“Kamu luka.”
“Cuma berdarah sedikit.”
“Harus diperban. Jangan sampai infeksi.”
Mereka berempat duduk di bebatuan tidak jauh dari jembatan putus itu, sambil mengecek keadaan satu sama lain (atau tepatnya, Reno mengecek Arun, dan Tiani dan Shannon saling mengecek). Tiani baru sadar lengannya tergores sesuatu dan berdarah, jadi Shannon cepat-cepat merobek lengan baju luarannya dan membalut luka itu. Tangannya gemetar saat mengikat perban darurat itu, sehingga ikatannya lepas beberapa kali.
“Shannon, tenang dulu. Nggak usah buru-buru,” gumam Tiani.
“Aku tenang, kok. Angkat tanganmu lebih tinggi dari posisi jantung biar aliran darah ke lenganmu memelan.”
“Kamu masih shock. Kita semua masih shock.” Tiani memerhatikan partner kerjanya itu, yang masih berusaha mengikat perban. “Wajar kalau kamu gemetaran setelah menahan beban seberat itu sendirian. Aku dan Arun pasti sudah jatuh kalau nggak ada kamu.”
“Kamu pake terjun buat nangkap dia segala. Harusnya biarin aja,” gumam Shannon.
“Jangan bilang begitu, ah.”
Tidak hanya tangannya, Tiani menyadari sekujur tubuh Shannon gemetaran kentara sekali. Dia masih tidak menyangka Shannon bisa sekuat itu menahan bebannya dan Arun.
“Terima kasih, ya, Shannon.”
Shannon menyerah dan akhirnya berhenti berusaha mengikat perban Tiani. “Kalian badannya kecil-kecil, kok. Nggak berat.”
“Oh, ya? Aku kira aku gendutan. Jadi aku nggak perlu nge-gym kalau gitu,” kata Tiani.
Mereka berdua tertawa kecil. Shannon kembali berusaha mengikat perban Tiani dan kali ini berhasil. Mereka berdua duduk bersandar ke sebuah batu besar dan bengong menatap kejauhan dalam diam.
“Saat aku lompat untuk menangkap Arun dan bergelantungan dengan kepala di bawah tadi, aku seperti melihat kakakku dan keponakanku sekilas. Kayak udah yakin bakal mati,” kata Tiani sambil terkekeh. “Biasanya di gym aku nggak sanggup angkat yang berat-berat, padahal.”
“Di saat hidup terancam, manusia punya kekuatan tersembunyi yang tidak pernah kita ketahui,” kata Shannon.
Shannon memerhatikan kedua tangannya yang masih gemetar walau sudah lebih mendingan. Tiani menoleh dan memegang satu tangan Shannon dengan kedua tangannya untuk menenangkannya.
“Aneh,” gumam Shannon.
“Aneh kenapa?”
“Ah, nggak.” Shannon meraba lehernya untuk memastikan liontinnya masih ada. Dia lalu melihat ke arah bawah. “Omong-omong, sepatumu hilang satu, ya? Mau pakai punyaku?”
“Nggak apa. Ntar sobek lengan bajuku aja terus dijadiin alas kaki.”
“Stefani. Shannon.”
Tiani dan Shannon menoleh dan melihat Arun berdiri di dekat mereka dengan wajah mau menangis. Dia tiba-tiba membungkuk dalam-dalam.
“Terima kasih sudah menyelamatkan aku tadi!” sahutnya. “Aku… Aku nggak tahu lagi harus berkata apa. Kalau nggak ada kalian, aku…”
Tiani tahu Shannon mau bicara, dan apapun itu yang mau dia katakan pasti tidak baik, jadi dia bicara duluan cepat-cepat.
“Sama-sama. Nggak usah dipikirin,” kata Tiani.
“Perbanmu longgar, tuh,” gumam Shannon.
Arun melihat perban dari sobekan baju yang melingkari telapak dan punggung tangannya yang diikat Reno asal-asalan.
“Ah…”
“Sini.”
Shannon menyuruh Arun duduk lalu dia membetulkan perbannya sambil mengoceh cara mengikat perban yang baik dan benar. Setelah Arun berterimakasih, Reno muncul dari belakang dan bergabung dengan mereka. Pipinya terluka bekas dihajar Shannon – hanya lebam dan lecet sedikit karena tenaga Shannon sebenarnya sudah habis untuk bergelantungan sebelumnya.
