Jejak Waktu Desi

Khaulah
Chapter #17

[17] Firasat

Aris langsung pergi setelah berkata begitu, meninggalkan Desi yang termangu di dekat tangga darurat sambil memegang kepala. Pasalnya, gestur itu—menepuk puncak kepala lembut—salah satu hal yang kerap dilakukan Mas Dayan. Terutama bila ia merasa gemas atau geli dengan tingkah dan perkataan Desi.

Kemudian, perkataan itu—‘See you when I see you,’—merupakan ucapan yang kerap dilontarkannya dan Mas Dayan apabila mereka berpisah setelah seharian menghabiskan waktu bersama.

Mungkinkah …?

Dengan pemikiran gila itu, Desi mendorong pintu darurat dan berlari di sepanjang koridor kantor Samahar. Sayangnya, ketika ia tiba di lobi depan, Aris sudah menghilang. Pastilah ia sudah kembali ke kantornya sendiri, entah dengan kendaraan umum atau pribadi.

“Kenapa lari-larian, Des?” sapa Cika, salah satu resepsionis yang sedang bertugas.

“Oh … enggak apa-apa.” Desi tertawa canggung. “Mbak Atin udah keluar makan siang ya, Mbak?”

Cika mengangguk. “Tadi pergi sama Pak Beni, Mbak Ida, dan Brur Rudi.”

Desi manggut-manggut. Tentu saja ia mengenal semua orang yang namanya disebutkan itu. Mereka adalah sahabat-sahabat ibunya di kantor yang kerap beliau ceritakan di masa depan kelak. Sekarang, ia mengenal mereka karena selalu diminta bantuan. Sungguh lucu hal yang bernama takdir itu.

Yah, setidaknya, Atin aman bersama para sahabatnya. Dan, Desi dengar, Aziz tidak masuk karena ada acara keluarga. Jadi, setidaknya, hari ini ia bisa mengendurkan kewaspadaan dan bersantai sedikit. Mungkin ia bisa menyusun rencana yang lebih baik nanti.

Baru saja Desi hendak berbalik, matanya tertuju pada seorang wanita yang melangkah masuk ke lobi Samahar. Rok pelangi lebar berkibar-kibar seirama dengan langkah-langkah lebarnya. Wajahnya tertekuk masam. Matanya melotot, membuat Cika mengurungkan niat untuk menyapa.

Bak pemilik gedung, wanita itu langsung masuk ke dalam lift yang kebetulan baru tiba mengantarkan serombongan pekerja yang hendak pergi makan siang. Seolah sudah paham, mereka langsung menepi, memberi jalan bagi wanita itu.

“Oh … shit ….”

“Itu kakaknya Mbak Atin,” desis Cika kepada Desi. “Dia dulu kerja di sini. Tapi udah keluar karena ada masalah sama manajer divisi Artist.”

Desi mengangguk. “Oke, oke. Aku balik kerja ya, Mbak Cika. Dadah!”

Tanpa menunggu jawaban, ia langsung berlari menuju tangga darurat. Lukas—yang menghilang saat kedatangan Aris—tiba-tiba muncul kembali dan melayang di samping kanannya.

“Ada apa? Mengapa kamu sangat terburu-buru?”

“Aku ingat …” desis Desi di sela-sela napasnya yang terengah-engah akibat memanjat dua anak tangga sekaligus. “Aku ingat ….”

“Apa yang kau ingat?”

Akan tetapi, Desi belum bisa menjelaskan. Ia terlalu fokus berlari. Jantungnya serasa hendak meledak, namun ia tidak mengendurkan kecepatan. Semoga saja tidak terlambat ….

Butuh waktu beberapa menit untuk mencapai lantai lima dengan tangga darurat. Ketika akhirnya Desi berdiri di lobi menuju kantor, hatinya jatuh ke dasar perut.

Di balik pintu kaca ganda, ia dapat melihat rok pelangi berkibar sebelum menghilang di balik pintu bertuliskan ‘Manajer Advertisement and Promotion’.

“Ah …. Terlambat ….”

“Apa yang terlambat, Desi?” desak Lukas, tak bisa lagi menahan rasa penasaran.

Alih-alih menjawab, gadis itu malah berbalik dan berlari menuju pantry lantai lima yang tidak terlalu luas. Dengan tergesa-gesa, ia meracik dua cangkir teh. Lukas melontarkan pertanyaan bertubi-tubi, namun ia abaikan.

Setelah meletakkan dua cangkir teh tersebut di atas nampan, Desi langsung membawanya keluar pantry, masuk ke dalam kantor yang belum terlalu ramai. Ia berusaha untuk berjalan setenang mungkin. Padahal, adrenalinnya begitu tinggi hingga kepalanya serasa ingin pecah.

“Apa yang sebenarnya terjadi?!” desis Lukas.

Lagi-lagi, ia mengabaikan pemuda itu. Desi berdiri sejenak di depan pintu ruangan milik Pak Alex untuk menyeimbangkan nampan dengan satu tangan. Sayup-sayup, ia bisa mendengar suara percakapan di dalam.

“Desi!” desis Lukas. Sayang, ia kembali tak diacuhkan.

Tangan terangkat dan pintu diketuk. Senyap sejenak sebelum perintah untuk masuk terdengar. Tanpa ragu, Desi langsung membuka pintu.

Pak Alex duduk di kursi kerjanya yang berpunggung tinggi, berhadapan dengan wanita rok pelangi yang baru saja tiba. Wajah keduanya masam. Si wanita bahkan melotot ke arah Desi seolah ingin menelan gadis itu bulat-bulat.

“Permisi, Pak,” sapa Desi ramah. “Maaf mengganggu. Ini teh untuk Bapak dan tamu Bapak.”

Kening Pak Alex berkerut. “Saya enggak minta.”

“Mbak Atin yang minta saya tadi, Pak,” sahut Desi sambil tersenyum (pura-pura) polos. “Sebelum pergi makan siang tadi, Mbak Atin bilang ke saya kalau Pak Alex ada meeting. Beliau minta tolong saya bikin teh untuk Bapak dan tamu Bapak.”

Sekarang, wajah Pak Alex berubah menjadi sedikit pucat. Sejenak, ia tergagap dan hanya bisa menatap cangkir-cangkir teh yang diletakkan Desi di atas meja.

“Mau saya beliin gorengan juga, Pak? Atau mungkin kue?”

“Enggak usah!”

Bukan Pak Alex yang menyahut, melainkan si wanita rok pelangi. Matanya begitu lebar melotot hingga ia terlihat seperti ikan maskoki gemuk.

“Pergi sana! Ganggu aja!”

“Afti!” hardik Pak Alex. “Kamu enggak ada hak bentak-bentak pekerja saya begitu! Kamu yang harusnya pergi!”

“Bapak enggak mau dengar cerita saya?!” Wanita rok pelangi—atau Afti—memicingkan mata ke arah Pak Alex. “Padahal saya cerita semua ini demi kebaikan Bapak! Bapak harus tahu siapa Atin sebenarnya!”

“Sekretaris Pak Alex yang loyal dan jujur.”

Lihat selengkapnya