Jeki dan Jin Qarin

Chiavieth Annisa06
Chapter #1

Masuk asrama

"Jeki..." Ibu memanggil saat aku baru saja kembali dari mesjid. "Kamu sudah pulang nak?" Tak lupa aku menyalami tangan Ibu sebelum menjawab. "Assalamualaikum Bu."


Dengan tenang beliau menjawab salamku, dan bertanya. "Bagaimana dengan rencanamu?"


"Maksud Ibu?" Fokusku teralihkan ketika wanita yang melahirkanku itu membelai rambutku dengan lembut. "Kenapa kamu melupakannya begitu saja? padahal kan ibu sudah bilang berkali-kali, kamu setuju masuk pesantren, atau masih bersikeras masuk SMP biasa?"


Sebagai orang tua, masing-masing punya keinginan agar anaknya menjadi yang terbaik. Melihat aku masih tak menjawab akhirnya Ibu pergi tanpa mengucap sepatah kata pun, hal itu membuatku merasa bersalah dan memutuskan untuk mengendap-endap mengikuti Ibu.


Aku baru tahu kalau beliau ternyata mengunjungi seorang ustadz yang cukup disegani di kampung kami, ustadz itu bahkan sering di tunjuk sebagai penceramah di mushalla satu-satunya yang tak jauh dari rumah kami 'Ainul Yaqin'.


Aku mendengar Ibuku berbicara bukan hanya dengan ustadz, namun istrinya juga, sepertinya mereka mulai akrab. Sementara, aku tetap duduk bersembunyi tak jauh dari sana, yang kulakukan hanya satu, menguping pembicaraan mereka.


Aku tak begitu jelas mendengarnya, rasa penasaran membuatku mencoba agak mendekat, samar aku tersenyum, karena akhirnya aku mendengar suara mereka. " ... Benarkah? makasih banyak ustadz, saya terharu akhirnya anak saya Jerry Kimuntori bisa mondok. Apalagi basis pendidikan pesantren modern itu hampir samaseperti SMP negeri."


Aku senang sekaligus terharu, ternyata begitu sulit seorang ibu memikirkan tentang pendidikanku. Kurasa memang beliau memang menginginkan aku belajar mendalami ilmu agama.


***


Seminggu setelahnya ...


Mobil pak RT standby di depan rumah dan tinggal menungguku masuk. "Jeki ... cepat sedikit, nanti kita kesiangan ..."


Aku masih sibuk dengan barang bawaanku, beberapa komik, novel dan barang-barang yang enggan aku tinggalkan membuatku sedikit kerepotan.

"Sudahlah, Jeki. Pak RT sudah menunggu ..."


Tanganku ditarik, aku tak punya pilihan lain selain mengikuti saran ibu, dan mengikuti langkahnya sampai di depan mobil.


"Ayo naik, perjalanan kita tidak dekat." lagi-lagi aku menurut tanpa berkomentar. "Sudah pak!"


Kami berangkat ke kota tetangga yang baru saja di resmikan dua tahun lalu. Konon katanya daerah itu adalah desa yang terisolir, namun berkat pemerintah yang melestarikan lingkungannya, akhirnya desa itu berubah jadi kota kecil hingga berdiri sebuah Pondok pesantren dengan sekolah formal.


"Bu, nama pesantrennya apa?"

"PonPes Modern Surya Hikmah." potong Pak RT menjawab. "SMP-nya sudah berjalan di tahun kedua."


"Benarkah?" Aku menanggapinya dengan semangat.


"Ya, coba kamu lihat disana. Sebentar lagi kita sampai, itu tandanya."

Kulihat tanda panah kuning membentang di tepi jalan raya, tampaknya itu menjadi patokan arah tujuan semua orang.


"Kita sampai." Detik itu, pak RT menghentikan mobilnya di parkiran.

Sepanjang area parkir, kulihat terisi penuh dengan kendaraan yang berjejer. "Aku tak menyangka, pendaftarnya akan sebanyak ini."


"Ayo Bu, kita ke bagian staff penerimaan santri, semoga saja pendaftarannya belum ditutup."


Aku cukup kaget. "Secepat itukah?"


"Ya, itu karena pendaftar bukan hanya di satu kota, tapi dari berbagai daerah." Obrolan kami terhenti ketika seseorang mendatangi kami. "Ibu juga mendaftarkan anaknya? Asal Ibu dari mana?"


Ibu sedikit gugup sebelum menjawab. "Eh, ya. Sa-kami dari kota Emas Hitam."


"Emas hitam..." Orang itu sedang berpikir sambil menggaruk kepalanya. "Dengan ibu, Dewi Sumirah?"

Wajah gugup tadi berubah cerah. "Benar, Tapi bagaimana anda tahu nama saya?"

Sudut keningnya berkedut, membuat kami tergelak. "Kenalkan, Saya Hanafi Jamil, panitia pendaftaran sekaligus staf pengajar di SMP Surya Hikmah ini."


Meski dalam keadaan bingung, tapi aku lega bahwa mereka akhirnya mengenal Ibuku. Namun, tampaknya ibu masih belum bisa mengerti dengan hal itu "Tapi ..."


"Oh, maaf. Saya lupa memberitahu bahwa kemarin ada yang mendaftarkan santri baru atas nama Jerry Kimuntori, dan katanya dia datang hari ini."


"Ah, benar, itu anak saya Jeki. Tapi, siapa yang mendaftarkannya? apa itu ustadz Zulkarnain?" Ibu mencoba menerka.


"Maaf, saya tidak tahu informasi tentang itu, kebetulan tadi cuma dapat pesan dari kepala pesantren, jadi saya menyiapkan selembar formulir untuk diisi." Sosok pengajar itu melihat padaku sambil mengibaskan tangannya.


"Jadi kamu yang namanya Jeki?" Aku mengangguk, lalu ia mengusap kepalaku sambil tersenyum. "Tunggu di sini sebentar, saya ambilkan formulir untuk diisi."


Lihat selengkapnya