Acara launching parfum Nolac akhirnya tiba. Sayangnya, acara tersebut diadakan di sebuah balairung salah satu hotel ternama Jakarta Pusat. Jadi, para petugas kebersihan—termasuk Desi—tidak ikut serta.
Selama kurang lebih lima hari sebelum acara launching, Desi tidak melakukan apa pun untuk menggagalkan pernikahan kedua orang tuanya. Hal terakhir yang ia lakukan adalah berusaha menghentikan pertemuan Pak Alex dan Bude Atif tempo hari. Entah apakah hal itu membuahkan hasil atau tidak. Sebab, tidak terlihat perubahan yang signifikan dalam hubungan ibunya dan sang bos.
Aziz pun masih berusaha mendekati Atin. Walau gosip pacaran sudah tidak terlalu marak, tetap saja ia suka muncul di saat yang tak terduga, persis lintah.
Lukas sudah berkali-kali menanyakan tindakan Desi selanjutnya. Akan tetapi, gadis itu diam seribu bahasa. Hanya ekspresinya yang terkadang berkerut-kerut, menandakan otaknya bekerja sangat keras.
Pemuda gaib itu menghela napas sambil menatap kertas laporan di pangkuannya. Tak terasa, sudah hampir satu bulan sejak Desi dilempar ke masa lalu. Dan sejauh ini … tidak ada hal berarti yang gadis itu lakukan.
Diam-diam, Lukas mulai mempertanyakan keputusan Tuhan yang mengirim Desi ke masa lalu. Benarkah itu hal yang terbaik? Benarkah semua ini dapat mengubah masa depan, seperti yang diinginkan Desi? Jika ya, mengapa gadis itu malah seperti … main-main saja?
Sebenarnya, apa tujuan Tuhan mengirim Desi ke masa tiga puluh tahun silam? Apa yang ingin Dia sampaikan kepada gadis keras kepala itu?
Sekali lagi, Lukas mendesah. Pada akhirnya, ia menutup berkas tersebut dan mengirimnya kepada Tuhan. Tersisa kurang lebih dua bulan dan tidak ada perubahan signifikan. Tidak ada lipatan waktu, paradoks, atau apa pun itu. Artinya, apa yang dilakukan Desi masih belum cukup untuk mengubah masa depan.
Dengan langkah gontai, pemuda itu masuk ke dalam kamar kos. Desi masih di posisi yang sama sebelum ia pergi; duduk bersandar ke dinding, mengawasi arloji dan sepucuk kartu undangan yang dicetak dengan tinta emas mewah. Matanya bergerak-gerak cepat dan keningnya berkerut dalam. Lukas sudah berusaha menanyakan apa yang sedang ia lakukan, tapi tidak mendapat jawaban. Maka, ia tidak akan melakukan hal yang sama dan memilih langsung duduk di samping gadis itu.
Cukup lama mereka duduk berdampingan dalam diam. Sementara itu, langit perlahan menjadi gelap. Bintang-bintang bermunculan. Suara kendaraan berlalu-lalang mengisi sunyi.
“Aku baru sadar.” Desi akhirnya membuka mulut. Walau begitu, pandangannya masih tertuju pada kartu dan arloji di tangan.
“Sadar tentang apa?”
“Mengubah masa lalu itu … mustahil.”
Lukas tidak menyahut. Bukan karena tidak mau, melainkan karena tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Aku udah berusaha semaksimal mungkin. Aku berusaha pakai cara yang … enggak terlalu mencolok. Karena, aku enggak mau ubah masa lalu banyak orang. Aku cuma mau ubah masa lalu orang tuaku.”
Mata Desi mulai berkaca-kaca. Namun, keningnya masih berkerut dalam dan tatapannya belum berpindah dari dua benda di tangan.
“Tapi … kayaknya enggak ngaruh banyak, ya?”
Alih-alih menjawab, Lukas lebih memilih beringsut mendekat hingga bahunya bersentuhan dengan Desi.
“Aku jadi merasa … Tuhan cuma mempermainkan aku.”
“Bukan begitu, Desi.”
“Memang begitu,” tukas sang gadis dengan getir. “Tuhan kasih kesempatan ini bukan karena benar-benar mau ubah masa lalu orang tuaku. Tuhan cuma mau kasih tunjuk kalau aku—dan semua makhluk di muka bumi—enggak berdaya sama yang namanya takdir!”
Deg!
Lukas tertegun. Jantungnya berdegup cepat. Benarkah itu tujuan Tuhan membawa Desi ke masa lalu? Hanya untuk menunjukkan kekuatan-Nya yang tiada tara? Benarkah?
“Tapi, aku enggak bakal nyerah gitu aja.” Sekarang Desi tertawa masam. “Tuhan udah bawa aku ke sini, aku enggak akan menyia-nyiakannya.”
“Benar,” angguk Lukas. “Kamu tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan apa pun yang telah diberikan. Lagi pula, aku kenal dirimu, Desi. Kamu bukan tipe gadis yang mudah menyerah.”
Untuk pertama kalinya, sejak mereka duduk bersisian, Desi menoleh dan menatap Lukas. Sorot matanya sendu dan ada senyum kecil di bibir indahnya.
Entah mengapa, pemandangan itu membuat jantung Lukas berdegup cepat.
“Makasih, Luk. Kamu selalu ada buat aku.”
“Sudah menjadi tugasku,” bisik Lukas dengan suara serak.
“Apa pun yang terjadi, kamu tetap temanku, Luk.” Desi meletakkan arloji di pangkuannya dan meraih tangan pemuda itu. “Jangan lupain aku, ya?”