Tiani dan Shannon duduk di balik sebuah batu besar, mencoba mengatur nafas mereka tanpa bergerak sedikit pun; Mereka tidak tahu apakah macan itu mengejar sampai ke dasar jurang kecil tempat mereka jatuh atau tidak. Hujan sedikit mereda sepuluh menit kemudian, dan akhirnya Shannon mengintip dari balik batu.
“Aman,” katanya.
“Helikopternya sudah pergi,” kata Tiani, mengedarkan pandangan ke langit di sekeliling mereka. “Kenapa mereka tidak menunggu kita?”
“Entahlah. Kita buat asap lagi kalau hujan sudah benar-benar reda. Pasti ada helikopter lain di sekitar sini kalau tim SAR memang mencari kita.”
“Tanganmu luka,” gumam Tiani.
Shannon melihat lengan dan sikunya yang sobek. “Ah, karena jatuh tadi. Nggak parah, kok.”
Dia meraba lehernya untuk memastikan liontinnya masih ada di sana, lalu melepaskan kacamatanya yang sudah retak (bahkan Tiani tak percaya kacamata itu masih selamat sampai sekarang) dan mengelapnya dengan baju, yang merupakan usaha sia-sia karena bajunya juga basah kuyup.
“Kita cari tempat berteduh dulu sekarang,” kata Shannon. “Kita sudah diguyur hujan lama, bisa-bisa sakit.”
Hujan tidak berhenti hingga sore. Tapi seperti biasa, mereka harus segera pergi mencari sungai dan bukit untuk membuat tenda dan mencari makan. Kaki dan tangan mereka lemas karena tidak makan sejak kemarin, tapi mereka harus tetap bergerak kalau tidak mau tidur tanpa atap.
“Kita hanya punya korek api, jam tangan, crayon dan hapemu sekarang. Kita nggak punya pisau lagi. Semoga mereka bisa segera menemukan kita,” kata Shannon.
“Crayon untuk apa, sih?”
“Crayon bisa terbakar seperti lilin di saat darurat. Setidaknya untuk sekitar 15 menitan.”
“Ooh.”
“Omong-omong, hapemu masih ada baterai, kan? Di sini nggak ada sinyal juga?”
“Sisa 23%. Dan tak ada sinyal,” kata Tiani sambil menggeleng.
“Ya sudah, ayo cari sungai.”
Mereka menemukan sebuah sungai satu jam kemudian, dan beruntung, ada banyak ikan di sana. Beruntung lagi, hujan sudah berhenti total. Keduanya segera mencuci wajah mereka yang terkena lumpur dan tanah. Tiani mengecek salah satu telapak kakinya yang lukanya semakin parah karena alas kakinya sudah lama rusak saat mereka dikejar macan. Lengan baju luarannya sudah hampir habis dia sobeki untuk dijadikan alas kaki dan perban lukanya selama ini.
Saat mereka masih sibuk membersihkan diri, Tiani merasa ada seseorang yang mengawasi mereka, dan benar saja, seorang anak kecil berdiri agak jauh dari sana dan menatap mereka lurus-lurus dengan pandangan penuh tanya.
“Shannon, itu…”
Shannon melihat anak itu juga dan menoleh ke Tiani dengan senyum sumringah. “Orang.”
“Aku tahu. Maksudku, apa dia dari sebuah desa dekat sini?”
“Bisa jadi.”
Mereka mendekati anak itu, yang masih diam di tempatnya, dan berhenti tiga meter darinya.
“Halo. Kamu dari desa mana?” tanya Shannon ramah.
Anak itu tidak menjawab. Tiani dan Shannon saling pandang. Shannon membuka mulutnya lagi untuk mengulang pertanyaannya, tapi tiba-tiba anak itu berbalik dan berjalan pergi sambil terus menoleh ke belakang, mencuri pandang ke arah mereka.
“Kita ikutin aja, ya?” kata Tiani.
“Ya.”
