Jelajah

Lidya Arway
Chapter #10

Harapan Bagi Shannon

Tiani dan Shannon jatuh ke dalam lubang dan mendarat pada permukaan tanah yang licin dan miring seperti luncuran, membuat mereka terjatuh semakin dalam di bawah permukaan bumi.

Keduanya berhenti saat permukaan tanah menjadi lurus lagi. Mereka mengerang kesakitan karena jatuh bertumpuk di atas satu sama lain, dan Shannon langsung sibuk mencari kacamatanya yang lepas saat mereka mendarat.

“Kacamataku…”

“Aku nggak nyangka kacamatamu masih bertahan sampai sekarang,” gumam Tiani.

“Ini dia,” kata Shannon saat tangannya menyentuh benda yang familiar itu.

“Tapi toh kita nggak bisa lihat apa-apa di sini.”

Mereka melihat sekitar mereka. Gelap gulita. Hening. Keduanya meraba-raba dan mencoba memanjat luncuran untuk kembali ke atas tapi terlalu licin dan tak ada yang bisa dipegang di sana, sehingga mereka menyerah.

“Ini tempat apaan, sih.” Tiani menghela nafas. “Kenapa nasib kita sial terus?”

“Yang penting lolos dari orang-orang desa gila itu.”

“Mereka nggak bakal kejar kita sampai sini, kan?”

“Sepertinya tidak.”

“Tadi itu kamu pura-pura pingsan, ya?” tanya Tiani. “Lukamu gimana? Aku lihat darahnya cukup banyak.”

“Ah, ya. Nggak apa, darahnya sudah berhenti kok. Aku agak pusing karena tadi lari-lari, tapi sekarang mendingan,” kata Shannon. “Tapi tadi aku beneran pingsan, tahu.”

“Syukurlah kamu nggak apa.”

“Dasar orang-orang gila. Pantes aja mereka diburu desa lain dan ditolak. Sepertinya sudah banyak orang yang tersesat di gunung yang mereka bawa ke sana dan dikurbankan,” kata Shannon kesal.

“Sudahlah, yang penting sekarang gimana caranya kita keluar. Mana nggak bisa lihat apa-apa, lagi.”

“Kalau masalah itu tenang saja. Aku punya solusinya.”

Shannon mengeluarkan korek api dan crayon dari sakunya dan menyulut crayon itu seperti menyalakan lilin. Crayon itu benar-benar menyala seperti yang Shannon katakan sebelumnya, tapi Tiani menyadari crayon itu tinggal setengah batang.

“Kok tinggal setengah?”

“Kan yang setengah aku lempar ke Nini buat bakar dia.”

Tiani mengangkat alisnya. “Kamu beneran pingsan nggak, sih, tadi??”

“Beneran. Tapi dengan setengah batang crayon begini, kita tidak punya banyak waktu.”

Tiani melihat sekeliling mereka dan melihat luncuran yang tadi juga. Benar-benar tak ada yang bisa dipegang untuk membantu mereka memanjat, dan mereka juga tak bisa melihat ujung atas dari luncuran itu – tampaknya mereka jatuh cukup dalam. Angin yang sesekali masuk ke dalam melalui lubang di atas menimbulkan suara seperti lolongan mengerikan yang tadi mereka dengar. Tiani bergidik mendengar suara itu.

“Jadi… kita sekarang coba jalan aja? Siapa tahu ada pintu keluar di tempat lain?” usul Tiani.

“Masuk akal.”

Mereka mengobservasi lingkungan sekitar mereka sekali lagi. Tampaknya mereka berada di sebuah goa yang sangat besar hingga mereka tak bisa melihat ujungnya. Keduanya berjalan berdekatan, tak tahu harus ke arah mana.

“Mungkin kalo kita jalan lurus terus, kita bisa ketemu dinding goa, lalu dari situ kita telusuri dindingnya sampai kita nemuin lubang atau pintu kelu… Oh,” gumam Shannon.

Dia berhenti berjalan tiba-tiba. Tepat di depan mereka sebuah lubang besar di tanah menganga lebar, dan tampaknya lubang itu cukup dalam karena kerikil yang tersepak Shannon jatuh ke dalam sana dan tak menimbulkan suara apapun hingga empat detik kemudian.

“Gila, kalo kita nggak punya cahaya, kita pasti udah jatuh lagi.” Tiani bergidik. “Itu di kanan ada lubang juga kayaknya.”

Mereka terus berjalan, kali ini jauh lebih berhati-hati, menghindari semua lubang yang kerap mereka temukan tiap beberapa langkah. Tak lama kemudian mereka menemukan dinding goa, dan benar saja, ada lubang pada dinding itu, tapi itu bukan pintu keluar. Lubang itu hanya membawa mereka lebih jauh lagi ke dalam goa.

“Hm? Kamu cium sesuatu, nggak?” gumam Shannon.

Tiani mengendus-endus dengan berisik. “Hoek. Bau apaan nih… seperti sulfur?”

“Tapi lebih bau…”

“Busuk. Seperti… bangkai?”

“Bercampur bau bangkai,” kata Shannon setuju. “Mampuslah.”

“Jalan lurus aja, jangan lihat kiri-kanan. Aku nggak mau lihat yang aneh-aneh.”

Mereka kembali berjalan sambil memerhatikan jalan di depan mereka, tapi tampaknya tidak ada lubang jebakan lagi di tanah. Kali ini mereka berjalan lebih lama, sedikit kesal karena harus menahan nafas untuk menghindari bau busuk yang tak hilang-hilang, dan crayon Shannon akhirnya habis.

