Jelajah

Lidya Arway
Chapter #5

Jelajah

Tiani hampir gila melalui lebih dari 9 jam perjalanan dari kota ke Puruk Cahu di Kabupaten Murung Raya dengan mobil sewaan. Mereka tiba di penginapan saat hari sudah gelap, lengkap dengan peralatan kemping yang mereka beli di Palangkaraya. Shannon turun dari mobil dan merenggangkan tubuhnya, capek tapi masih bersemangat.

“Selamat datang di Puruk Cahu! Kabupaten Murung Raya memiliki 10 kecamatan dan penghasilan utama penduduknya, seperti pada umumnya di Kalimantan Tengah, selain bertani dan menangkap ikan, adalah dari hasil hutan dan pertambangan, yang mana telah berkembang sejak Perang Dunia II!” kata Shannon.

Tiani menatapnya dengan aneh. “Kenapa mendadak kayak pemandu wisata gitu, kamu?”

“Katanya kamu suka random fact.”

“Ya, nggak usah setiap saat juga, kali,” kata Tiani, tertawa. Dia baru sadar, jadi karena itu Shannon banyak bicara tentang berbagai hal selama menyetir. Tapi setidaknya dia jadi terhibur selama perjalanan.

Setelah mereka merapihkan barang-barang mereka di kamar penginapan, Shannon pergi mencari makan malam sementara Tiani rebahan karena kepalanya pusing. Tidak lama kemudian Shannon kembali dengan kantung plastik besar berisi banyak makanan. Dia menebar isi kantung itu di atas meja kamar mereka dan memanggil Tiani dengan bersemangat.

“Nih, makanan khas sini: lempok durian, lamang, apam, rabuk patin…”

“Rabuk patin…” gumam Tiani sambil melihat kemasan makanan tersebut. “Kayaknya rasanya pedes.”

“Abon ikan patin. Tahu nggak, pedas itu sebenarnya bukan rasa, tapi capsaicin, senyawa dalam cabe, merangsang reseptor rasa sakit kita, jadi sebenarnya pedas itu sensasi dari rasa sakit. Tapi kamu nggak mau dengar random fact lagi, yah, jadi aku nggak ngomong lagi, deh,” kata Shannon sambil lalu. “Cobain lamangnya, itu kayak beras ketan yang dimasak dalam bambu, yang mana adalah salah satu kebudayaan suku Dayak. Terus aku juga beli ikan panggang sama sup ayam kampung, lengkap sama sambal dan tumis sayur.”

Tiani terkekeh kecil melihat Shannon yang bersemangat membuka bungkusan makanan mereka satu per satu dan menatanya baik-baik di tengah meja.

“Makan yang banyak. Entar di gunung nggak ada yang beginian,” kata Shannon.

“Kamu yakin kita bisa mendaki berdua aja?” tanya Tiani lagi.

“Tiana, selama ada mbak Shannon ini, jangan khawatir,” balas Shannon. “Aku sering baca tentang gunung. Dan hoki-ku gede. Tenang.”

Tiani tidak tahu bagaimana Shannon bisa menampung berbagai informasi itu di otaknya tapi tidak bisa mengingat namanya dengan benar.

Setelah selesai makan, mereka mendiskusikan rencana perjalanan mereka selanjutnya lagi dan segera bersiap tidur karena mereka harus berangkat pagi-pagi betul. Tiani memutar bola matanya saat Shannon lagi-lagi tertidur 3 detik setelah memakai penutup matanya dan tidak merespon Tiani yang bertanya apa dia boleh mematikan lampu kamar sekarang. Mungkin besok dia harus mengecek apa penutup mata itu disemprot gas tidur atau tidak, tapi yang penting sekarang dia juga harus istirahat.

Dalam kegelapan kamar, Tiani mengecek handphone-nya dan melihat chat dari kakaknya yang mengabarkan keadaan Sia yang baik-baik saja dan menanyakan kabar Tiani sendiri. Tiani memberitahu kakaknya bahwa dia akan masuk hutan dan mendaki gunung untuk berburu harta karun. Kakaknya sedikit cemas tentang itu tapi setelah meyakinkannya selama 30 menit, akhirnya kakaknya tenang, dan Tiani bisa kembali melanjutkan usahanya untuk tidur.

Sebelum matahari terbit, Shannon sudah mengguncang-guncang badan Tiani untuk membangunkannya. Mereka meninggalkan barang-barang yang tidak penting di kamar penginapan, termasuk kamera tua kesayangan Tiani karena dia takut kameranya kotor, dan mengunci pintu baik-baik sebelum mulai menyetir bergantian sambil sarapan. Setelah berkendara selama hampir 5 jam diselingi istirahat makan siang, melewati hutan, sungai dan bukit yang indah, akhirnya tibalah mereka di pintu masuk hutan pegunungan, di mana mereka harus memarkir mobil dan mulai berjalan kaki.

Saat mereka melewati pos penjaga yang dipenuhi beberapa orang lain yang hendak masuk hutan juga, Shannon menunjuk sebuah papan yang berdiri di luar pos.

“Inget, tuh, tata cara kirim sinyal SOS kalau kita nyasar,” kata Shannon.

“Kita nggak bakal nyasar, kan?”

“Disasarin?” Shannon menyeringai.

“Jangan ngomong aneh-aneh, ya.”

“Oke.”