Mereka mengikuti anak itu, tidak terlalu dekat untuk memberinya ruang, hingga akhirnya mereka melihat sebuah desa di kejauhan. Tiani dan Shannon saling tos tanpa suara dan semakin bersemangat mengikuti anak itu.
Desa itu hening total, tak ada tanda-tanda aktivitas manusia. Jalan utamanya yang lebar dipenuhi rumah penduduk yang sederhana di kedua sisinya, tapi tidak tampak seorang pun di jalanan walau matahari belum benar-benar terbenam. Orang-orang yang sedang berdiri di teras rumah mereka hanya diam mematung dan menatap Tiani dan Shannon tanpa berkedip saat Shannon menyapa, mengikuti pergerakan keduanya dengan mata mereka. Semakin mereka berjalan menyusuri rumah-rumah, semakin tampak bahwa desa itu hanya berupa sebuah jalan lurus panjang yang berakhir di sebuah rumah besar di ujung jalan berlatarkan pegunungan.
Anak itu membawa mereka sampai ke rumah besar itu, lalu mengetuk pintu rumah tiga kali. Tidak lama, pintu rumah terbuka, memunculkan sesosok wanita tua renta dengan rambut putih yang jarang, kulit berkeriput parah, dan tubuh yang bungkuk. Walau begitu, matanya masih tampak segar dan penuh gairah. Dia menatap anak itu, lalu Tiani dan Shannon, dan perlahan, senyum merekah di bibirnya.
“Ah, pendatang, ya. Bagaimana menemukan desa kami?” kata si nenek dengan suara serak.
“Kami tersesat di hutan, nek. Untung anak ini menemukan kami dan membawa kami ke sini,” kata Shannon sambil menunjuk si anak.
Tapi saat mereka melihat ke belakang, si anak sudah hilang entah ke mana.
Nenek tua itu tersenyum ramah lagi. “Ah, mari masuk. Nama saya Nini, kepala desa sini.”
Mereka berdua masuk ke dalam rumah yang berbau aneh – Tiani tidak bisa menjelaskan baunya, seperti bau apak jamur bercampur amis ikan dan wewangian bunga-bungaan. Bagian dalam rumahnya tidak terlalu rapih dan remang-remang, dan tembok bambunya terlepas di beberapa bagian, membuat cahaya dari luar menerobos masuk ke dalam. Bohlam lampu tergantung di langit-langit tapi masih belum dinyalakan, walau langit mulai gelap di luar.
Semua perabotan rumah terbuat dari bambu dan kayu; Meja makan terletak di sebelah kiri ruangan, disusul kursi panjang dan meja untuk tamu di sebelah kanan. Setumpuk kayu obor yang diikat jadi satu memenuhi sebagian dari kursi panjang itu. Setelah ruang tamu, di sisi kiri terdapat beberapa pintu yang digantungi lukisan jelek seperti coret-coretan anak kecil dengan warna-warna yang tidak pada tempatnya: langit hijau, gunung merah, dan matahari hitam sebagai latar dari desa dan sawah berwarna biru. Tiani mengangkat alisnya saat melihat salah satu lukisan lain di pintu tersebut.
“Shannon,” bisiknya.
Shannon menoleh dan menatap lukisan mahkluk menyerupai manusia, bermata merah membelalak, berkaki empat dan bertangan empat, serta memiliki tubuh bagian depan yang aneh – kaki dan tangannya terhubung ke perut dan dada, persis seperti serangga. Shannon tak berkata apa-apa.
Mereka duduk di kursi panjang sementara Nini pergi ke suatu ruangan, dan kembali tak lama kemudian dengan dua buah gelas berisi teh panas.
“Silahkan diminum. Maaf kursinya agak sempit, soalnya nggak ada tempat untuk menyimpan obor-obor itu lagi,” kata Nini dengan suara seraknya. "Biasa kami pakai untuk ritual penting, jadi saya yang harus simpan."
"Nggak apa, nek," ujar Tiani.
