Jelajah

Lidya Arway
Chapter #2

Pertaruhan

Tiani naik ke lantai dua rumahnya dan membuka pintu kamar kakaknya tanpa mengetuk – pekikan aneh adalah hal pertama yang dia dapat dari si pemilik kamar.

“Kak Melanie pernah dengar kakak teriak kayak cewek gitu, nggak?” tanya Tiani sambil lalu. “Kak, belanja, yuk. Aku pingin minum Jus Bus juga, nih.”

“Ketuk pintu dulu napa, sih! Kaget, tahu!” Kakaknya bangun dari kursi meja kerjanya.

“Lagi kerja, ya?”

“Iya, kamu ingat, nggak, kakak pernah bilang kakak lagi berusaha dapat kepercayaan dari bos untuk pegang proyek penting? Kakak dapet akhirnya! Bisa dibilang ini proyek terbesar yang pernah kakak pegang,” kata kakak Tiani bangga.

Tiani tersenyum senang melihat wajah bersinar kakaknya. “Selamat, yaa. Sekarang istirahat bentar, lah. Ke mall.”

“Boleh, Sia juga kayaknya bosan di rumah.”

“Yuk, entar keburu tutup mall-nya.”

Tiga orang itu sampai di mall tidak lama kemudian dan berkeliling supermarket dengan santai.

Sebenarnya Tiani mumet di rumah karena dia belum juga bisa menentukan destinasi selanjutnya untuk ditulis dan dikirim ke Jelajah, dan juga dia ingin Sia dan kakaknya ikut untuk memberinya inspirasi, tapi libur sekolah dan kantoran masih jauh. Mungkin mall yang sudah dikunjunginya ratusan kali ini bisa sedikit menyegarkan otaknya, pikirnya.

Kakak Tiani menyadari ada yang sedang dipikirkan Tiani saat dia melihat kamera tua kesayangan Tiani yang bergantung di lehernya, berayun-ayun kesana kemari, dan lama-kelamaan bikin risih lihatnya.

“Ngapain bawa kamera ke mall?” tanya kakak Tiani.

“Nggak kenapa-napa.”

Kakaknya terdiam sesaat. “Ada rencana travelling ke mana selanjutnya?”

“Belum tahu.”

“Mau dikirim ke Jelajah, ‘kan?”

“Yah…” Tiani menghela nafas. “Tapi belum tahu ke mana. Lagian kayaknya asik kalau bisa pergi sama kakak, sama Sia juga. Pergi sendirian sepi. Dan aku merasa tulisanku makin lama makin membosankan. Aku perlu teman diskusi agar tulisanku lebih bervariasi dan berbeda, terutama untuk dikirim ke Jelajah.”

Kakak Tiani tersenyum. “Kalau minta cuti 2 minggu sebelumnya, sih, kakak bisa aja. Sia juga boleh ijin sekolah 3-4 hari kok.”

“Beneran??” Tiani tiba-tiba bersemangat. “Yah, kalau gitu ayoklah! Entar pas pulang kita diskusiin tujuannya, ya!”

“Aduh!!”

“Oh, maaf…”

Tiani tidak sengaja menabrak seseorang saking bersemangatnya. Tapi rasa bersalahnya sirna sedetik kemudian saat dia melihat siapa yang dia tabrak: Arun dan Reno. Sepasang manusia terbodoh di dunia yang masih Tiani pertanyakan fungsi dan perannya dalam rantai makanan makhluk hidup.

Arun mengerutkan alisnya, terkejut menatap Tiani dari balik kacamata besarnya yang membuatnya tampak seperti burung hantu.

“Oh wow, lihat siapa ini,” kata Arun dengan nada menyebalkan. “Stefani Adriani.”

“Pantesan tadi ada kucing hitam lewat di parkiran,” bisik Reno, namun jelas terdengar Tiani.

Tiani memberikan pandangan penuh arti pada kakaknya dan menunggu sampai kedua anggota keluarganya itu pergi menjauh sebelum membalas sapaan mereka.

“Kebetulan, ya. Belanja baju bermerek lagi?” tanya Tiani dingin.

“Iya, dong. Secara viewers Youtube gue jutaan gitu, ya harus dirayain. Juga gue baru dipromosiin naik jabatan di kantor redaksi. Ya, ‘kan, sayang?”

“He-eh,” jawab Reno. Tiga kantung belanja di tangannya berayun-ayun bangga. “Video prank kemarin pecah abis. Ide kita berdua emang brilian.”

“’Great minds think alike’,” timpal Arun. Dia kembali menatap Tiani. “Eh, terus lu masih kerja nggak jelas? Kerjaanmu ngapain, sih, sekarang?? Youtube juga udah nggak laku, ‘kan??”

“Aku masih nulis blog dan nulis buat majalah lain,” kata Tiani.

“Kenapa, sih, suka banget kerja lepas gitu? Kenapa nggak lamar jadi penulis tetap aja, sih?”

Tiani menatap Arun dalam-dalam. Arun mengangkat alisnya, dan sedetik kemudian membuat wajah pura-pura terkejut.

“Oooh, ya. Gara-gara dipecat dulu itu, ya? Gara-gara lu jiplak tulisan orang lain dari internet, ‘kan?? Ya ampun maaf, maaf, gue lupa,” kata Arun.

“Emang pernah ada kejadian begitu?” tanya Reno, tapi Tiani yakin 1000% dia pura-pura tidak tahu.

“Iya, dulu dia ketahuan plagiat, makanya bos marah besar karena udah mencemarkan nama baik majalah kita,” terang Arun.

“Kamu ada masalah apa, sih? Ngapain harus bahas-bahas masa lalu?” kata Tiani.

“Aduh, bercanda, lho. Jangan serius gitu.” Arun tertawa lepas. “Eh, betewe, lu tau nggak, Jelajah lagi buka lowongan penulis?”

“Tahu,” jawab Tiani singkat.

“Gue mau pindah aja, ah, ke Jelajah. Lu nggak mau coba? Kan asik kalau kita bisa kerja bareng lagi.”

I will.

Arun bertukar pandang licik dengan Reno. “Gimana kalau… kita taruhan? Yang tulisannya diterima Jelajah, dia yang menang.”

Tiani menatap mereka berdua. “Ngapain juga aku mau taruhan dengan kalian?”

“Sebagai motivasi. Kalau gue kalah, gue bakal berhenti dari kerjaan gue sekarang. Tapi kalau lu kalah…” Arun melirik ke kamera tua yang bergelantungan di leher Tiani. “Kasih gue kamera lu yang itu.”

Tiani tersenyum mengejek. “Kamera ini? Sampai mati juga nggak bakal aku kasih.”

“Kenapa? Yakin kalah?”

Lihat selengkapnya