Sementara fajar menyingsing, Desi dan Atin sibuk menghapus air mata masing-masing. Keduanya berpandangan sejenak sebelum tertawa terpingkal-pingkal bersamaan.
“Ibu cengeng, ih!”
“Kamu yang cengeng!” Atin mencubit pipi Desi gemas.
Mereka tertawa kembali sebelum berangsur-angsur tenang. Langit mulai terang dan suara kicau burung mulai terdengar.
Atin menegakkan tubuh. Ekspresinya menjadi serius sekarang. “Kamu bilang, Ibu bakal nikah tahun depan?”
Desi mengangguk.
“Sama siapa?”
“Pak Aziz.”
Seketika wanita muda itu ternganga. Ada banyak hal yang muncul dalam benaknya. Semua memiliki satu inti: Mustahil sekali ia menikah dengan Aziz.
“Udah kubilang itu pernikahan sedikit dipaksa, Bu,” kata Desi lagi, menyela pemikiran Atin. “Pak Aziz sengaja deketin Ibu cuma karena Ibu dari keluarga kaya-raya, bergengsi, dan posisi ibu di kantor bagus. Dia pakai cara-cara licik yang manipulatif sampe akhirnya Ibu terpaksa nikah sama dia.”
“Tunggu. Tunggu sebentar.” Atin mengibas-ngibaskan tangan, tampak berusaha mencerna semua informasi yang baru didapat. “Manipulasi? Dipaksa? Gimana bisa?”
Dan Desi pun mulai menceritakan apa yang ibunya—di masa depan—ceritakan padanya.
Tentang Aziz dan Atin yang berpacaran selama dua tahun sebelum kemudian Aziz mengancam Atin untuk menikah. Merasa ragu dan belum siap, Atin menolak. Ia bahkan memutuskan hubungan.
Selama beberapa hari, Aziz tidak terdengar kabar dan Atin mengira bahwa semua benar-benar sudah selesai. Hingga suatu hari pria itu muncul secara tiba-tiba dengan membawa penghulu pernikahan dan buku nikah yang telah selesai dicetak.
Desi sendiri lupa detailnya. Ia tidak terlalu mendengarkan kisah mengenaskan dan menyedihkan tentang pernikahan ibunya. Akan tetapi, yang pasti, Aziz menyogok beberapa petugas KUA.
Pernikahan tak dapat dihindari. Atin tidak ingin mempermalukan kedua orang tuanya. Tidak ingin mencoreng nama keluarga besar. Ia pun terpaksa menyetujui keinginan Aziz.
“Tunggu! Tunggu! Tunggu!” Atin menyela cerita Desi. “Katamu, aku pacaran sama Aziz?”
“I-iya,” isak Desi.
“Dari kapan?”
“Aku … aku lupa …. Pokoknya Ibu sama Ayah pacaran selama dua tahun.”
Atin membelalak. “Apa?!”
“Iya. Dan selama itu, Ibu enggak bahagia sama sekali. Ayah jahat. Dia obsesif dan manipulatif. Dia benci lihat Ibu dekat sama orang lain, tapi dia sendiri hobi selingkuh.”
Mata Atin semakin melotot dan mulutnya terbuka lebar.
“Kok aku bisa—”
“Ayah pakai cara enggak baik, Bu,” desis Desi. “Kedengarannya aneh, tapi memang Ayah pakai cara yang enggak baik. Jadi, Ibu harus hati-hati. Jangan terima apa pun pemberian dia, baik barang ataupun makanan. Terutama makanan sih. Jangan terima sama sekali!”
Dahi Atin berkerut sejenak sebelum menyadari apa yang dimaksud oleh gadis di hadapannya. Ia sendiri terlahir di keluarga keturunan Keraton, dan beberapa eyang buyutnya masih menganut kepercayaan Kejawen. Jadi, tidak terlalu sulit untuknya memercayai perkataan Desi.
“Oke,” angguk Atin. “Oke. Ibu bakal hati-hati.”
“Jangan lupa beli rumah, Bu. Itu investasi Ibu di masa depan.”
“Oh! Jangan-jangan … yang waktu itu … cuma akal-akalan kamu biar Ibu beli rumah ya?”
Desi hanya meringis sementara Atin tertawa terbahak-bahak.
“Oke. Oke. Nanti Ibu beli rumah.”
“Dan … jangan resign ya, Bu. Tetap kerja di Samahar terus—”
“Kalau itu … enggak bisa.”
Desi terdiam. Ia lalu membelalak. “Ibu udah resign?!”