“Kita… Kita ke mana sekarang?” tanyanya pelan.
Tiani memandang Shannon penuh arti, menyuruhnya menahan diri untuk tidak berkata-kata sarkas.
“Kalau sudah begini, kita harus pulang,” kata Shannon. “Tidak ada yang bisa dilakukan lagi.”
“Tapi kita tidak punya perlengkapan apa-apa lagi. Pasti perlu waktu berhari-hari untuk keluar,” kata Arun.
“Semuanya, coba keluarin barang-barang yang kalian punya.”
Mereka meraba-raba saku celana dan jaket dan mengumpulkan semua barang di tengah-tengah mereka. Arun melepas tas pinggangnya yang selamat dan menumpahkan semua isinya.
“Korek api gas, handphone-ku, handphone Arun, beberapa bungkus snack dan permen, pisau lipat, jam tangan, dan… crayon?” kata Tiani heran sambil mengangkat sebatang crayon.
“Punyaku. Untuk darurat,” kata Shannon. “Kita harus nginap di sebuah bukit dan membuat sinyal SOS. Kalau mereka bisa menemukan kita lebih cepat lebih baik.”
“Dengan apa?” tanya Arun.
“Ingat? Daun dan rumput lembab menghasilkan asap. Kita kumpulin daun yang banyak dan terus membuat asap. Kalau malam kita buat api yang besar.”
“Jadi kita nunggu di bukit seharian?” tanya Reno.
“Kita tidak bisa menjamin bantuan akan cepat datang, jadi sebaiknya kita terus berjalan dan berpindah dari satu bukit ke bukit lain tiap hari dan meninggalkan pesan di bukit terakhir yang kita tinggalkan, in case bantuan datangnya ke sana.”
“Gimana kalo kita cari pedesaan?” saran Arun.
“Itu yang akan kita lakukan saat siang hari. Kalo mengikuti aliran sungai, biasanya akan membawa kita ke pemukiman penduduk,” kata Shannon.
“Kalian yakin? Penduduk macam apa yang tinggal di sini?” Reno mendengus. “Nggak lihat tadi ada apaan?? Di daratan sana ada orang suku entah apa, di daratan yang sini ada monster berkaki delapan. Lengkap.”
“Berkaki delapan?” Arun membelalakkan mata.
“Ya, aku juga lihat tadi,” gumam Tiani. “Hanya siluet, tapi badannya tinggi besar dan berkaki-tangan delapan.”
“Lalu lolongan mengerikan tadi…”
“Sepertinya cerita mitos itu benar.”
"Ih, serem banget, sih!"
“Setiap hutan dan gunung ada penjaganya. Asal kita tidak aneh-aneh, mereka tidak akan marah,” kata Shannon.
“Asal kalian jangan berantem lagi,” kata Tiani sambil memandang tajam Reno dan Shannon. “Tiap kalian berantem, pasti ada sesuatu yang terjadi.”
Kedua orang itu tampak enggan mengakui dan seperti ingin bicara sesuatu, tapi mereka akhirnya hanya mengangguk.
“Kalau gitu ayo jalan lagi sebelum gelap. Ikuti aliran sungai dan sebisa mungkin pergi ke selatan,” kata Shannon. Dia memandang Reno dan Arun dengan serius. “Dan kalian. Aku serius, kalau kalian tidak mendengarkan kata-kataku lagi, aku tidak akan segan-segan meninggalkan kalian. Kalau mau mati, mati sendiri sana.”
Tiani memerhatikan wajah Shannon sedikit berubah setelah itu. Dia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu, sama seperti tadi ketika dia melihat tangannya yang gemetaran.
“Kalau ada sungai, aku mau bersih-bersih dulu,” kata Arun. “Belepotan lumpur kering begini.”
Shannon mencari arah selatan dengan jam tangannya lalu mereka semua mulai berjalan.
Jam demi jam berlalu, mereka mulai merasa lapar, haus, dan lelah. Beberapa area hutan masih tertutup kabut, membuat suasana bertambah suram dan tidak menyenangkan. Mereka menemukan sebuah sungai kecil yang mengalir dan sebuah bukit tidak lama kemudian, di mana mereka bisa mencuci tangan dan wajah mereka, dan Shannon memutuskan mereka harus mencari makanan dan membangun kemah untuk tidur sekarang, karena hari sudah sore. Mereka naik ke bukit untuk memastikan daerah itu cocok untuk menginap.
