Tiani dan Shannon membereskan tenda kecil mereka setelah sarapan keesokan harinya dan kembali berjalan. Mandi hutan memang membuat tubuh segar, dan Tiani memotret banyak hal selama perjalanan, termasuk Shannon yang terus minta difoto dengan gaya aneh-aneh. Sesekali mereka mendaki dan bisa melihat gunung lain di kejauhan yang tertutup kabut pagi, atau menyeberangi sungai kecil yang jernih. Ini pengalaman pertama Tiani minum langsung dari mata air yang dingin dan menyegarkan.
Shannon bicara panjang lebar setiap kali mereka menemukan hewan-hewan liar seperti tupai (“Katanya ada tupai peminum darah di sini,” kata Shannon santai), kura-kura dengan cangkang berlumut, udang kecil yang tinggal di antara batuan berlumut, lintah, kalajengking, kelabang raksasa, atau yang paling membuat Tiani heboh, orangutan. Mereka hanya melihatnya sekilas tapi tetap saja menakjubkan. Saat itulah Tiani tahu mereka sudah keluar jauh dari jalur untuk publik.
Beberapa burung yang terbang dari pohon ke pohon membuat suara ribut beberapa kali, dan selalu mengagetkan Tiani. Shannon terus menggodanya karena masih takut memikirkan cerita mitos dari desa kemarin.
“Eh, tapi aku ngerasa dibuntutin terus, lho,” kata Tiani. “Kayak ada yang ngelihatin.”
“Aku mau ngomong sesuatu tapi nggak boleh ngomong sembarangan di hutan,” kata Shannon dengan nada menyebalkan.
“Udah, diem.”
“Oke.”
Mereka berjalan lagi selama beberapa puluh menit, sampai akhirnya Tiani yang berjalan di belakang mendengar suara berkeresek daun-daun. Dia menoleh ke belakang tapi tidak melihat apapun. Lima menit kemudian itu terjadi lagi, dan kali ini dia melihat sesuatu bergerak di balik semak-semak.
“Shannon, ada sesuatu… Shannon?”
Tiani melihat Shannon sudah berjalan jauh di depan, jadi dia mengejarnya sampai berada tepat di belakangnya.
“Shannon, ada…!”
“Sssh!”
Shannon menarik Tiani ke balik pohon dan mereka bersembunyi di sana beberapa detik dalam diam. Tak lama kemudian, mereka mendengar sesuatu berjalan mendekat dari arah jalan yang baru mereka lalui tadi. Tiani mengintip dan sekilas melihat dua orang dengan perlengkapan gunung seperti mereka sedang berjalan dengan bingung.
Mereka tetap bersembunyi hingga kedua orang itu lewat dan kini Tiani bisa melihat jelas wajah mereka yang menoleh kiri-kanan seperti sedang mencari sesuatu, membuatnya keceplosan.
“Arun!!!”
Arun dan Reno menoleh ke arah mereka dan tampak terkejut bercampur lega.
“Oh, Stefani? Ngapain di sini?? Buntutin kami, ya!?” kata Arun.
“Kalian yang buntutin kami!” kata Tiani, keluar dari persembunyian mereka.
“Enak aja. Kita di sini mau mencari harta karun jaman Belanda,” kata Arun penuh percaya diri. “Lu-lu sendiri ngapain? Nggak datang ke festival, malah buntutin kami.”
Tiani dan Shannon saling pandang.
“Jangan bilang kalian nguping pembicaraan gue sama Reno terus mau rebut harta itu?” tuduh Arun. “Eh, denger ya, Stefani. Kenapa lu suka kayak gitu, sih? Dulu jiplak karya orang, sekarang nguping. Harga diri lu ketinggalan di mana, ya??”
“Kamu…!”
“Kamu salah sangka,” potong Shannon kalem, menghentikan Tiani tepat waktu. “Kita hanya jalan-jalan. Kalian silakan pergi duluan dan cari harta itu. Kami nggak akan buntutin. Itu pun kalau kalian tahu jalannya kemana.”
Arun mengertakkan giginya dengan kesal, tapi Reno maju ke depan dengan wajah menantang.
“Orang-orang curang macam kalian pasti bakal buntutin kami lagi. Kalian yang harusnya jalan di depan,” kata Reno. “Jangan bikin malu diri sendiri, dong. Harusnya lu minta maaf udah nguping. Minta maaf.”
“Nggak mau.” Shannon tersenyum.
“Lu kok nantang dari kemarin, ya? Lu cewek jangan ngebantah gue.”
