Jelajah

Lidya Arway
Chapter #3

Identitas Asli

“Sia!”

Tiani sampai di klinik sepuluh menit setelah kakaknya menelpon dan memberitahu bahwa Sia demam tinggi. Dia mendapati kakaknya sedang memangku Sia di bangku ruang tunggu klinik – keponakannya terlihat lemas dalam pelukan si ayah. Tiani menyentuh dahi Sia dan menghela nafas.

“Kok bisa panas tinggi gini??” kata Tiani.

“Tadi di sekolah gurunya telpon kakak, katanya dia nggak enak badan. Ternyata demam,” kata kakaknya. “Padahal kemarin baik-baik aja.”

“Keseringan makan es krim sebelum makan malam, sih! Kemarin juga gitu, ‘kan!”

“Apa sih, mana ada hubungannya.”

Tiani memandang Sia dengan cemas. Seharusnya dia tahu hal ini bakal terjadi – walaupun sepertinya memang bukan karena es krim – sejak kakaknya terlalu memanjakan Sia akhir-akhir ini.

Dokter memanggil nomor tunggu kakak Tiani dan mereka segera masuk ke dalam.

Sehari kemudian, dokter menginformasikan Tiani dan kakaknya bahwa Sia terkena demam berdarah. Dia harus dirawat inap dan kakak Tiani yang menemaninya saat malam di rumah sakit, sementara Tiani ditugaskan menjaga rumah.

Tiani tidak pernah merasa sesepi itu saat tidur malam. Dia berusaha tidur cepat supaya hari lekas berganti dan dia bisa menemani Sia besok pagi saat kakaknya pergi kerja, tapi otaknya membandel tak mau berhenti berpikir dan mencemaskan keponakannya itu. Alhasil, dia tertidur pukul 5 pagi – tepat sesaat setelah dia memutuskan untuk tidak usah tidur sekalian.

Tiani tiba di rumah sakit dengan mata panda, yang mana langsung ditertawai kakaknya.

“Diam, deh. Kakak udah sarapan? Aku bawain bekal,” kata Tiani, mengulurkan sekotak makanan pada kakaknya yang sudah berseragam lengkap.

“Trims,” kata kakak Tiani. “Eh, ternyata nginap di rumah sakit asik juga. Malam-malam banyak suara aneh.”

“Terus Sia gimana sekarang?” tanya Tiani, tidak menghiraukan komentar kakaknya.

“Yah, trombositnya masih rendah. Tunggu beberapa hari lagi.”

Tiani tidak bisa menyembunyikan rasa cemas di wajahnya, jadi kakaknya menatapnya dengan raut muka lebih serius.

“Tenang aja. Inget dulu kakak juga pernah kena DB? Pasti sembuh, kok,” kata kakaknya lembut.

Tiani mengangguk.

“Oke, kakak pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa telpon, ya.”

Kakak Tiani pergi setelah menepuk kepala adiknya dan mencium kening Sia yang masih terlelap di tempat tidur.

Hari terasa berlalu begitu lama bagi Tiani karena Sia tidur terus, dan karena dia tidak ada kerjaan selain baca buku, dan dia mulai merasa bosan. Tiani mencoba tidur siang setengah jam, tapi lagi-lagi gagal. Tidak ada yang lebih membuatnya frustrasi daripada tidak bisa tidur padahal ngantuk berat.

Matahari sudah terbenam saat kakaknya datang membawa makan malam dan menertawainya lagi karena mata Tiani semakin seperti panda.

“Kenapa nggak tidur siang, sih??” kata kakaknya saat mereka makan bersama di meja kecil dekat tempat tidur Sia.

“Kalau bisa juga udah tidur,” kata Tiani sewot.

“Kenapa? Masih cemasin Sia?”

“Emang kakak nggak cemas, ya?”

“Cemas, lah.” Kakak Tiani mengunyah makanannya sambil terdiam lama, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke adiknya. “Tiani, nanti kakak batalin tiket pesawat kakak ke Kalimantan, ya.”

“Iya, aku juga udah mikir mau batalin tiket kita.”

