“Aku mau ranjang dekat jendela.”
“Aku juga.”
“Aku nggak bisa tidur kalau nggak lihat pemandangan luar.”
“Alasan macam apa itu?”
“Kalau aku bangun tengah malam gara-gara mimpi buruk karena tidur jauh dari jendela, gimana?”
“Arghh, oke, oke!”
Tiani melempar tas ranselnya ke atas tempat tidur dekat tembok dan menonton Shannon melakukan hal yang sama ke tempat tidur dekat jendela.
Mereka akhirnya tiba di Palangkaraya pagi itu, dan tanpa buang-buang waktu, segera menuju ke hotel. Tiani baru tahu ternyata Shannon sedikit kekanakan seperti ini, dan ngotot. Seperti saat di pesawat dia ngotot mau duduk dekat jendela – persis seperti Sia saat mereka naik pesawat dulu. Shannon lalu mengeluarkan buku-buku bawaannya dan menjejerkannya di atas tempat tidur dengan rapih di samping tas ranselnya.
“Nah, mau baca yang mana dulu? Kemarin kita sibuk diskusi tentang pembagian tugas sampai lupa cari referensi. Kamu juga minjem buku tapi malah nggak dibaca,” kata Shannon.
“Mana sempat. Lagian kan ada kamu di sini. Tugasmu ngasih informasi berguna selama perjalanan.”
“Emangnya aku google offline.”
Tiani membuka tasnya dan mengeluarkan kamera tua kesayangannya. “Aku keluar bentar, ya. Kamu jaga kamar.”
“Ngapain dijaga? Kunci aja. Emang mau kemana?” tanya Shannon.
“Moto-moto sekitar sini. Mumet kalau diam di kamar habis terbang lintas pulau.”
“Ikut.”
“Aku pingin pergi sendiri.”
“Yaudah, aku mau jalan-jalan di taman hotel.”
“Terus kuncinya siapa yang bawa? Aku nggak mau ditelpon-telpon pas lagi moto gara-gara kamu mau balik kamar duluan,” kata Tiani.
“Yaudah, aku yang bawa,” kata Shannon simpel sambil mengambil kunci kamar mereka dari atas meja samping tempat tidur.
“Terus kalau aku yang mau balik duluan??”
“Telpon aku aja. Aku nggak seribet kamu.”
Shannon lalu pergi sebelum Tiani sempat menjawab. Agak kesal, Tiani merapikan tasnya lalu menyusul meninggalkan kamar mereka.
Tiani memotret jalanan sekitar hotel yang cukup ramai. Setelah puas dengan foto pemandangan, dia pergi ke pasar tradisional terdekat dan kembali memotret orang-orang di sana: penjual yang menjajakan sayuran yang ditata sedemikian rupa hingga paduan warna-warnanya enak dipandang, bapak-bapak paruh baya yang duduk ngopi di pinggir jalan, pedagang jajanan khas Kalimantan yang tua renta namun masih penuh semangat dan selalu ceria, juga anak-anak kecil yang berlarian di antara kerumunan orang yang berbelanja, dan pengendara motor yang lihai menyelap-nyelip di jalan setapak yang sempit. Jalanan becek dan genangan air sisa hujan semalam melengkapi pemandangan indah itu.
Setelah puas memotret dan membayangkan cerita apa yang ada di balik senyum dan tawa orang-orang itu, Tiani balik ke hotel dan mencari teman perjalanannya itu di taman hotel. Perutnya mulai keroncongan minta makan siang.
“Mana dia…”
Berpikir mungkin anak itu pergi ke kolam renang, Tiani mencoba mencari ke sana namun nihil. Tak mau membuang banyak waktu, Tiani langsung mengambil handphone-nya dan sedang mencari-cari nomor telepon Shannon ketika sebuah suara memekik yang menyebalkan terdengar dari belakangnya.
“Ya ampun!! Ternyata benar Stefani!”
Tiani menoleh dan terbelalak melihat Arun dan Reno, dengan baju kembaran bergambar hati warna pink mereka yang norak, sedang berdiri tak jauh darinya dengan tampang terkejut yang dibuat-buat.
“Ngapain kalian di sini!?” protes Tiani.
“Kita mau lihat Festival Selarung, doooong. Mana bisa lewatin momen berharga begitu saja. Dan yang pasti ini materi bagus untuk dikirim ke Jelajah. Ya, kan, beb??” Arun memeluk lengan Reno dengan manja, yang dibalas dengan anggukan sok Reno. “Emang lu sendiri? Ngapain?”
“Ng, aku…”
“Jangan bilang lu mau ke Selarung juga??” Arun tertawa lepas.
