Jeki dan Jin Qarin

Chiavieth Annisa06
Chapter #2

Jati diri sebenarnya

"Aku harus siap-siap ke masjid, tapi udara begitu dingin." Aku meringkuk di tempat tidur, namun ingatanku terpacu pada suara yang berbicara denganku semalam. Hal itu memudahkanmu melawan rasa malas, dan segera pergi ke masjid.


Selesai sholat, mataku tak sengaja melihat kearah pojokan sebelah kanan di shaf kedua. Seseorang yang memakai gamis putih, namun unik seperti pakaian orang arab, namun ini dilapisi semacam rompi 2 warna, merah dan hijau, lalu kepalanya memakai sorban hitam dengan songkok putih. "Sepertinya juga orang baru."


Seakan tahu diperhatikan, dia menoleh memandangku, lalu mengangguk. "Aku harus tanyakan ini pada kak Latif."


Aku mencari-cari sosok tersebut, begitu melihatnya, aku langsung mendekati dan berbisik. "Kak Latif, kakak kenal tidak, dengan orang yang dipojok kanan shaf kedua itu?"


Latif melihat kearah yang dimaksud, dahinya mengernyit dan terlihat memasang wajah sebal. "Kamu jangan bercanda, dipojok kanan itu nggak ada orang."


Aku kaget dan melihat arah yang di tunjuk tadi. "Mungkin saja sudah keluar."

"Ciri-cirinya?"


"Jubahnya putih, rompi merah hijau dan sorban Hitam."


"Oh, mungkin warga kampung sini, masjid di pesantren memang terbuka untuk umum." Ini agak aneh, aku belum yakin dengan kata-kata kak Latif,

menurutku tidak wajar jika manusia pergi dengan secepat kilat.


"Jeki, kamu lagi mikir apa? ayo kita dengar ceramah subuh materinya lebih fokus dari pada ceramah di masjid yang di luar pondok."


Meski sulit dicerna, namun aku tak mau membuat temanku kecewa karena menolak ajakannya. Kami ambil posisi paling depan, mendengarkan sedikit beberapa kata yang membuat semua orang sedikit tertampar. Ceramah pagi yang membuat air mata menetes, yaitu tentang muhasabah.


Waktu 30 menit hampir tak terasa berlalunya, berakhir dengan ucapan salam, semua jamaah segera meninggalkan tempat, kecuali Aku dan Latif. "Kamu jangan keluar dulu, kita ngobrol sebentar dengan ustadz, supaya kita bisa lebih akrab. Ini kesempatan yang langka, mungkin tak akan ada di lain waktu."


Kata-kata Latif mungkin sedikit berguna, aku memutuskan bertahan duduk di majelis.


Ustadz yang dikenalnya, Hanafi Jamil juga hadir di sini, dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku duduk di sebelahnya.


Jika hanya sekedar pemahaman dasar agama, aku cukup mengetahui hal itu dari ayah, bahkan ketika ustadz itu mengajakku mengobrol aku tetap mengutamakan kesopanan.

"Assalaamu 'alaikum ustadz."


"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh." Betapa senangnya ketika saoam yang kubaca di jawab oleh beberapa orang besar seperti ustadz dan lainnya.


"Kamu santri baru itu kan." tanya salah seorang ustadz.


"Benar pak ustadz, saya sudah mendaftar kemarin dan langsung tinggal di asrama.


"Apa itu berarti kalian serombongan dengan ustadz Johni Ramadhan?"


"Kayaknya belum, aku baru dengar nama itu, memangnya kenapa pak?"


Pak ustadz tergelak mendengar ucapan polos saya. "Makanya, mulai sekarang kamu harus tahu semua tentang pesantren ini. Jadi, beliau itu adalah kepala pesantren di pondok kita."


Aku kini paham, jujur rasanya aku malu pada diriku sendiri. "Maaf, Ustadz. sebelumnya saya memang nggak tahu, kedepannya mohon beri nasehat lebih banyak untuk saya." aku bahkan tak berani menatap mereka.


Lagi-lagi ustadz itu tertawa, tampaknya beliau betul-betul tak mempermasalahkannya, aku cukup beruntung bisa bertemu dengan orang-orang baik disini.


"Jeki ..." Suara itu kembali mengejutkanku, ini entah kali keberapanya aku dibuat terkejut karenanya. "Nah, kedepannya jangan terlalu kaku dengan semua yang ada disini, kita semua keluarga. Kalau misalnya ada kendala, kita bisa diskusi dan cari jalan bersama."


"Baik Ustadz, terimakasih nasehatnya." Aku sengaja membungkuk, lalu menyalami semua yang di anggap tua disana. Tak perlu berpikir lagi untuk menanyakan guru atau ustadz, biarpun warga biasa, aku bertekad akan menghargai mereka.


"Oh ya, ngobrolnya di lanjut nanti saja, pagi ini kita sarapan dulu." Ustadz Hanafi menarik dan mengajakku keluar masjid.


Sampai di ruang makan asrama, ternyata sebagian santri telah berkumpul dalam satu tempat sambil menikmati menu sarapan sederhana. Melihat kami tiba, mereka menyambut dan mengajak kami ikut sarapan.


"Kegiatan belajar di pondok pesantren kita ini, tetap sama dengan kurikulum formal di Mts formal. Sore belajar kitab gundul, hafalan Al Qur-an dan Hadits serta tafsir juga Syarah." Saat kami sarapan, ustadz Hanafi memberi tahu kegiatan di pesantren.


Saat beliau melanjutkannya, aku tetap fokus dengan sarapan.

"Sebenarnya secara garis besar profil dan sistem pembelajaran di Pondok Pesantren kita ini sudah tertulis di brosur pendaftaran santri baru, orang tua kalian pasti sudah tahu." Aku bahkan belum mendapatkan brosur sebelum masuk asrama.


Lihat selengkapnya