Hari-hari berjalan dengan kesibukan Jevin yang menjadi budak organisasi, rapat hampir setiap hari, bahkan pernah seharian tidak menghubungi Kayla sama sekali. Di kelas pun Jevin kadang hanya sempat sekadar menyapa saja tanpa interaksi lebih seperti biasanya karena memfokuskan diri pada mata kuliah yang sedang berlangsung. Mau tidak mau dia harus produktif dan serius karena tidak mau nilai akademiknya menurun karena organisasi yang sedang ia jalankan. Tapi walau pun begitu, Jevin selalu menyempatkan diri untuk menelepon Kayla sebelum tidur untuk sekadar mendengar suara gadis itu walau kerap kali berakhir dengan ketiduran.
Seperti sekarang, padahal Kayla tadinya sedang menonton drama korea yang baru saja merilis episode terbarunya pada jam sepuluh malam, namun ia merelakan untuk menjeda tontonannya karena panggilan masuk dari Jevin. Karena jika tidak diangkat bisa-bisa pemuda itu datang seperti jailangkung ke kosannya tanpa pikir seperti satu minggu yang lalu, tepat di hari di mana saat Jevin tidak menghubungi Kayla seharian, masuk kelas juga tidak alias izin karena suatu hal, dan itu membuat Kayla kesal sampai mengabaikan panggilan masuk dari pemuda itu. Dan setelah itu bisa ditebak, Jevin langsung datang tanpa pikir panjang.
“Presentasi besok udah kelar belum power pointnya?” Jevin tidak pernah berbasa-basi jika menelponnya pada malam hari. Kayla tidak lagi heran sekarang karena sudah terbiasa dalam satu bulan terakhir dengan perubahan sikap pemuda itu yang jauh lebih menghangat kepadanya meski sifat menyebalkannya masih tidak bisa hilang di sela-sela obrolan serius mereka.
“Udah, tenang aja gue ‘kan jago bikin PPT.” Kayla mencari posisi ternyamannya di tempat tidur sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Besok setelah kelas, lo free?”
“Free. Sibuknya nanti sore. Lo mau ke warnet?”
“Kok ke warnet, sih?” Kayla mendengus pelan, “Lo rencana mau ke warnet?”
“Iya, udah lama enggak. Butuh refreshing.”
“Halah.” Kayla mencibir dengan dengusan kecil. “Lo ada waktu gitu bukannya dipakai buat istirahat, ini malah mau ke warnet. Gak capek apa?”
“Makanya ‘kan gue mau ngajak lo juga.”
“Apa hubungannya sama ngajak gue?”
“Mau pinjam pundaknya buat nyender.”
“Idih, sok iya. Tapi itu ‘kan bisa ke kosan gue aja.”
“Sambil main game,” sambung Jevin namun kembali dapat sanggahan dari Kayla.
“Bisa main lewat HP ‘kan? Kayak biasa juga lewat HP.”
“Beda rasanya, lah. Lo mana paham.”
“Emang bisa main komputer sambil nyender gitu di pundak?”
“Gak bisa, sih.”
“Terus maksud lo apaan, Anjir?”
Jevin hanya tertawa sebagai tanggapan, membuat Kayla memutar bola matanya dengan malas sambil menghela napas. “Ya udah.”
“Ya udah apa?”
“Ya udah kalau mau ke warnet, gue tahan juga lo gak akan mau dengerin.”
“Tapi lo ikut gak?”
“Gak.”
“Yah.”
“Kecuali dengan syarat.”
“Syarat apaan?”
“Besok setelah urusan lo kelar, malamnya temani gue makan seblak.”
“Itu doang?”
“Bisa gak? Nanti ada urusan mendadak lagi.”
“Bisa. Gue usahain.”
Kayla tersenyum mendengarnya. Ia pun kemudian mengangguk meski tahu Jevin tidak akan melihat reaksinya tersebut. “Ya udah gue mau lanjutin nonton.”
“Gue juga mau main game.” Kayla kembali mengangguk tanpa protes.
“Oh iya, Kay.” Sebelum menutup panggilannya, masih ada yang mau Jevin bicarakan rupanya. “Ini udah tanggal 18, hari ini premiumnya abis ‘kan?”