“Bukitnya oke. Sekarang yang penting air dulu. Kita perlu minum,” kata Shannon. “Kita bagi tugas. Arun dan Tiani kumpulin batang kayu kering untuk api unggun, dan batang kayu yang agak besar dan panjang serta dedaunan yang lebar untuk kemah kita. Reno dan aku akan membuat alat untuk memancing ikan.”
“Di sini ada ikan?” tanya Arun.
“Seharusnya ada,” kata Shannon. “Oh, ya. Tiani dan Arun, kumpulin daun dan rumput lembab juga dan bikin asap yang besar sekarang.”
Shannon lalu menjelaskan pada Tiani dan Arun bagaimana membangun dua buah kemah dengan menyandarkan batang kayu besar ke sebuah pohon dan kayu-kayu lain disandarkan pada batang tersebut, seperti kerangka tulang rusuk, lalu menutup fondasi itu dengan dedaunan besar sebagai atapnya.
Maka mereka mulai melakukan tugas masing-masing dengan pasangannya. Shannon membuat dua tombak dengan menajamkan ujung batang kayu menggunakan pisau lipatnya, sementara Reno, sesuai arahan Shannon, mengikat jaketnya di empat titik pada dua batang kayu yang lebih kecil, membuatnya seperti tandu mini. Shannon lalu mengambil beberapa daun pisang dari pohonnya dan membuka satu bungkus snack, menumpahkan isinya ke atas daun pisang tersebut dan menyimpan bungkus snack yang berupa plastik bening itu.
“Daerah ini cukup dapat sinar matahari.” Shannon melihat tanah sekeliling mereka. “Coba gali sedikit tanah sebelah sini.”
Setelah Reno menggali kira-kira 20cm dalamnya, Shannon memanaskan selembar daun pisang dengan korek api yang kemudian dia lipat-lipat berbentuk mangkuk, lalu diletakkan di lubang galian beserta beberapa daun lembab di sekitar wadah itu. Dia lalu menutup permukaan lubang dengan bungkusan snack yang terbuat dari plastik bening tadi, menahan ujung-ujung plastik dengan batu besar, dan meletakkan sebuah batu kecil di tengah plastik tepat di atas wadah daun pisang di bawahnya, membuat bagian tengah plastik itu sedikit melesak ke bawah.
“Ini solar water. Dengan panasnya matahari, proses kondensasi akan terjadi dan air akan muncul di bagian bawah plastik, lalu mengalir ke tengah karena bentuk plastik yang seperti kerucut, dan menetes ke wadah daun pisang yang ada di bawahnya,” terang Shannon. “Setelah beberapa jam kita akan punya air minum.”
“Tapi kita bisa mati kehausan sebelum wadahnya penuh air!” kata Reno.
“Yang ini untuk selama perjalanan. Untuk sekarang kita akan masak air sungai. Air sungainya mengalir jadi tidak apa diminum.”
Tiani dan Arun kembali dengan membawa banyak batang kayu untuk api unggun setelah membuat kemah dan asap, maka Shannon mulai sibuk membuat api dengan dedaunan kering sementara yang lain memanaskan lebih banyak daun pisang agar tidak sobek saat dilipat menjadi berbentuk wadah.
“Ambil air di permukaan sungai yang lebih tinggi, jangan yang rendah. Semakin tinggi semakin bersih,” kata Shannon.
Mereka mulai memasak air hasil cidukan di dalam wadah daun pisang di atas bara api. Namun karena wadah daun pisang terlalu kecil, dan memasaknya berulang-ulang kali untuk memenuhi kebutuhan air mereka semua akan memakan banyak waktu, maka Shannon meletakkan bebatuan di atas api dan menaruh beberapa wadah daun pisang berisi air sekaligus di atas batu panas tersebut.
Sambil menunggu air matang, Shannon dan Tiani mencoba berburu ikan di sungai. Mereka melihat di balik batu, di area yang airnya lebih tenang, dan di bayang-bayang pohon. Setelah menghabiskan banyak waktu untuk berjalan di dalam sungai dengan berhati-hati karena cukup licin sambil mengejar ikan-ikan, yang ternyata benaran ada, akhirnya Tiani berhasil menombak satu ikan, tepat di kepalanya. Keberuntungan pemula, kata Tiani. Sayangnya hanya itu yang bisa mereka dapatkan karena matahari mulai bersembunyi dan waktu mereka habis.
