikutnya, Atin melangkah masuk sambil tersenyum.

“Siang, Pak Alex.”

“Siang, Tin.” Seluruh amarah seolah meleleh dari wajah Pak Alex. Ia tampak lebih tenang daripada beberapa menit sebelumnya. “Iklan buat kantor properti Aris sudah finish?”

“Sebentar lagi script-nya selesai, Pak.” Atin mendekati meja sang bos dan meletakkan tumpukan bekas. “Saya mau remind untuk meeting dengan Cindy Fatika Sari yang akan jadi face iklan arfum Nolac. Terus—”

“Jangan pakai Cindy. Pakai kamu aja, Mbak Atin.”

Pak Alex langsung melotot ketika mendengar celetukan Aziz. Sementara itu, Atin hanya mengerutkan kening tanpa menoleh. Matanya menatap sang bos, minta pertolongan. Jelas sekali ia merasa tak nyaman.

“Aziz, keluar!” raung Pak Alex bagai macan yang terbangun dari tidur siang.

Ingin sekali rasanya Aziz menerjang pria sialan itu dan memukulinya hingga babak belur. Berani-beraninya ia merendahkan dan menentang semua usul briliannya di hadapan sang pujaan hati.

Akan tetapi, ia menahan diri. Sekarang bukan saat yang tepat untuk melakukan perlawanan. Ia harus berhati-hati dan bertindak penuh perhitungan jika ingin tujuannya tercapai.

Jadi, pria itu akhirnya membereskan semua berkas bawaannya dan berlalu dari kantor Pak Alex.

“Dia kenapa sih, Pak?” bisik Atin setelah pintu tertutup dan hanya ada mereka berdua.

“Enggak tahu, Tin! Aneh banget tuh orang!” seru Pak Alex sambil menyugar rambut. “Apa memang semua orang seni aneh begitu ya?”

“Kurang tau sih, Pak. Tapi ….” Tanpa sadar, Atin bergidik saat teringat kembali dengan tatapan Aziz.

“Kamu enggak benar-benar pacaran sama dia kan, Tin?”

Mata Atin membelalak. Segera saja ia menggeleng tegas. “Enggak, Pak! Kata siapa saya pacaran sama dia?!”

Pak Alex mengerutkan kening. “Orang-orang bilang kamu pacaran sama dia.”

Lihat selengkapnya