“Kenapa emangnya? Itu bukan punya bapakmu, kan,” gumam Tiani.
“Duh, kasih tahu nggak, ya, beb?” tanya Arun pada Reno.
“Yah, gimana bilangnya, yah…” Reno menegapkan bahunya. “Berhubung aku anak orang penting, dapat akses khusus dan eksklusif itu udah biasa, yah. Begitu juga dengan festival ini, aku dikasih akses untuk wawancara gubernur, walikota, artis-artis yang akan tampil, dan siapapun yang aku mau walau aku bukan wartawan. Kita juga sudah di sini sejak beberapa hari lalu, melihat proses persiapan festival, dan bahkan dibawa jalan-jalan ke tempat-tempat bagus yang hanya orang lokal tahu. Artikelnya Arun pasti wah, sih. Pantas untuk dikirim ke Jelajah.”
“Unnnch, makasih, cayaaang,” kata Arun gemas. Dia lalu berbalik lagi ke arah Tiani dengan wajah serius. “Saran, nih. Mending lu nyari hal lain buat dibahas. Nggak asik taruhan kayak gini kalau udah tahu gue bakal menang.”
“Tiana? Udah selesai moto-moto?”
Mereka semua memandang ke arah Shannon yang baru saja muncul di belakang Tiani.
“Oh, ya. Ayo balik ke kamar,” kata Tiani, senang bisa segera pergi dari Arun dan Reno.
“Halo! Kalian temannya Tiana, ya?? Aku Shannon, rekan kerjanya,” sapa Shannon dengan riang, mengulurkan tangan pada Arun. Tiani menepuk jidatnya.
Arun tampak kaget, tapi dijawab juga, “Oh, ya. Halo.”
“Rekan kerja apanya? Mending kalian bubar, daripada buang-buang waktu,” kekeh Reno.
“Buang-buang waktu kenapa?” tanya Shannon.
Tiani menggaruk lehernya. “Ng, itu… Ayo balik kamar. Nggak penting.”
Shannon ditarik Tiani pergi dari sana sebelum ada yang sempat berbicara lagi, dan dia hanya melepaskan genggamannya saat mereka sudah sampai di kamar.
“Siapa, sih, mereka?” tanya Shannon.
“Orang nggak penting,” jawab Tiani singkat.
“Aku dengar dikit, kok, tadi. Kalian taruhan apaan?”
Tiani menghela nafas. “Kita taruhan siapa yang tulisannya diterima Jelajah. Dan aku nggak sangka mereka juga mengincar festival ini. Reno – yang cowok – itu bapaknya tajir dan punya koneksi di mana-mana, jadi dia selalu dapat akses bagus untuk ketemu orang-orang penting. Terus si Arun, pacarnya, dulu saingan kerjaku di kantor.”
“Oh, gitu,” gumam Shannon. “Terus kalian taruhan apa?”
“Kamera ini.” Tiani tersenyum kecut sambil mengangkat kamera tuanya.
“Itu kamera kesayanganmu, kan?”
“Yah, aku keceplosan waktu mengiyakan taruhan itu…”
“Hmmm…”
Shannon tidak berkata apa-apa lagi setelah itu. Saat mereka makan siang dan jalan-jalan sore setelah itupun dia tidak membahas atau bertanya-tanya lagi pada Tiani.
Mereka pergi berkeliling kota, mengunjungi museum, taman wisata, tugu pahlawan, dan pasar tradisional di mana mereka melihat pertunjukan seni daerah dan membeli souvenir khas sana, dan Shannon tiba-tiba sudah bisa bicara sedikit bahasa Banjar yang diajari pedagang setempat. Dan saat malam tiba, Tiani sedang membungkus tubuhnya baik-baik dengan selimut dan bersiap tidur saat dia melihat Shannon membalik-balik halaman buku tebalnya dengan alis mengkerut, tampak serius untuk pertama kalinya. Tiani benar-benar tak bisa menebak isi kepalanya. Suara TV yang agak keras pun tampaknya tidak mengganggu konsentrasinya.
“Hei, nggak tidur?” tanya Tiani.
Tak ada jawaban.
“Shannon.”
“Ng?”
“Tidur. Besok pagi kerja, lho.”
“Oke.”
Shannon memindahkan buku-bukunya ke meja dan masuk ke dalam selimutnya dengan patuh. Dia lalu mengeluarkan penutup mata entah dari mana dan memakainya setelah melepas kacamata bulatnya yang kemudian disimpan di samping bantalnya, walau mereka punya meja kecil di samping tempat tidur. Tiani memandangnya dengan tajam.