Langit yang berubah menjadi mendung membuat Taka hendak buru-buru pulang agar tidak sampai kehujanan di jalan, namun saat kakinya menginjak tanah parkiran tempat dia memarkirkan motornya, pandangannya menangkap seseorang yang tengah berjongkok di bawah pohon dengan pandangan lurus ke bawah. Ia menyipitkan matanya, hendak memastikan siapa yang ia lihat dalam jarak kurang lebih dua puluh meter dari tempatnya berdiri sekarang.
Orang tersebut terasa sangat familiar bagi Taka, dan kecurigaannya terbukti saat orang itu mengangkat wajahnya, membuat Taka dapat melihat dengan jelas siapa yang tengah berjongkok di bawah pohon rindang sendirian seperti anak buangan saja.
Taka mendengus geli, menggelengkan kepalanya pelan karena tingkah sahabatnya itu sekarang yang entah sedang apa. Ia pun pada akhirnya tidak jadi melangkah menuju motornya melainkan membawa langkahnya menghampiri Kayla yang masih belum sadar akan kehadirannya.
“Woi!”
“Ayam!” Taka tertawa melihat ekspresi yang ditunjukkan gadis itu; tersentak kaget lalu dengan sekejap berganti menjadi raut kesal.
“Lo ngapain dari tadi jongkok di situ?”
“Ngitungin kerikil,” jawab Kayla asal.
Taka membawa langkahnya lebih dekat, lalu tangannya dengan jail menarik helaian rambut Kayla ke atas. “Sekalian aja hitungin helaian rambut lo ada berapa.”
Kayla menengadah dengan tatapan sinis, menatap Taka yang berdiri sementara ia masih pada posisi. “Lo ngapain ke sini?”
“Mau pulang lah, eh malah liat lo jongkok di bawah pohon gini kayak penunggu kampus. Ngapain sih lo?”
Kayla menghembuskan napasnya pelan sebelum pada akhirnya dia memutuskan untuk berdiri sejajar dengan Taka. “Tadinya mau nunggu Jevin, kirain sebentar doang tapi kok gak muncul-muncul ya,” ujarnya.
“Masih ada hal yang harus diurus kali.” Taka mengalihkan pandangannya menatap pada langit yang masih tidak menunjukkan tanda-tanda kecerahan sama sekali. “Mau pulang?”
Kayla menghembuskan napasnya dengan lelah, lalu mengangguk. “Iya.”
“Ya udah kalau gitu bareng gue aja.” Melihat Kayla yang terdiam berpikir sebelum menyetujui ajakannya membuat Taka kembali berbicara. “Udah mau sore, Kay, mendung juga. Takutnya lo malah kejebak hujan di sini, mending di kosan nonton drama.”
Mendengar apa yang Taka ucapkan membuat Kayla terkekeh pelan, ia setuju dengan ucapan pemuda itu. Lebih baik dia pulang. Toh, Jevin juga tidak menyuruhnya untuk menunggu. Tadinya Kayla pikir acara setelah ishoma hanya sebentar, hanya sekadar sesi foto bersama, tapi ternyata dua jam berlalu juga tidak ada tanda-tanda Jevin kembali. Dan maka dari itu, ia akhirnya mengangguk mengiyakan ajakan Taka untuk mengantarnya pulang.
Sebenarnya sudah bisa diprediksi jika tak lama lagi akan turun hujan, dan Taka merutuki dirinya sendiri karena tidak membawa jas hujan dalam jok motornya—atau bisa dibilang kalau dia tidak punya benda tersebut karena ia tidak memerlukan itu disaat dia terbiasa menerobos hujan tanpa pikir panjang. Namun kali ini situasinya berbeda, dia sedang bersama dengan Kayla. Ia tidak mungkin membiarkan gadis itu basah kuyup, maka dari itu ia memutuskan untuk singgah berteduh saat hujan turun di perjalanan menuju kosan gadis itu.
“Kok berhenti sih, Ka?” tanya Kayla saat Taka menghentikan motornya di pinggir jalan, di sebuah ruko kosong yang punya atap teras cukup besar untuk melindungi dari hujan.
“Hujan, lo gak lihat?”
Kayla menengadah sambil mengangkat telapak tangannya untuk memastikan apa yang Taka ucapkan benar. Dan benar saja, bisa ia rasakan tetesan air dari langit itu jatuh mengenai kulitnya.
“Cuma gerimis gini kok, masih bisa lanjut jalan kali, Ka.”
“Nanti hujannya deras di jalan, Kayla. Sebelum nanti gak nemu tempat buat berteduh lagi, mending di sini dulu.”
Kayla menggeleng cepat. “Masih sempat. Percaya sama gue, ini gerimis kecil gini gak akan buat kita basah kuyup kok.”
