Perjalanan menuju kantor sangat canggung dan tegang. Lukas duduk di samping Desi (yang tentu saja mengemudi) sambil menatap keluar jendela.
“Bagaimana aku bisa mencarimu jika kamu tidak terlahir sama sekali?”
Setelah melontarkan pertanyaan itu, Lukas langsung berbalik dan berjalan lebih dahulu ke arah mobil Desi (yang memang secara ajaib selalu muncul saat mereka akan berangkat dan pulang kerja). Ia tidak mengatakan apa-apa lagi hingga detik ini.
Desi ingin sekali memecah kesunyian dan meminta maaf ada Lukas. Namun, ia tidak tahu kata-kata yang tepat untuk disampaikan.
“Jadi … aku cuma punya seminggu …?” Hanya itu yang muncul dalam otak Desi.
Beberapa saat tidak ada jawaban. Ketika Desi hampir menyerah dan memilih diam, Lukas membuka mulut.
“Iya.”
“Menurutmu … setelah kejadian tengah malam tadi ibu dan ayahku tetap bakal menikah atau enggak?”
“Aku tidak tahu.”
Desi tidak berusaha membuka percakapan lagi. Jelas sekali Lukas masih merajuk akibat pertengkaran mereka. Ia memilih fokus terhadap jalanan di depan sekaligus merancang apa yang bisa ia lakukan selama waktu yang tersisa.
Atin sudah mengetahui yang sebenarnya. Itu berarti Desi tidak perlu lagi terlalu menutup-nutupi tindak-tanduknya. Ia bisa secara terang-terangan mendekati Atin dan menghalau Azis.
Akan tetapi, ia tetap harus berhati-hati agar tidak ada orang yang curiga. Bagaimanapun perjalanan waktu memang bukan hal yang mampu dicerna oleh akal sehat.
“Lukas, aku minta ma—”
Desi tidak melanjutkan ucapannya, sebab ia melihat seseorang yang membuat darahnya kembali mendidih. Seseorang yang ingin sekali ia lenyapkan dari muka bumi. Seseorang yang seharusnya berada di balik jeruji.
Azis tampak mengendarai mobil sedan cokelat. Matanya merah, rahangnya kencang. Jelas sekali ia menahan amarah. Mobilnya melaju begitu cepat dari arah yang berlawanan, entah hendak ke mana.
Desi tidak tahu bagaimana ia bisa keluar dari penjara secepat itu, padahal baru dua hari sejak ia memergoki Aziz menggunting foto-foto Atin. Mungkin saja kecurigaannya tentang suap polisi benar. Dalam hati, Desi mendengus. Sungguh busuk sifat dan kelakuan ayahnya itu. Dan yang semakin membuat miris adalah pria itu sama sekali tidak berubah setelah puluhan tahun hidup di bumi.
Tiba-tiba saja Desi terpikir suatu hal yang sangat … jahat. Namun, ia tidak sempat menimbang-nimbang kembali. Ia hanya merasa kesal, kecewa, dan dendam terhadap Azis yang kelak akan menjadi ayahnya. Luka di lengan kanannya berdenyut, bagai bensin yang ditambahkan ke dalam kobaran api.
Dengan penuh tekad, gadis itu membanting setir dan menginjak pedal gas hingga mobil melejit.
“Desi, apa yang kamu lakukan?!” jerit Lukas, terkejut dan ketakutan.
“Sesuatu yang sejak lama ingin kulakukan.” Gigi geraham Desi bergemeletuk sementara mobil terus melaju.
“Tidak! JANGAN! JANGAN, DESI!”
Dari balik kaca depan, ia bisa melihat ekspresi terkejut Aziz. Sayangnya, sudah terlambat untuk menghindar. Jarak mereka terlalu dekat.
Benturan tak terhindarkan. Begitu keras hingga suaranya menggema beberapa ratus meter.
Desi tidak bisa merasakan sekujur tubuhnya. Tapi kepuasan memenuhi relung hati. Dan itu sudah cukup.
Ketika membuka mata, yang Desi lihat sangat berbeda dengan saat di unit gawat darurat.
Tidak ada brankar yang agak keras. Tidak ada aroma antiseptik. Tidak pasien, dokter jaga, atau perawat.
Desi mendongak, menatap langit biru yang indah. Aneh sekali. Ia bisa merasakan hawa hangat dan melihat keadaan sekeliling yang terang. Namun, tidak tampak matahari sama sekali. Bahkan tidak di balik awan sekalipun.
Saat menunduk, Desi menyadari bahwa ia berdiri di padang yang hijau dan luas. Bilah-bilah rumput bergoyang lembut, mengikuti udara. Namun, ia tidak bisa merasakan embusannya sama sekali.
Di mana ini? Tempat aneh apa ini? Terang tanpa matahari, sejuk tanpa udara.
Desi menoleh ke kanan. Di kejauhan tampak sebatang pohon rindang dengan dahan-dahan kokoh dan dedaunan hijau tua. Tepat di bawah pohon tersebut duduk seorang pria berpakaian serba putih.
Pasti itu Lukas. Segera saja Desi berjalan menghampirinya.
Akan tetapi, ketika semakin dekat, ia menyadari bahwa wajah pria itu sangat samar. Tak peduli berapa kali mengerjapkan mata dan berusaha berkonsentrasi, tetap saja ia tak bisa melihat wajah si pria dengan jelas.
Yang pasti, dia bukan Lukas.
“Duduklah.”
Desi agak berjengit saat mendengar suara pria itu secara tiba-tiba. Begitu dalam dan empuk. Yang membuat semua terasa aneh adalah ia tidak bisa melihat mulut pria itu bergerak saat berbicara.
“Tidak perlu takut.”
Perlahan, Desi duduk di samping pria itu, bersandar pada batang pohon yang kokoh.
“Nah, ceritakan padaku tentang misimu.”
“Misi?” Desi mengerutkan kening, bingung.
“Apakah kau berhasil melakukan yang kau mau?”
“Maksudnya …?”
“Apakah kau berhasil menggagalkan pernikahan ibu dan ayahmu?”
Seketika itu juga, ledakan memori memenuhi benak Desi.