Jelajah

Lidya Arway
Chapter #1

Tiani dan Shannon

“Tiani!”

“Bibi!!”

Tiani menoleh ke kanan dan melihat kakak laki-lakinya dan Sia, keponakan kecilnya, melambai padanya. Dia segera menyeret kopernya dan menerobos gerombolan orang-orang yang berkerumun di dekat pintu kedatangan dengan bersemangat. Kakaknya merentangkan tangannya dengan senyum lebar saat dia mendekat, tapi saat Tiani mau memeluknya, dengan cekatan kakaknya menghindar.

“Apa, sih!!” kata Tiani, kesal.

“Kamu belum mandi, ‘kan?” goda kakaknya.

“Enak aja. Lagian kirain kangen, tumben mau meluk pas jemput,” kata Tiani. Dia berbalik dan memeluk Sia yang daritadi minta dipeluk. “Hai, Keshiaaa! Kangen bibi, yaaa??”

“Cuma ke Bali 3 hari aja, lho.” Kakaknya terkekeh. Dia mengambil alih koper Tiani saat mereka lanjut jalan ke parkiran bandara. “Terus, gimana? Lancar?”

“Yah, oke, lah. Habis ini fokus nulis, pokoknya. Rumah gimana, nggak berantakan, ‘kan? Tadi udah belanja? Kulkas kosong, lho, sebelum aku pergi. Terus itu Kang Malik yang jualan sayur kapan hari bilang dia mulai jualan tauge lagi mulai kemarin, kakak udah beliin, ‘kan?”

“Aduh, iya, cerewet. Tenang aja. Kok kamu jadi lebih bawel dari Melanie, sih.”

“Selama kak Melanie kuliah di Jerman, kan aku yang jadi penggantinya di rumah.”

“Ya, ya. Yang kakak-adik kalian apa kita, sih,” gumam kakaknya. “Anyway, selama kamu pergi, kakak renovasi taman belakang rumah, lho.”

“Oh, ya?? Yeeey!”

Sebagai seorang traveler, vlogger, dan penulis lepas majalah travelling, sendirian di rumah yang sepi sangat penting untuk Tiani. Stefani, sebenarnya. Tapi Sia kesulitan memanggil namanya saat dia baru belajar bicara, dan nama yang keluar dari mulutnya jadi Tiani, jadi sejak itu kakaknya pun memanggilnya Tiani. Kakak iparnya adalah seorang dokter yang melanjutkan sekolah ke Eropa, dan dia menitipkan Sia dan suaminya pada Tiani, yang sekarang berperan sebagai ibu rumah tangga di rumah mereka. Tiani tidak keberatan sama sekali, mengingat kerjaannya yang tidak terikat waktu dan tempat, dan dia juga senang bisa main dengan Sia kapanpun.

Blog dan Youtube Tiani meledak setahun lalu, tapi dibanding membuat video, sebenarnya dia lebih suka mengambil foto dan menulis. Orang-orang yang menonton vlognya kebanyakan hanya karena ingin melihat wajahnya (biasanya pria-pria kurang kerjaan) dan kolom komentarnya pun 80% tidak ada kaitan dengan isi vlognya. Pesan yang ingin dia sampaikan dari perjalanannya tersisihkan begitu saja. Hal seperti ini tidak akan terjadi jika dia menulis di blog atau majalah.

Kakaknya tahu dia sangat serius saat menulis, dan taman belakang adalah pemandangan favorit Tiani saat minum kopi sambil bengong atau berpikir di depan laptopnya yang dia letakkan di meja khusus depan jendela besar di ruang tamu rumah mereka, maka dia merenovasinya menjadi lebih indah dipandang.

“Sewa mobilnya, bang! Murah, praktis, cocok buat bawa jalan-jalan istri dan anak!” Bapak-bapak pemilik penyewaan mobil menyahut pada kakak Tiani dari samping mereka.

“Makasih, pak. Kita bawa kendaraan sendiri, kok,” kata kakak Tiani.

“Dan saya adiknya, bukan istrinya,” timpal Tiani.

“Eh, temen kakak, si Rio, kapan hari juga mikir kamu istri kakak, lho,” kata kakaknya. “Mukamu tua.”

“Dewasa,” koreksi Tiani. “Lagian yang bener aja, masa muka mirip gini nggak ada yang ngira kita saudara, sih.”

“Yah, kalo kamu gendong Sia terus kita jalan gini… yah…”

“Bikin susah aja. Orang-orang kira aku udah bersuami dan beranak.” Tiani menghela nafas.

“Halah, kamu juga udah berapa tahun jomblo. Disuruh kenalan sama teman kakak juga nolak terus.”