Karena Kayla yang keukeuh ingin melanjutkan perjalanan, akhirnya Taka tidak bisa menolak. Mereka kembali berangkat di bawah gerimis hujan yang tidak lama kemudian berubah menjadi deras. Taka berdecak, mengomeli Kayla karena tidak menurut pada perkataannya. Akibatnya sekarang mereka tidak menemukan tempat untuk berteduh dan sudah terlanjut basah kuyup karena diguyur hujan deras di jalanan.
Kayla yang tidak mendengar dengan jelas apa yang Taka ucapkan karena pengaruh hujan pun hanya bisa tertawa.
“Malah ketawa.”
“Apa?! Gue gak dengar ucapan lo.”
“Iya, pegangan.”
Kayla mengerjap di balik kaca helmnya. Tidak mendengar begitu jelas apa yang baru saja Taka ucapkan, yang pasti ia yakin jika obrolan mereka tadi tidak nyambung sama sekali.
Sesampainya di kosan, Taka langsung menyuruh Kayla masuk dan berganti baju, khawatir jika gadis itu akan jatuh sakit karena sudah ia bawa menerobos hujan deras.
“Langsung minum obat aja, Kay.” Taka berpesan sebelum memutuskan untuk pulang karena hujan yang sudah mulai reda. Lagi pula di kosan Kayla tidak punya baju ganti pria yang bisa dipakai oleh Taka mengganti bajunya yang basah, maka dari itu Kayla menyuruh Taka untuk segera pulang saja karena takut jika pemuda itu akan masuk angin jika dibiarkan menggunakan pakaian yang basah.
“Gak kenapa-kenapa kok, gak percayaan amat kalau gue cewek strong.”
“Strong apaan, dulu waktu SMA lo kehujanan juga langsung demam, tiga hari gak masuk sekolah.”
Kayla mencibir. “Itu ‘kan dulu!”
Taka mendengus pelan dan pada akhirnya memilih untuk tidak mau menyangkal.
“Ada stok obat ‘kan?”
“Ada, tenang aja.” Kayla menunjukkan jari jempolnya pada Taka, meyakinkan kalau semuanya aman. “Ya udah sana lo pulang. Nanti masuk angin pakai baju basah gitu.”
“Lo juga, masuk, langsung mandi air hangat, pakai baju yang tebal habis itu tidur. Gak usah nonton drama Korea dulu, istirahat biat gak sakit.”
“Iya, bawel.” Kayla terkekeh menanggapi Taka yang sedang dalam mode cerewetnya.
Setelah itu, Taka pun pamit pulang, dan Kayla masuk ke dalam, mengikuti perintah pemuda itu untuk mandi air hangat dan menggunakan baju tebal agar menetralisir dari kedinginan. Setelahnya Kayla tertidur karena lelah, dan kemudian ia terbangun dengan kepala yang mendadak pusing sehingga membuatnya berat untuk membuka mata.
Sial, kepalanya terasa sangat berat dan badannya menggigil kedinginan. Sudah dapat dipastikan jika Kayla jatuh demam sekarang.
Kayla menjangkau ponselnya yang ada di tempat tidur, menelpon siapa pun yang ada di kosan untuk membantunya yang sedang lemas tak bertenaga.
“Halo, Kay? Kenapa nelpon?”
“Kak, lo di mana?”
“Gue lagi di tempat teman, kenapa?”
“Oh, gak jadi kalau gitu.”
“Kay, lo sakit? Kok suaranya lemas banget gitu?”
“Hm, gak tahu juga, kayaknya iya. Gue kira lo ada di kosan, makanya mau minta tolong.”
“Duh, sorry, ya. Coba Adel, kayaknya dia ada di kosan.”
“Iya, gue hubungin Mbak Adel habis ini.”
“Okay, get well soon, ya.”
“Iya, Kak, thank you.”
Kayla menghela napasnya berat setelah sambungan telepon terputus. Demi apa pun kepalanya sangat pusing, penglihatannya pada layar ponsel sedikit kabur saat hendak menekan kontak Adel.
“Mbak, lo di kos?”
“Halo, Kay?” Kayla mengerjap lemah, lalu menarik kembali ponselnya dari samping telinganya untuk memastikan kembali jika dia tidak salah tekan nomor karena yang ia dengar tadi bukan suara Adel melainkan suara seorang pria.
“Anjir, perasaan tadi gue nekannya kontak Mbak Adel, kok jadi telepon lo sih. Sorry ya.” Kayla menepuk jidatnya sendiri menyadari kebodohannya saat melihat kontak siapa yang ia panggil. Bukan Adel, melainkan Taka.