“Desi, apa yang sebenarnya akan kita lakukan?” desis Lukas, berkali-kali memandang berkeliling seolah takut ada hantu atau pembunuh berantai yang melompat keluar dari balik bayang-bayang.
“Kalau kamu takut, balik aja, Luk. Aku enggak maksa kamu ikut kok.”
Segera saja pemuda itu menggeleng. “Enggak. Enggak. Apa pun yang terjadi, aku ikut. Titik.”
Desi nyengir. Lukas memang benar-benar menggemaskan.
Keduanya masuk ke dalam kantor Samahar yang sudah tutup melalui pintu belakang. Kebetulan, jam kerja Desi selanjutnya dimulai siang hingga malam hari. Jadi, Pak Agus sudah memberikannya kunci cadangan untuk membuka dan mengunci pintu-pintu.
Bagian dalam kantor besar itu gelap gulita. Rasanya benar-benar asing bila dibandingkan keadaan di pagi dan siang hari.
Desi mengeluarkan senter kecil dan menyalakannya. Ia kemudian berjalan menuju tangga darurat dan mulai memanjat, nyaris tanpa suara. Lukas tentu saja tidak mau ketinggalan. Pemuda itu menempel terus kepada Desi, persis anak kecil yang takut kehilangan ibunya di tengah pasar.
Tidak ada yang terjadi selama mereka menaiki anak-anak tangga. Keadaan sunyi dan sedikit mencekam.
Ketika akhirnya Desi berhenti dan mendorong pintu darurat di lantai lima, barulah terlihat sesuatu yang sedikit ganjil.
“Siapa yang bekerja di tengah malam?” bisik Lukas, membelalak melihat sinar redup dari dalam kantor lantai lima.
“Ayahku.”
Sebelum Lukas bisa bereaksi, Desi sudah berderap masuk. Ekspresinya tidak menunjukkan rasa gentar sama sekali.
Sama seperti seluruh bagian dari Samahar, ruangan tersebut gelap gulita. Kecuali lampu meja yang menyala di salah satu kubikel. Terlihat siluet seseorang tengah duduk dan sedikit merunduk di atas meja. Sayup-sayup, terdengar suara kertas digunting.
Tanpa ragu, Desi langsung menyalakan lampu utama. Cahaya seolah meledak dan menyinari seluruh sudut tergelap. Orang yang duduk di kubikel itu terlonjak kaget dan berbalik dengan cepat. Mulutnya langsung mengeluarkan sumpah-serapah saat menyadari kehadiran Desi.
“Pak Aziz ngapain di sini tengah malam?” tanya Desi dengan ekspresi polos.
“Kamu yang ngapain di sini?!” sergah Aziz sambil berdiri. “Seenaknya aja masuk kantor orang!”
“Kantor Pak Aziz kan di lantai tiga.” Desi mengerling benda-benda dalam genggaman pria itu. “Dan itu meja Mbak Atin. Ngapain Pak Aziz di sini?”
“Bukan urusan lo! Enggak usah ikut campur!”
Aziz hendak berbalik dan kabur, tapi dengan sigap Desi menerjang.
Gadis itu berhasil merebut foto dalam genggaman Aziz dan buru-buru menjauh.
“Kurang ajar!”
“Ini kan foto Mbak Atin! Kenapa Pak Aziz gunting?!”
“Bukan urusan lo, Lonte!”
“Ini kejahatan!” seru Desi, membiarkan seluruh amarahnya meluap. “Saya bisa laporin polisi!”
“Laporin aja kalau berani!” tantang Aziz. “Lo kira gue takut?! Coba lapor!”
Desi terkesiap sejenak. Ia tidak mengira reaksi tersebut sama sekali. Ia kira, Aziz akan langsung takut jika mendengar kata ‘polisi’.
“Jangan pernah ikut campur masalah gue dan Atin!” bentak Aziz lagi. “Atin itu punya gue!”
Desi kembali merasakan emosinya meluap. Tanpa berpikir panjang, gadis itu menerjang dan mendaratkan satu tinju di wajah Aziz.