“Aku sibuk.”

“Si Rio kemarin tertarik, tuh, habis lihat fotomu. Mau kenalan, nggak? Orangnya asik.” Kakaknya mengeluarkan handphone dari kantong celananya dan memberikannya ke Tiani. “Lihat-lihat Instagram-nya, coba. Kalau tertarik, kakak aturin biar kalian ketemuan.”

Tiani menghela nafas lagi.

Mereka sampai di rumah satu jam kemudian, dan hal pertama yang dilakukan Tiani adalah membersihkan kameranya dan mengatur meja kerjanya di ruang tamu. Dia melihat taman belakang yang tampak berbeda dari jendela di depan meja kerjanya.

“Waaah, akhirnya ada yang beda dari rumah ini. Fresh, yah, rasanya,” kata Tiani.

“Mandi dulu sana, terus kita makan malam,” sahut kakaknya dari kejauhan.

Rumah peninggalan kedua orangtua mereka besar dan mewah, dan kamar Tiani sendiri sebenarnya cukup luas dan tenang karena terletak di lantai dua, tapi tetap saja meja di depan jendela ini adalah spot favoritnya. Meja kerja ini milik ayah mereka dulu, dan ibu mereka hobi menghias taman belakang rumah – mungkin karena itulah dia senang bekerja seperti ini. Sejak keduanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, Tiani dan kakaknya hanya tinggal berdua di sini. Makanya Tiani sangat senang setelah kakaknya menikah dengan Melanie dan Sia lahir. Rumah kembali ramai seperti dulu lagi.

Sia sendiri sebenarnya adalah anak yang tidak banyak bicara. Dia sangat kalem dan imut (“Seperti marshmallow!” kata Tiani). Bermain dengannya adalah pelepas stress bagi Tiani, selain memotret dan memerhatikan perilaku orang-orang asing di keramaian. Saat Sia lahir, saat itu juga, Tiani bersumpah akan menendang pantat semua anak laki-laki yang berani mengerjainya saat dia masuk SD, atau pria-pria brengsek yang mematahkan hatinya nanti saat dia beranjak remaja. Kesimpulannya, dia akan jadi bibi yang keren untuk Sia!

Tiani turun dari lantai dua satu jam kemudian setelah mandi, dan melihat kakaknya sudah selesai membuat makan malam. Mereka berkumpul di meja makan.

“Nih, tauge kesukaanmu,” kata kakaknya sambil meletakkan sepiring penuh tauge tumis bawang putih dan cabe.

“Wah, makasih.”

“Sia mau toge,” gumam Sia.

“Yuk, kita bagi dua,” kata Tiani.

“Jadi? Gimana pendapatmu tentang Rio?” kata kakak Tiani sembari mengunyah makanannya sambil lalu.

“Nggak, ah.”

“Lho, kenapa? Cakep, lho, anaknya. Kakak kalo jadi cewek juga pasti mau kenalan sama dia. Kenalan doang, kok.”

“Males buang-buang waktu buat ngobrol nggak jelas,” kata Tiani.

“Tambah teman itu bukan buang-buang waktu.”

“Aku sibuk.”

“Halah, waktu itu bilangnya sibuk bersih-bersih rumah, terus kapan hari juga bilangnya lagi nggak mood, terus mau nulis, terus mau jalan-jalan. Habis ini apa? Sibuk mau jemur cede??”

“Oh, ya. Besok hari cuci baju.”

Kakaknya menghela nafas. “Kamu udah 28 tahun, lho. Kalo nggak mulai cari dari sekarang, nikahnya umur berapa? Kan perlu waktu untuk kenal pasanganmu sebelum kalian nikah. Makin tua juga makin sedikit pilihannya. Kalau nggak ada yang mau lagi, gimana?”

“Ya nggak papa,” gumam Tiani.

“Kenapa, sih, Tiani?? Kasih kakak alasan yang jelas, jangan ngeles terus.”

“Aku nggak mau dibatasin kalau udah nikah. Masih banyak yang mau aku kerjain. Mana bisa travelling lagi kalau udah punya anak,” balas Tiani kesal.

“Pasti ada pasangan yang support mimpi kamu. Kayak kakak, kakak nggak batasin Melanie buat nggak sekolah ke Jerman.”

“Ya dia kan dokter. Coba kalau penulis freelance kayak aku, paling juga disuruh diam di rumah aja.”

Kakaknya mengerutkan alis. “Hei, nggak gitu, dong.”

“Udahlah, kak. Nafsu makanku hilang, nih. Bahas nanti aja, ah,” tutup Tiani.

Lihat selengkapnya