Tiani terbangun dan mendapati Shannon sudah entah di mana, kantung tidurnya sudah terlipat rapih dan tasnya sudah dikancing rapat. Udara sangat dingin pagi itu dan suasana hening, dan Tiani baru saja berpikir mereka sudah pergi meninggalkannya selama dia tidur ketika Shannon tiba-tiba masuk ke dalam tenda dan menghapus kecemasan tak berdasarnya itu.
“Eh, udah bangun,” kata Shannon. Beberapa kotak makanan dalam pelukannya.
“Itu apa?” tanya Tiani.
“Makanan sisa. Kutaruh sedikit di bawah bukit semalam supaya kalau ada hewan liar tertarik dengan kemah kita saat kita tidur, mereka berhenti sampai di bawah bukit karena ada makanan ini,” kata Shannon. “Tapi kayaknya nggak ada hewan liar kemarin malam.”
“Bagus, dong.”
“Ayo sarapan, terus kita jalan lagi.”
Tiani membuang muka saat dia melihat Reno yang sedang minum kopi dengan Arun di luar tenda, dan Reno juga tampaknya tidak memedulikannya. Arun terlalu sibuk menghangatkan diri sampai dia lupa harus beramah-tamah pada Shannon, dia hanya diam saja sepanjang sarapan hingga saat mereka mengepak tenda dan lanjut berjalan. Tiani mengambil banyak sekali foto selama perjalanan mereka di hutan, dan dia harus mengganti memory card untuk kedua kalinya selama dua hari ini.
Keempat orang itu berjalan menyeberangi sabana luas dengan latar pegunungan dan hutan di kejauhan yang tertutup kabut yang tidak pergi-pergi sejak pagi. Mereka masuk ke hutan lagi saat matahari mulai meninggi, menerobos kabut tebal dengan langkah berhati-hati. Suasana menjadi suram dan hening di tengah kabut – Tiani berusaha tidak membayangkan bagaimana jika tiba-tiba ada makhluk legenda hutan ini yang berdiri di depan mereka saat kabut menyingkap. Namun setelah kabut menipis, yang ada di hadapan mereka adalah tebing dan jembatan gantung tua yang sangat panjang, lumayan tinggi di atas sungai lebar yang membelah hutan. Jembatan itu berderit dan bergoyang-goyang mengerikan saat mereka berjalan di atasnya, jadi Shannon menganjurkan mereka semua untuk berjalan perlahan, selangkah demi selangkah. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk menyeberangi jembatan itu – Reno mengeluh setiap satu menit dan terus menganjurkan agar mereka seharusnya lari saja saat menyeberang karena lebih cepat sampai lebih baik, yang mana Shannon balas dengan, "Ya, lari sana kalo mau jembatannya putus!"
Cuaca mulai menghangat saat matahari muncul dari balik awan dan sinarnya menerobos dedaunan yang menutupi langit saat mereka kembali berjalan menyusuri hutan yang sekilas tampak sama saja seperti hutan sebelum-sebelumnya, namun entah kenapa Tiani merasa tatanan pohon dan kerindangan yang berlebihan ini menjadikan daerah ini tampak indah dan berbeda. Sayangnya, mulai banyak serangga dan nyamuk. Shannon menganjurkan agar mereka melumuri kulit dengan lumpur untuk mencegah digigit nyamuk yang mungkin membawa penyakit, tapi ditolak mentah-mentah oleh Arun dan Reno karena mereka jijik. Saat itulah Reno kehabisan kesabaran dalam misi perebutan harta karunnya.
“Berapa lama lagi, sih, kita harus jalan? Kalian mau kemana aja kita nggak dikasih tahu. Kita memang minta ikut kalian, tapi bukan berarti kita harus ngekor terus tanpa penjelasan, kan?” keluhnya. “Kita nyasar, nggak, sih?”
“Nggak bakal. Tenang aja,” jawab Shannon.
“Tahu dari mana??”
“Batang pohon yang terbelah yang tadi kita lewati di sabana,” kata Shannon sambil menunjuk ke belakang mereka. “Dari cincin pohonnya kita bisa tahu mana selatan dan mana utara. Kemarin malam juga aku sudah cek dari bulan yang terbit sebelum matahari terbenam – sisi bulan yang terang menunjukkan arah barat. Kita ada di arah yang benar.”
Reno menatap sekitar mereka, tidak peduli pada penjelasan Shannon. “Terus kita mau kemana?? Kalian mau ngapain?”
“Beb, udah, kita ikut aja, entar juga sampai, kok,” gumam Arun dengan pandangan penuh arti, mengingatkan Reno akan rencana mereka.
“Aku mau pulang,” jawab Reno. “Kita udah mulai jalan tanpa arah. Kalau kita mati tanpa ada yang tahu, gimana? Dalam sehari aja udah busuk kita. Kamu mau jadi mayat busuk kayak di film-film, kulit bolong, daging menganga…”
“Sebenarnya itu baru akan terjadi setelah 3 minggu. Kalau hanya sehari, suhu tubuh akan menyamai suhu lingkungan sekitar, mulai berbau busuk, dan kepala serta leher berubah warna jadi biru kehijauan yang kemudian akan menjalar ke seluruh tubuh…” gumam Shannon.
“Persetan!” potong Reno.
“Kamu kenapa, sih? Gimana caranya kita pulang sekarang, coba??” kata Arun.
“Terserah, pokoknya aku mau pulang. Tinggal telpon ayah, dia bakal suruh orang jemput pake helikopter.”