“Nggak, maksud kakak batalin punya kakak sama Sia aja. Kamu tetap pergi.”

“Kenapa gitu?”

“Festival Selarung itu setahun sekali, nggak boleh dilewatin. Jangan sia-siakan kesempatan emas ini.”

“Nggak apa, lah. Aku bisa cari tempat wisata lain.”

“Memangnya kamu masih punya waktu? Tenggat waktu untuk ngirim tulisan ke Jelajah bentar lagi, ‘kan?”

Tiani terdiam.

Festival Selarung digelar empat hari lagi. Kemungkinannya hampir 0% untuk mereka bertiga bisa pergi bersama tepat waktu, tapi Tiani tidak mungkin juga meninggalkan kakaknya sendiri sementara dia harus ke kantor tiap hari dan menjaga Sia setiap malam.

“Aku mau bantu jaga Sia. Kakak harus kerja, ‘kan?” kata Tiani.

“Kakak tadi udah minta ijin cuti lebih awal. Kamu bisa fokus siap-siap berangkat, jangan pikirin kami.”

“Tapi…”

“Jelajah adalah impian terbesarmu saat ini, ‘kan?”

Kakak Tiani memandangnya penuh arti, dan saat Tiani tidak membalas, dia tersenyum.

“Kakak mau kamu menggapai semua impianmu, dan kakak tidak mau jadi pelambat langkahmu. Serius, jangan cemasin kami. Kakak bisa tanganin ini sendiri. Oke?”

“Oke…”

“Gitu, dong!” kata kakak Tiani bangga. “Tapi kamu jadi berangkat sendiri, yah? Mau Rio temenin? Kakak hubungin dia sekarang, ya?”

“NGGAK.”

Tiani mulai berkemas keesokan harinya – dia membuat daftar panjang barang-barang yang harus dibawa, terutama kamera tua jimat keberuntungannya itu, dan ternyata setengah dari daftarnya harus dibeli. Mengeluh, Tiani segera menyetir mobilnya ke supermarket dekat rumah, sekalian belanja makanan kering dan snack untuk stok cemilan di rumah yang mulai menipis.

“Terakhir… Odol… Odol…” gumam Tiani, membaca daftar belanjaannya sambil berjalan menyusuri lorong di antara rak-rak produk. “Kok bisa kita nggak punya odol lebih di rumah dan nggak ada yang sadar.”

Tiani mengulurkan tangannya ke odol rasa mint kesukaannya saat sebuah tangan lain bergerak ke arah yang sama dan menabraknya.

“Ups, sori.”

“Nggak apa. Oh?”

Shannon tersenyum lebar saat menyadari siapa yang berada di hadapannya.

“Tiana! Kita ketemu lagi. Apa kabar?” sapa Shannon ramah.

“Halo, kamu ingat namaku, ya?” kata Tiani tanpa berpikir. Dan dia baru sadar dia lupa nama wanita ini.

“Belanja bulanan, ya? Aku bayarin, ya? Waktu itu belum sempat balas budi, kan?” Shannon menunduk memandang keranjang belanja di tangan Tiani.

“Hah? Nggak, gak usah. Aku udah bilang gak usah, ‘kan.”

Shannon melihat sekitar seperti sedang mencari sesuatu. “Suami dan anakmu nggak ikut belanja?”

“Sua…? Oh, yang waktu itu di rumah? Itu kakak dan keponakanku,” kata Tiani.

“Kamu belum nikah?”

“Ng, belum…”

“Sama dong! Masih muda gini ngapain nikah cepat-cepat, ya kan? Anyway, lagi sibuk nggak? Mau minum kopi habis ini?”

“Kalau kamu masih mau balas budi…”

“Nggak, nggak. Cuma mau ngobrol. Kita boleh jadi teman, ‘kan?”

Tiani merasa aneh semenjak tidak pernah ada yang mengajaknya berteman seperti ini. Tapi Shannon tersenyum begitu lebar, dan Tiani mau tidak mau mengangguk.

“Tapi aku harus pergi habis belanja,” kata Tiani.

“Kerja?”

Lihat selengkapnya