Mereka berjalan dan berjalan di dalam hutan tanpa memikirkan waktu. Shannon berjalan di depan dengan kompas dan petanya, sedangkan Tiani di belakang, mengikuti jejaknya sambil menikmati pemandangan sekitar: pohon dan pohon dan pohon. Udara pagi menjelang siang begitu menyegarkan, dan sinar matahari tidak terlalu kuat membuat situasi perjalanan mereka nyaman. Tiani tidak menyangka Shannon kuat memikul tas besar sambil berjalan selama itu, walau tas Tiani tidak kalah besar juga. Sementara Shannon masih sibuk menunjukkan arah, Tiani harus melawan godaan untuk memetik bunga-bunga indah yang dia temui di jalan. Selain itu juga banyak tanaman yang Tiani tidak kenali namun sangat menarik untuk dipandangi dan disentuh, dan sepertinya Shannon tahu, jadi dia terus mengingatkan Tiani untuk berhati-hati dan tidak sembarangan menyentuh.

Tiani menoleh ke arah kanan dan matanya menangkap sesuatu yang bergerak di kejauhan.

“Shannon! Macan tutul!”

“Iya, biarin aja. Terus jalan,” jawab Shannon santai. “Emang kadang mereka nongol.”

“Kita aman, kan?”

“Aman. Menurut kepercayaan orang Dayak, seseorang hanya akan mati dimakan macan kalau dia melakukan dosa yang tak termaafkan.”

Tiani sedikit was-was tapi sepertinya macan itu juga tidak melihat mereka. Walau begitu, dia tetap mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal terlalu jauh dari Shannon.

Perjalanan yang mereka tempuh hampir dua jam itu mulai membuat Tiani bosan. Hiburannya hanyalah kupu-kupu warna-warni dan serangga-serangga aneh yang kadang lewat sekelibat dekat mereka. Mendadak Tiani jadi kangen bacotan Shannon dan random fact-nya lagi.

“Istirahat dulu, yuk,” kata Shannon tiba-tiba, yang dibalas dengan anggukan bersemangat Tiani.

“Desa Rimba Jauh yang mau kita kunjungi itu berapa jauh lagi?” tanya Tiani saat mereka duduk di batu besar sambil meluruskan kaki.

“Nggak jauh, 2 kilo lagi kira-kira.”

“Kita boleh nginap nggak, ya, di desa?”

“Tergantung. Tapi buang-buang waktu, sih, kalau nginap. Kita bisa jalan lebih jauh lagi sebelum matahari terbenam, terus bikin tenda sesuai rencana.”

Tiani meneguk air dari botol minumnya. “Yaudah, aku nggak masalah.”

“Oke.”

Mereka berjalan lagi dan tidak terasa akhirnya mereka hampir sampai di perhentian pertama. Jalan setapak yang mereka lalui sejak awal mulai melebar dan di kejauhan tampak beberapa rumah penduduk. Shannon dan Tiani berhenti di depan sebuah bangunan yang tampak seperti rumah kepala desa.

“Biar aku yang bicara. Kamu angguk-angguk aja,” kata Shannon sebelum mengetuk pintu rumah.

“Emang kenapa? Aku kan juga mau ngo… ah.”

Seorang ibu-ibu, usianya mungkin sekitar pertengahan 50 tahun, keluar dengan wajah ter-bete dan ter-“mau apa kalian” yang Tiani pernah lihat. Ibu itu memakai baju rumah yang sedikit ngepas dengan tubuhnya yang pendek gemuk. Tangannya memegang sapu lidi seperti siap menghajar mereka.

“Selamat siang, bisa bertemu dengan kepala desa Rimba Jauh? Kami turis dari Jawa dan sedang menjelajahi hutan Kalimantan yang indah untuk mempelajari keindahan alam dan budayanya,” kata Shannon lancar dengan senyum terbaiknya, bahkan lebih menawan daripada saat dia meyakinkan Tiani bahwa dia bukan penipu.

Si ibu membalas dengan bahasa daerah yang tidak Tiani mengerti, dan tampaknya Shannon juga bingung. Saat melihat kedua anak muda ini kebingungan, si ibu kembali mengoceh dan pergi begitu saja setelah menutup pintu.

“Hm, coba lagi, ah,” kata Shannon bandel, mengetuk pintu sekali lagi.

Terdengar beberapa orang berdebat di dalam rumah, dan beberapa detik kemudian pintu kembali terbuka, tapi yang muncul kali ini adalah seorang anak laki-laki yang tampak lebih muda dari mereka. Wajahnya tidak kalah bete dengan si ibu.

“Selamat siang, bisa bertemu dengan kepala desa Rimba Jauh? Kami turis dari Jawa dan sedang menjelajahi hutan Kalimantan yang indah untuk mempelajari keindahan alam dan budayanya,” ulang Shannon lancar dengan senyum terbaiknya, bahkan lebih menawan daripada saat dia meyakinkan Tiani bahwa dia bukan penipu.

“Turis?” balas si laki-laki. Di luar dugaan suaranya jauh lebih ramah daripada raut wajahnya.

“Lebih seperti penjelajah yang mengagumi alam di sini,” koreksi Shannon.

Si laki-laki melihat ke belakangnya ke arah dalam rumah dengan wajah bingung, dan seperti diaba-abakan oleh seseorang, mungkin si ibu, dia menatap Shannon lagi dan menghela nafas.

“Kepala desa sedang tidak ada di rumah, dan kami di sini sibuk…”

Lihat selengkapnya