“Kemarin? Maksudnya pas kamu godain Tia…?”
“Woi!” Reno mengeraskan suaranya agar Arun tidak mendengar apa yang dikatakan Shannon. “Eh, Stefani. Bilang temen lu ini jangan banyak omong, atau gue…!”
Reno mendadak diam sambil menatap ke belakang mereka, wajahnya memucat. Ketiga orang lain otomatis mengikuti arah pandangannya, dan seekor beruang hitam balas memandang dari kejauhan, lurus ke arah mereka. Semua hening.
“Itu… Itu beruang?” cicit Reno.
“Jangan ada yang lihat matanya,” bisik Shannon.
“R-Reno… kita harus lari…” bisik Arun.
“Jangan lari! Beruang lebih cepat dari manusia. Diam aja, jangan lihat matanya,” sergah Shannon. “Kalian diam aja.”
Tiani berusaha tidak melakukan kontak mata dengan si beruang, tapi itu lebih menyeramkan karena dia jadi tidak tahu si beruang sedang apa. Dia tidak tahu bagaimana bisa ada beruang yang datang – mungkin suara mereka menarik perhatiannya. Arun dan Reno mengerucut ketakutan di belakang Tiani dan Shannon.
Shannon lalu melambaikan tangannya dengan pelan dan mengeluarkan suara bernada datar pada si beruang.
“Lu ngapain, bego!!? Jangan dipanggil!” sahut Reno dengan suara kencang.
“Dibilang diam…!”
Tiba-tiba si beruang berlari ke arah mereka, membuat Arun dan Reno menjerit dan lari tunggang-langgang, menabrak Tiani hingga jatuh ke tanah dengan keras.
“Tiana!”
Si beruang lalu belok, tidak menghiraukan Tiani dan Shannon, dan lanjut mengejar Arun dan Reno.
“Kamu luka??” tanya Shannon sambil mengecek tubuh Tiani.
“Aku nggak apa! Tolongin mereka!” sahut Tiani.
“Buat apa?”
Tiani mengerjap mendengar jawaban Shannon. “Ini perintah!”
Shannon, tampak enggan sesaat, lalu menyambar batu-batu yang cukup besar di sekitarnya sebanyak yang bisa dia pegang dan mengejar si beruang. Dia melihat Arun dan Reno lari ke arah jurang dengan tepian yang ditumbuhi pohon-pohon besar yang batangnya melingkar satu sama lain dengan rumit – tempat yang bagus untuk berlindung, tapi mereka terlalu bingung untuk berpikir.
“Hei, kalian!! Masuk ke antara batang pohon!!” teriak Shannon.
Arun menarik Reno masuk ke ruang kecil di antara batang-batang pohon, tapi tas carrier-nya tersangkut sehingga badannya tidak bisa masuk sepenuhnya. Arun menarik Reno lebih kencang dan dia berhasil masuk seutuhnya, tepat ketika si beruang sampai di tempat kaki Reno berada sedetik yang lalu. Tas Reno sobek dan beberapa barangnya jatuh ke jurang di belakang mereka. Shannon berlari sekencang kakinya bisa membawanya, dan berhenti tidak jauh dari si beruang sebelum mulai melemparinya dengan bebatuan.
Si beruang menggerung dan bergerak menjauh dari pepohonan tempat Arun dan Reno bersembunyi.
“Cepat keluar!” bentak Shannon sambil menarik salah satu dari mereka keluar.
Arun menarik tas pinggang Shannon untuk membantu badannya keluar dari celah pohon, tapi tarikannya terlalu kuat hingga tas itu copot dari pinggang Shannon dan jatuh ke jurang. Setelah bersusah payah keluar, mereka cepat-cepat lari sementara si beruang masih kesakitan dan kebingungan sendiri.
Mereka sampai di tempat Tiani yang juga sedang berlari menghampiri mereka, dan tanpa buang waktu, segera meninggalkan tempat itu. Setelah berlari sampai di tempat yang lumayan jauh, akhirnya keempat orang itu berhenti untuk mengambil nafas.
“Aduuuh, lenganku lecet gini gara-gara si beruang sialan!” keluh Arun sambil menggosok-gosok lengannya.
“Tas gue! Akkkhh, barang-barang mahal gue jatuh ke jurang!” pekik Reno sambil memeriksa tas carrier-nya yang robek.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Tiani cemas pada Shannon yang masih kehabisan nafas.
“Lu sih, pake manggil-manggil si beruang segala! Lihat, nih, gue sama Arun sampe dikejar kayak tadi!” Reno membentak Shannon.