Tenaganya tidak cukup untuk menumbangkan pria yang lebih tinggi darinya itu. Akan tetapi, berhasil membuat Aziz terperangah dan menggila.
“Lonte sialan!”
Dijambaknya rambut Desi kuat-kuat dan ditamparnya pipi gadis itu.
“Kenapa lo selalu ikut campur urusan gue?!” jerit Aziz. Matanya melotot dan berwarna merah. Napasnya berbau apak. Ia benar-benar terlihat tidak waras. “Gara-gara lo, rencana gue berantakan semua! Harusnya Atin udah jadi milik gue! Tapi lo ganggu terus! Lo dan semua orang di kantor sialan ini! ATIN ITU HARUS JADI MILIK GUE!”
Desi menahan diri agar tidak menjerit walau kulit kepalanya sakit luar biasa. Sebagai ganti, ia mencakar wajah Aziz dan menendang tungkainya sekuat tenaga.
Aziz mengerang kesakitan dan tanpa sadar melepaskan jambakannya. Desi menggunakan kesempatan itu untuk menarik jaket Aziz dan berusaha menggulingkannya. Akan tetapi, yang terjadi justru salah satu saku depan jaket itu robek dan potongan-potongan foto Atin jatuh berceceran di lantai.
Desi terkesiap sejenak. Ibunya ternyata tidak bercanda saat bercerita bahwa ayahnya pernah mencuri foto-fotonya untuk kemudian dibawa ke dukun sihir hitam. Selama ini, ia kira itu hanya bumbu untuk mendramatisir kisah semata. Ia pikir, tidak mungkin ayahnya yang terkenal modern dan jago teknologi memercayai sihir hitam dan sebagainya.
“INI FOTO MBAK ATIN!” jerit Desi histeris. Emosinya benar-benar sudah tidak bisa dikendalikan. “INI FOTO MBAK ATIN! KENAPA BAPAK GUNTING?! KENAPA BAPAK AMBIL?! BAPAK MAU BERBUAT JAHAT YA?!”
Aziz menggeram kesal dan menempeleng Desi hingga jatuh tersungkur.
“Bukan urusan lo! Semua ini hak gue! Karena Atin punya gue! ATIN PUNYA GUE!”
Walau kepalanya terasa sangat sakit dan pandangannya mulai berkunang-kunang, Desi memaksakan diri untuk bangkit dan meraih sebuah papan ketik. Dengan sekuat tenaga, ia mengayunkan benda itu ke arah kepala Aziz.
Semua terjadi begitu cepat. Aziz ambruk ke lantai sambil mengerang kesakitan. Pelipisnya terluka dan mengucurkan darah. Papan ketik yang sedikit penyok turut jatuh ke lantai. Karena Desi tiba-tiba merasakan sakit yang panas, membuat lengan kanannya lemas.
Samar, ia bisa melihat ujung sebuah gunting berwarna hitam yang mencuat di bagian atas lengannya, dekat dengan bahu. Sedikit darah mengalir di sekeliling luka tusuk tersebut.
“Desi!”
“Panggil polisi dan ambulans!”
“Aku telepon Pak Alex dan seluruh direksi juga!”
“Desi! Kamu enggak apa-apa?!”
“Mana Pak Anton?! Cek kamera pengawas!”
Desi mengerjap. Ia tidak tahu apakah itu mimpi atau bukan ketika Atin tahu-tahu muncul di hadapannya. Wanita itu tampak kaget, takut, dan panik. Mau tidak mau, Desi tertawa kecil. Pasalnya, ekspresi itu tidak akan berubah walau puluhan tahun berlalu. Ibunya akan menunjukkan ekspresi semacam itu kepada anak-anaknya jika mereka jatuh sakit, mengalami kecelakaan kecil, atau membuat keonaran.
“Desi!”
“Aku enggak apa-apa, Ibu. Cuma luka kecil kok. Sebentar lagi juga sembuh.”
Keterkejutan adalah ekspresi terakhir yang dilihat Desi dari wajah Atin, sebelum semuanya menjadi gelap.