“Hah?” Sebentar, Kayla tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Jevin sekarang.
“Netflix lo.”
“Oh?” Kayla mengerjap lambat, tersadar akan hal itu. “Gue lupa tanggal berapa. Kan terakhir lo yang premiumin. Kenapa? Mau premiumin lagi?”
“Geer banget. Gue ingetin doang, takutnya jam 12 malam lo masih nonton terus berhenti di tengah jalan karena hari ini terakhir masa premiumnya. Nanti bad mood, yang kena imbasnya gue.”
Kayla mendengus, namun tak menyangkal kata-kata Jevin barusan. “Ya, terima kasih sudah mengingatkan. Sekarang saya mau lanjut menonton nanti keburu jam 12 malam,” ujarnya sebelum memutuskan sambungan telepon mereka.
***
Tadinya Jevin ingin langsung pulang setelah menyelesaikan kegiatan organisasinya di Universitas, namun saat ia baru saja menyalakan mesin motornya dan bersiap hendak menancap gas, ada yang menarik perhatiannya ketika seseorang terlihat berlari menghampiri tempatnya berpijak sekarang.
Entah ada apa sampai Sasa terlihat terburu-buru melangkah—atau bahkan bisa dibilang jika gadis itu tengah berlari sambil memanggil namanya.
“Je, gue boleh nebeng?” Kalimat pertama yang Sasa lontarkan saat ia menghentikan langkahnya tepat di hadapan Jevin yang tengah menunggangi motornya.
“Lo tadi ke sini naik apa?” tanya Jevin. Bukannya tidak mau menebengi, hanya saja dia malas untuk menanggapi Sasa yang bisa saja membuat Kayla marah kepadanya nanti.
“Tadi gue naik ojek, tapi dari tadi gue pesan ojek online kena cancle mulu. Apa karena baru aja maghrib, ya?”
“Iya kali. Tunggu sebentar terus pesan lagi aja.”
Sasa menggeleng cepat, tidak setuju dengan saran yang Jevin sebutkan. “Masalahnya adek gue di rumah sendiri. Papa tadi bilang ke gue kalau dia ada urusan abis maghrib, meeting mendadak gitu katanya dan gue disuruh buat pulang sekarang,” ujarnya, memberikan tatapan putus asa yang membuat Jevin menghela napasnya. Dengan sifat tidak tegaannya, Jevin tidak mudah untuk menolak orang yang meminta bantuan secara langsung seperti ini. Apa lagi ketika mendengar ada anak kecil yang terlibat, dia jadi tidak bisa menolak, dan kebetulan rumah Sasa juga searah dengan kosannya.
“Ya udah, sama gue.” Tatapan Sasa langsung berbinar saat mendengar kalimat itu keluar dari mulut Jevin yang mengizinkannya untuk ikut pulang bersama pemuda itu.
Saat sampai di rumah Sasa, Jevin ditawari untuk mampir namun ia menolak, tapi saat itu seorang laki-laki paruh baya namun masih terlihat gagah dengan pakaian rapi muncul dari balik pintu, tersenyum hangat menyapa pemuda itu.
“Kok gak disuruh masuk temannya, Sa?”
Mendengar hal itu Jevin balas tersenyum sopan sembari menggeleng pelan. “Gak perlu, Om. Saya mau langsung pulang aja.”
“Loh, jangan dulu dong. Kamu sudah antar anak saya dengan selamat gini minimal dikasih minum. Kebetulan juga tadi saya beli banyak makanan buat Sasa dan adiknya, tapi saya tiba-tiba ada urusan mendadak, makan di sini aja ya temani mereka.” Jevin merngerjap diiringi dengan senyum kikuk. Biasanya seorang ayah akan sangat mengkhawatirkan pergaulan anak perempuannya apa lagi dengan teman laki-laki, namun orang tuanya Sasa malah terlihat sangat welcome dengan dirinya. Jevin jadi tidak tahu bagaimana caranya untuk menolak, apa lagi saat adik Sasa muncul dan berlari ke arahnya sambil memanggil nama. Anak kecil itu rupanya masih ingat dengan Jevin yang dulu pernah mengantarkannya pulang.