Jejak Waktu Desi

Khaulah
Chapter #22

[22] Tak Ada yang Berubah

“Hah! Jadi kamu masih ingat punya Ayah?” tanya pria berusia enam puluh tahun itu dengan ketus.

Desi mengerjapkan mata dan memandang berkeliling. Saat ini, ia sedang duduk di sebuah ruang tamu yang sangat mewah, berhadapan dengan … Aziz, ayahnya.

Bagai orang linglung, ia menunduk, menatap tubuhnya yang tidak terasa sakit sama sekali. Tidak ada luka akibat tusukan gunting ataupun kecelakaan yang disengaja.

“Desi! Jawab! Masih ingat punya Ayah?!”

Perlahan, Desi mendongak. Aziz tampak sangat renta. Tubuhnya kurus kering dengan uban menghiasi rambut ikalnya. Di sisi kursi, bersandar sebuah tongkat. Aziz memang kesulitan berjalan sejak muda karena pernah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya pincang.

Kecelakaan? Mungkinkah itu ….

“Desi!”

“Eh? Iya, Yah? Kenapa?”

“Kenapa bengong?! Kamu malas dengerin omongan Ayah?!” Mata Aziz merah dan melotot. Ekspresinya benar-benar menyeramkan. Tapi, Desi tidak merasakan apa pun.

Bahkan, amarah pun tidak.

“Bukan gitu. Aku cuma … lagi mikir aja.”

“Mikir apa?! Mikirin dosamu sama Ayah?!”

“Bukan. Aku lagi mikir ….” Desi menggigit bibir bawah sejenak. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya ada di dalam benaknya. “Aku lagi mikir … nanti siang mau makan apa.”

Mulut Aziz membuka dan menutup berkali-kali tanpa sepatah kata pun. Ia menatap putrinya dengan bingung dan marah. Mungkinkah Desi sedang mempermainkannya?

“Oh ya, tujuanku ke sini bukan buat berantem, Yah,” kata Desi lagi. Sengaja mengatakan itu buru-buru untuk mengalihkan perhatian. “Aku mau menikah.”

Aziz menaikkan salah satu alis lalu tersenyum miring. “Oh? Menikah juga kamu akhirnya. Selamat deh! Mana calonmu?”

“Lagi kerja. Dia enggak bisa ambil cuti karena ada kerjaan penting. Dia titip salam aja buat Ayah.”

Aziz mengerutkan kening. Ia berusaha mencari celah untuk memaki-maki sang putri, namun Desi tampak sangat tenang dan sopan.

Desi sendiri merasa heran. Mengapa sikapnya berubah? Bukankah ia seharusnya merasakan amarah, kekesalan, dan dendam? Mengapa ia bisa menyahuti seluruh bentakan ayahnya dengan tenang?

“Tujuanku ke sini mau nanya, Ayah bersedia jadi wali nikahku atau enggak?” tanya Desi setelah terdiam sejenak.

Aziz tertawa mengejek. “Akhirnya kamu mengakui kalau masih butuh Ayah kan?! Dulu kamu sia-siain Ayah, sekarang kamu datang ngemis-ngemis.”

“Oh, enggak.” Desi tersenyum cerah. Sikapnya berubah, tapi ia malah menikmatinya. Mengapa tidak sejak dulu ia bersikap seperti ini? “Aku enggak ngemis. Aku juga enggak sia-siain Ayah. Justru Ayah yang sia-siain aku, Mas Tira, Mas Bima, dan Ibu. Terutama Ibu sih.”

“Kapan Ayah sia-siain kamu dan ibumu?!” bentak Aziz. “Ayah kerja banting tulang demi kalian tapi apa balasan kalian?!”

“Ih, yakin Ayah kerja buat kita? Bukannya untuk selingkuhan Ayah?”