“Manggil? Beruang hanya mengejar kalau manusia lari, dan beruang suka melakukan bluff charge, yang mana harusnya kita diam aja sampai dia pergi. Kalian tuh yang bikin dia ngejar kalian! Jadi orang tolol banget nggak mau dengerin omongan orang lain, otak cuma jadi pajangan!” sembur Shannon balik.
“H-Hei…” Tiani berusaha menahan Shannon.
“Oh? Berani-beraninya ngomong balik setelah bikin kita celaka??” Reno menunjuk Shannon sambil berjalan mendekat.
“Reno, cukup! Shannon, ayo kita pergi!” Tiani menarik Shannon bersamaan dengan Arun yang menahan Reno.
Tiani tidak melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Shannon sampai mereka lumayan jauh dari dua orang yang lain.
“Hei, tanganku sakit, jangan ditarik-tarik,” gumam Shannon dengan suara lebih kalem.
Tiani melepaskan genggamannya dan menatap Shannon yang mengelus-elus pergelangan tangannya dalam diam. “Udah, jangan marah lagi.”
“Nggak, kok.”
“Cuekin aja. Oke?” Tiani menepuk bahu Shannon. “Ayo jalan lagi. Ke arah mana sekarang? Aku yang baca petanya, deh.”
“Ng, tas pinggangku jatuh ke jurang…” Shannon menggaruk kepalanya. “Kompasnya ada di dalam tas.”
“Hah?? Terus petanya?”
“Ada di sini, sih,” kata Shannon sambil mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat-lipat dari saku celananya. “Tadi terakhir kita di titik sini, berarti pasti sekarang nggak jauh dari sana… Hm, hanya perlu terus jalan ke arah timur laut.”
“Kita bawa banyak baterai cadangan, tapi kalo hape nggak ada sinyal sama aja, ya.” Tiani menghela nafas sambil mengecek handphone-nya. “Coba kalo bisa cek posisi di map hape.”
“Udah, tenang aja. Checkpoint-nya danau kecil ini,” kata Shannon sambil menunjuk sebuah gambar danau di peta. “Aku udah cek step tracker untuk ngukur jarak dan mastiin posisi kita di peta, jadi nggak mungkin salah-salah amat.”
“Tapi gimana cara tahu arah utara dan selatan?”
“Ada caranya, salah satunya dengan jam…”
“Stefani.”
Tiani dan Shannon menoleh ke arah suara yang memanggil Tiani di belakang mereka, dan mendapati Arun dan Reno berdiri di sana dengan baju kotor dan tas sobek mereka. Tiani rasanya bisa mendengar Shannon mengeluh.
“Kita mau minta maaf tadi sudah merepotkan kalian. Kita yang salah. Maaf, ya,” kata Arun dengan nada halus yang sama sekali berbeda dari biasanya. Dia melirik Reno penuh arti.
Reno masih tampak kesal, tapi dia berusaha bicara dengan tenang, “Aku juga minta maaf. Tadi semua lagi emosi, jadi gitu, deh.”
“Oke, nggak apa,” kata Tiani. “Kita pergi duluan, kalo gitu.”
“Eh, tunggu Stefani…” Arun melangkah mendekat. “Ng, kompas dan peta kita hilang karena tas Reno sobek tadi… Ehm, boleh nggak kita… ikut lu?”
Tiani mendengar Shannon mendengus. Dia menghela nafas sebelum menjawab, “Terus pencarian harta karun kalian bagaimana?”
“Ah, lupakan itu. Kita ikut kalian aja. Rame-rame lebih aman, kan? Kita berdua bisa bantu kalian apa aja, kok. Kita mending team up, gitu lho. Bahaya mencar-mencar di hutan.” Arun menggigit bibirnya, sebelum menambahkan, “Kita teman kerja, kan? Dulu, sih. Tapi kita sama-sama suka travelling, pasti ngerti rasanya ditunggu keluarga di rumah.”
Tiani luluh begitu mendengar kata keluarga. Dia tiba-tiba teringat kakaknya dan Sia.
“Oke, oke. Tapi kalau kalian mau ikut kita, harus denger apa kata Shannon dan jangan bikin masalah. Oke?” kata Tiani.
“Oke!” kata Arun bersemangat, dan disusul anggukan dari Reno setelah Arun menyenggolnya.
“Nggak apa, kan?” tanya Tiani pada Shannon.
“Kalau bos bilang begitu…” Shannon mengangkat bahunya.
“Oke. Jadi, gimana cara menentukan arahnya?” tanya Tiani.