“Sudah lama sekali desa kami tidak kedatangan pengunjung. Biasanya orang yang tersesat akan datang ke sini untuk beristirahat dan menunggu bantuan datang. Desa kami terkenal sebagai desa penyelamat para pendaki gunung,” kata Nini.
“Nama desanya apa, ya, nek?”
“Panggil saya Nini saja. Begini-begini saya belum terlalu tua.” Nini tertawa keras, membuat beberapa giginya yang masih tersisa bergetar seperti mau copot. “Desa ini tak ada nama. Leluhur kami datang ke pulau ini lewat jalur yang tak diketahui orang dan membangun desa yang tak terdaftar ini. Kami hidup sembunyi-sembunyi sampai sekarang karena kaum kami diburu oleh penduduk desa lain di masa lampau – mereka tidak mau menerima pendatang sama sekali. Tapi bagaimana juga, leluhur kami berhasil menetap dan membangun desa kami. Ayo diminum tehnya.”
“Oh, iya. Terima kasih.”
Tiani dan Shannon tidak langsung mengambil gelas di depan mereka, namun Nini terus diam menunggu sambil tersenyum ramah sehingga mereka akhirnya terpaksa mengambil gelas dan menyeruput sedikit teh di dalamnya.
“Kalian boleh menginap di sini selama yang kalian mau, sampai bantuan datang. Kami sangat senang menyambut pengunjung,” kata Nini lagi.
“Tadi semua orang menatap kami dengan tatapan aneh,” kata Shannon.
“Ah, ya. Seperti yang saya bilang, sudah lama tidak ada pengunjung datang ke sini. Dan lagi kalian datang saat hari hampir gelap. Di desa ini kami tidak boleh keluar rumah setelah gelap karena ada kepercayaan bahwa ada monster yang berkeliaran di hutan di saat gelap untuk memangsa manusia, khususnya anak-anak muda.”
“Apa monster itu… itu?” kata Tiani sambil menunjuk lukisan makhluk berkaki-tangan delapan di pintu.
“Bukan, bukan! Itu bukan monster. Itu pelindung desa kami. Monster yang saya bicarakan tinggal di sebuah goa yang sangat gelap dan mengerikan. Tiap malam akan terdengar suara raungan dan lolongan dari goa itu, pertanda sang monster akan muncul dan mencari mangsa. Sangat mengerikannnnn,” rintih Nini dengan wajah menakut-nakuti. Ekspresinya kembali normal sedetik kemudian. “Tapi yang di lukisan itu, adalah dewa pelindung yang menjaga desa kami tetap utuh dan tak tersentuh oleh monster atau desa-desa lain yang bermaksud jahat pada kami.”
Setelah itu Nini mengajak mereka ke salah satu pintu yang membawa mereka ke sebuah kamar tidur yang luas tapi hampir kosong, hanya ada sebuah tempat tidur besar dan meja tanpa kursi di salah satu sisi kamar. Tak ada jendela sama sekali, dan satu-satunya penerangan hanyalah bohlam lampu kuning yang tergantung di langit-langit.
“Saya siapkan makan malam dulu, kalian beristirahatlah,” kata Nini sebelum menutup pintu. “Kamar mandi tepat di samping kamar ini.”
“Terima kasih, Nini.”
Tiani sibuk melihat sekeliling kamar yang remang-remang itu sementara Shannon langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur. Dia mengeluh kesakitan setelah mendarat di kasur yang keras.
“Seenggaknya kita nggak tidur di tanah lagi, kan,” kata Tiani sambil menertawai wajah kecewa Shannon.
“Kasurnya juga sekeras tanah.”
“Kita boleh minta baju ganti nggak, ya? Baju kita udah kotor nggak karuan gini,” gumam Tiani.
“Seharusnya boleh.”
Tiani ikut duduk di tempat tidur dan memang benar, kasurnya keras bukan main. Dia terdiam sebentar, menatapi jari kakinya yang sibuk bermain-main dengan lubang kecil di lantai kamar, sebelum berkata, "Nanti kalau bantuan sudah datang, dan kita sudah pulang ke rumah, apa rencanamu selanjutnya?"