Saat mereka duduk mengelilingi api unggun untuk membakar ikan, semua bisa mendengar Reno mengeluh tentang makanan yang tidak cukup untuk mereka berempat tapi tidak ada yang memedulikannya. Shannon mengecek solar waternya – baru terisi sedikit, dia harus melanjutkan lagi besok.
“Kenapa kita tidak cari biji-bijian atau tanaman yang bisa dimakan, sih,” keluh Reno lagi.
“Tidak ada pohon atau tanaman yang kita kenal di sekitar sini selain pohon pisang yang tak ada buahnya itu. Jangan pernah makan sembarang tanaman kalau tidak 100% yakin. Bahkan kalau kamu bawa buku tentang tanaman ke hutan, masih ada kemungkinan kamu salah lihat karena beberapa tanaman pada dasarnya terlihat sama,” kata Shannon.
“Lu kan katanya pinter, kok nggak bisa bedain?” kata Reno dengan nada mengejek.
“Aku bukan Tuhan.”
“Kita bakal mati besok kalo nggak dapat makanan lebih.”
“Sepuluh hari tanpa makanan dan tiga hari tanpa air masih oke untuk manusia.”
Reno mendengus. “Yang bener aja.”
“Jangan habisin snack dan permennya. Kita perlu itu saat berjalan besok.”
Mereka menyalakan api unggun lebih besar lagi setelah makan dengan harapan seseorang akan melihatnya dari kejauhan. Shannon menganjurkan mereka bersiul sekeras mungkin dengan pola SOS kode morse – tiga siulan pendek, tiga siulan panjang, dan tiga siulan pendek lagi. Namun hingga waktunya tidur, tidak ada tanda-tanda seseorang berada di sekitar sana. Mereka benar-benar sendiri.
Shannon dan Reno pergi tidur duluan di kemah masing-masing sementara Tiani dan Arun masih duduk di depan api unggun untuk menghangatkan diri. Tiani benar-benar kangen rumah dan meja kerjanya sekarang. Perasaannya campur aduk setelah melewati kejadian yang hampir membuatnya tak akan bisa bertemu keluarganya lagi. Berbagai pertanyaan pun meledak dalam kepalanya: apakah semua ini ada artinya? Apa dia menyesal sudah pergi ke hutan? Apa dia menyesal sudah membiarkan Arun dan Reno bergabung dengan mereka? Rasanya perjalanan mereka baik-baik saja sampai dua orang itu muncul. Bahkan kameranya sekarang tertinggal di belahan hutan yang lain – seluruh jerih payahnya mengumpulkan data dan foto selama beberapa hari ini lenyap sudah. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa dia bisa pulang? Apa mereka bisa pulang? Bagaimana kalau tidak? Lalu bagaimana dengan Jelajah? Dia tidak akan punya waktu lagi untuk mengulang semua proses ini dari awal. Rasanya Jelajah hanya tinggal impian. Mungkin suatu saat nanti. Tapi bagaimana kalau tidak akan pernah? Dua puluh tahun berdiri, tidak pernah dia mendengar Jelajah merekrut secara terbuka seperti ini, dan cerita yang dia temukan di hutan Kalimantan ini akan bisa membawanya ke sana, dia yakin. Tapi kembali lagi, sekarang apa arti semua ini ketika dia bahkan tidak tahu apakah dia bisa pulang atau tidak?
Renungan panjang Tiani terhenti saat Arun memanggilnya.
“Stefani, kita pasti bisa pulang, kan?” tanya Arun.
“Harus percaya kita bisa.”
“Gue sering dengar cerita tentang orang yang hilang di gunung…”
“Jangan dibahas sekarang, ah. Nggak enak didengar.”
"Tapi alam itu mengerikan, ya? Kalau kita menghilang, alam tidak akan berubah atau terpengaruh sedikitpun, tapi kalau alam yang menghilang, hidup manusia pasti berubah."
"Benar..."
Mereka lalu terdiam lama memandang api unggun, dan saat Tiani baru saja berniat pergi tidur, Arun berkata pelan, hampir menyerupai bisikan.