“Mana ada sinyal di sini…”
Reno membalik badan sebelum Arun selesai bicara dan sudah siap pergi ketika Tiani melihat sesuatu di kejauhan. Dia cepat-cepat menarik lengan Shannon dan berteriak senang, yang mana dia sesali sedetik kemudian.
“Shannon! Pohon besar! Hartanya!”
Pohon itu besar dan tinggi menjulang, membuat semua pohon di sekitarnya tampak kecil. Batangnya mulus dan berwarna putih pucat, dengan beberapa goresan alami yang mungkin dilakukan oleh hewan liar. Kalau tidak diperhatikan baik-baik, tidak akan ada yang sadar pohon itu tinggi sekali, karena bagian atasnya tertutup cabang dan daun pohon-pohon lain di sekitarnya yang menghalangi pemandangan.
Reno berbalik lagi saat mendengar kata ‘harta’ dan langsung berlari menerobos mereka semua ke arah pohon itu, diikuti oleh Arun, lalu kedua orang sisanya. Reno melempar tasnya ke tanah saat dia sampai di depan pohon besar itu dan berbalik menghadap tiga orang lain yang baru sampai.
“Stop!!!” teriaknya.
Tiani dan Shannon memandanginya heran, sementara Arun tetap mendekatinya dengan senyum kemenangan.
“Gue sampai di sini duluan, berarti harta ini milik gue. Pohon ini adalah lokasi harta yang gue cari,” kata Reno. “Gue nggak peduli lu nguping gue dan Arun atau nggak karena sepertinya kita mencari hal yang sama, tapi yang pasti kita yang duluan cari harta ini dan kita yang sampai di sini duluan.”
“Mending kalian mundur,” kata Arun. “Jangan sampai kita berantem di hutan. Dan gue jamin, kalian yang rugi.”
“Kalian…” geram Tiani dengan gigi mengertak. Sekarang sudah jelas kenapa mereka kemarin berlaku manis pada Tiani dan Shannon, dan ini membuat Tiani naik pitam. Kesabarannya habis sudah. “Kalian yang nguping kita berdua. Nggak heran selama perjalanan kemarin-kemarin aku ngerasa ada yang ikutin, ternyata itu kalian, kan?”
”Aduh, ngomong apa, sih, lu? Mana bisa gue biarin lu-lu rebut harta yang susah payah Reno dan gue teliti dan cari?”
“Ada masalah apa, sih, kamu? Hidupmu nggak bahagia banget, ya? Kenapa selalu ganggu aku, dari dulu sampai sekarang? Selalu cari gara-gara!” Tiani menjatuhkan tasnya ke tanah dan maju mendekat. “Kamu ikutan pergi ke Festival Selarung juga karena mau ganggu aku, kan?? Kenapa?? Nggak yakin menang jadi kalian harus ngikut apa yang aku lakuin dan ngerecokin??”
“Kok lu teriak-teriak, sih,” kata Arun sambil terkikik. “Siapa juga yang gangguin lu? Ge-er aja. Gue nggak pernah, ya, mikirin tentang elu. Bahkan sedetik pun. Nggak penting. Lu, tuh, yang selalu ikut-ikut apa yang gue lakuin. Sekali curang, ya selamanya curang. Dasar plagiat.”
“Jaga mulutmu,” kata Tiani dengan nada rendah. “Aku bukan plagiat, dan tidak akan pernah jadi plagiat. Jadi stop sebut-sebut kata itu di depanku.”
“Kenapa emang kalo gue mau sebut lu plagiat? Mulut, mulut gue, kok. Plagiat. Malu-maluin. Penulis rendahan. Travelling hanya untuk pamer di Youtube, biar dibilang cantik sama cowok-cowok.”
“Kemarin juga dia godain aku,” tambah Reno dari belakang Arun. “Udah nggak laku, jadi deketin aku. Aku punya mata, ya. Arun juga jauh lebih cantik dari lu. Mau serendah apa lu jadi orang, Stefani? Lu kira lu secantik itu? Ngerasa populer, ya, gara-gara banyak yang bilang cantik di sosmed? Nolak-nolakin cowok tapi malah deketin laki orang.”
Tiani bisa mendengar jelas nada pelampiasan rasa sakit hati di suara Reno. Untuk sedetik dia benar-benar merasa jera dengan semua ini – hari-harinya terasa seperti sampah sejak Arun dan Reno masuk dalam hidupnya, bahkan setelah dia keluar dari kantor lamanya. Men-stalking dan merecoki Tiani saat sedang melakukan sesuatu sudah menjadi hobi dua orang ini, dan di setiap kesempatan mereka selalu pamer kesuksesan (yang tidak seberapa) dan pamer kemesraan. Dan sekarang wajah Arun berubah beringas mendengar apa yang Reno katakan – satu orang lagi yang terlibat drama sakit hati yang tidak penting ini.
“Heh, yang godain aku itu…!” balas Tiani, tapi Arun langsung menyemprotnya.
“I knew it. I KNEW IT. Dasar cewek jalang, bisanya godain Reno aja. Reno itu nggak mau sama lu, ya! Lu cari aja sendiri pasangan di luar sono, jangan deket-deket laki gue! Kalo sampe lu berani deketin Reno lagi…”
“Woi, ngapain lu!?” teriak Reno tiba-tiba.
Semua orang menoleh ke arah Reno menatap, dan melihat Shannon sedang memanjat pohon besar itu – sudah setinggi dua meter, kira-kira. Sepertinya dia menggunakan tasnya untuk pijakan. Balon permen karet di mulutnya meletus tepat ketika Shannon menoleh ke arah mereka semua.