“Tenang, masih ada korek api,” kata Shannon sebelum Tiani sempat berbicara.

“Eh, tapi di sana ada cahaya.”

Tiani menunjuk ke depan mereka. Dan benar, ada titik-titik cahaya kebiruan yang bergerak-gerak di kejauhan, sehingga mereka berdua segera menghampirinya. Mereka melewati lubang pada dinding goa lagi sebelum mencapai tempat cahaya itu berada – tampaknya goa ini terdiri dari banyak ruangan, dengan lubang besar pada tembok yang menjadi pintu penghubung antar ruangan.

Mereka sampai di ruangan lain itu dan cahaya biru itu tampak semakin banyak – ratusan, bahkan mungkin ribuan, melayang-layang di udara dengan santai seperti hantu. Bau busuk perlahan menghilang dari udara.

“Ini…”

Salah satu cahaya biru lewat di depan wajah mereka dan sekilas mereka bisa melihat wujudnya yang kecil pipih dan berkaki banyak, seperti serangga. Serangga-serangga biru itu lalu terbang merendah dan tampaklah di depan mereka sebuah danau kecil berair keruh, dengan sebuah pintu lagi di ujung lain danau.

“Kita harus nyemplung ke danau ini?” gerutu Tiani.

“Kecuali kita bisa manjat luncuran tadi untuk keluar,” kata Shannon.

“Dalam nggak, ya?”

“Aku lebih cemas kalo ada monster di dalamnya.”

Shannon membuat riak pada permukaan danau dengan kakinya, tapi tak ada monster yang muncul dari dalam air seperti yang dia cemaskan. Mereka saling pandang, lalu tanpa bicara serentak menyemplungkan satu kaki ke dalam danau. Air danau bergerak dan riaknya mencapai tepi danau di ujung yang lain, dan saat mereka tak melihat ada tanda-tanda bahaya, mereka melangkah maju.

Permukaan tanah di dasar danau tidak rata, namun tidak dalam, hanya selutut kira-kira. Tiani dan Shannon berpegangan tangan untuk menjaga keseimbangan, dan meraba-raba dasar danau dengan kaki mereka, memastikan tak ada lubang atau gundukan yang bisa membuat mereka jatuh tercebur.

Keduanya sibuk berjinjit-jinjit menyeberangi danau hingga mereka tidak menyadari perubahan pergerakan serangga-serangga biru di sekitar mereka. Serangga-serangga itu tidak lagi melayang-layang di udara dengan santai – mereka berkerumun tepat di atas danau dan diam di tengah udara. Ketika Tiani dan Shannon mencapai tengah danau, mereka mendengar bunyi dengung yang ramai sekali, dan sebelum mereka sempat menyadari apa yang terjadi, ribuan serangga itu menukik dengan kecepatan tinggi dan menyerang wajah mereka.

Tiani dan Shannon berteriak kaget, dan segera lari sekuat tenaga, tak peduli lagi apa yang ada di dasar danau, dan membuat air berkecipak ke segala arah. Tiani menutup telinganya dan menundukkan kepalanya, takut ada serangga yang menyusup masuk ke telinga atau hidungnya, tapi dia lalu menyadari sesuatu: serangga-serangga itu mengincar mulutnya. Dia bisa merasakan ratusan kaki-kaki kecil menggaruk-garuk bibirnya dengan agresif, seperti ingin masuk ke dalam. Dan sepertinya Shannon juga menyadari hal yang sama, karena keduanya tidak berteriak atau mengeluarkan suara apapun, hanya terus berlari sekuat tenaga dengan mulut terkatup rapat. Tiani mencoba menyingkirkan serangga-serangga itu dari bibirnya tapi percuma karena mereka terlalu banyak – sepuluh pergi, dua puluh datang lagi – hingga bibirnya terluka terkena cakaran tangannya sendiri.

Keduanya sampai di ujung danau dan segera keluar dari dalam air, merayap, bangkit berdiri, terjatuh lagi, bangun lagi, dan berlari secepat yang mereka bisa melewati pintu menuju ruangan selanjutnya.

Serangga-serangga itu pergi begitu saja setelah mereka melewati pintu tersebut, dan kegelapan kembali menyelimuti mereka. Keduanya duduk di tanah dengan nafas tersengal-sengal – Tiani mengumpat sambil mengelap bibirnya dengan lengan bajunya, jijik dikerubungi serangga sebanyak itu.

“Shannon, kamu nggak apa, kan?” tanya Tiani. Dia menoleh ke samping saat tak mendengar jawaban. “Shannon?”

Tiba-tiba terdengar suara batuk yang tidak normal, disusul suara cairan tumpah ke tanah. Shannon terus terbatuk-batuk, kadang tercekat seperti tak bisa bernafas, dan beberapa kali terdengar sesuatu tumpah ke tanah lagi.

“S-Shannon? Kamu kenapa??”

Tiani meraba-raba dalam gelap, dan tangannya menyentuh bahu Shannon, yang segera dia tarik mendekat. Tangan Tiani bergerak naik hingga menyentuh wajah Shannon dan dia terkejut menyentuh sesuatu yang hangat dan basah di sekitar mulut Shannon.

“Shannon…”

“T-Tiani…” rintih Shannon.

“Shannon, jangan bikin aku takut. Kamu kenapa?? Kasih tahu aku!”

Lihat selengkapnya