“Kurang ajar!” Aziz menegakkan tubuh dan menuding Desi. “Yang selingkuh itu ibumu! Dia berani gugat cerai saat kalian masih kecil karena dia selingkuh sama teman kerjanya dulu! YANG SELINGKUH ITU IBUMU!”

Desi tersenyum. Hingga detik ini, ia tidak merasakan apa pun terhadap ayahnya. Ia justru merasa tenang dan damai.

Ia merasa bebas.

“Ibu enggak selingkuh, Yah,” kata Desi kemudian. “Sampai detik ini, Ibu enggak pacaran atau nikah lagi. Sementara, Ayah sudah lima kali ganti pacar dan dua kali nikah siri sejak cerai sama Ibu. Dari fakta itu bisa ketahuan siapa yang sebenarnya selingkuh, kan?”

Aziz membuka mulut, hendak menyahut. Tapi Desi tidak memberinya kesempatan.

“Yah, bukan itu yang mau aku bahas sekarang. Aku cuma butuh jawaban. Ayah bisa jadi wali nikahku atau enggak?”

Aziz melotot. “Jadi begini ya, ajaran ibumu. Enggak ada sopan santun sama sekali. Bertingkah kurang ajar. Sombong.”

Desi bangkit dan tersenyum. “Oke. Aku anggap itu artinya Ayah enggak bersedia ya? Aku pamit dulu kalau begitu.”

“Mau ke mana kamu, Desi?! Kurang ajar kamu ya! Begini didikan ibumu?!”

Desi tidak mengindahkan seruan Aziz. Ia langsung berjalan keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. Barulah ia menyadari bahwa kekesalan dan amarah itu tidak sepenuhnya lenyap. Hanya berkurang beberapa tingkat. Namun, tetap saja ada. Dan cukup untuk membuat tangannya gemetar.

Tanpa sadar, Desi menangis tersedu-sedu.

Ia kira ayahnya akan berubah. Ia kira jalan kehidupannya akan berubah. Ternyata tidak.

Tidak ada yang berubah.

Seluruh usahanya sia-sia.

Walau begitu, ia merasa lega. Karena, ia kembali ke masanya. Ia bisa bertemu Ibu, Mas Tira, dan Mas Bima lagi.

Membayangkan hal itu membuat Desi tersenyum. Tangisnya berangsur-angsur berhenti.

Babe, are you okay?

Desi terkesiap. Saat itulah ia menyadari kehadiran seseorang di sampingnya.

Tubuh tinggi, kekar, dengan bahu lebar dan dada bidang. Rambut hitam legam yang sedikit ikal; beberapa helai jatuh menutupi dahi. Bibir penuh, hidung mancung, rahang tegas.

Namun, yang membuat napas Desi tersentak dan jantungnya berdetak lebih cepat adalah kedua mata pria itu. Jernih, cerah, tampak tulus, dan sedikit polos.

Dua mata yang Desi lihat selama kurang lebih satu bulan. Yang selalu membuatnya merasa tenang dan damai.

Dua mata yang terakhir kali menatapnya sendu.

“Lukas …?”

Pria itu tertawa kecil. “Tumben banget manggilnya Lukas. Biasanya Mas Dayan.”

Desi mengerjap lagi. Apakah ia salah orang? Bukankah Mas Dayan adalah tunangannya? Akan tetapi, pria di hadapannya jelas-jelas Lukas. Walau terlihat lebih dewasa dan matang—secara fisik dan sika—tetap saja ia kenal betul wajah dan mata itu.

“Hei, kamu kenapa sih, Sayang? Kok kayak linglung?” Pria itu menangkup pipinya lembut. “Gimana tadi sama Ayah? Sukses?”

Masih sedikit bingung, Desi menggeleng pelan.

“Ya udah. Enggak apa-apa. Berarti nanti wali nikahmu Mas Tira aja ya?”

Desi mengangguk. Ia masih belum sanggup bersuara. Matanya sibuk menelusuri wajah pria di hadapannya.

Lihat selengkapnya