“Sia! Ayo pergi, entar telat sekolah, lho!”
Sia keluar kamarnya dengan terburu-buru, menenteng tas sekolah dan topinya, tapi seragam yang dikenakannya masih berantakan dan kaos kaki sebelah kirinya belum ditarik sepenuhnya sampai ke betis. Tiani tertawa kecil melihat keponakannya itu.
“Sini, bibi benerin dulu seragammu.”
Kakaknya melewati mereka dengan tergesa-gesa, seragam kerjanya sama berantakannya dengan anaknya.
“Kakak pergi duluan, ya! Udah telat!”
“Eh? Iya. Hati-hati di jalan!” sahut Tiani, tapi kakaknya sudah menghilang di balik pintu depan dan tak lama kemudian dia mendengar suara mesin mobil dihidupkan. Tiani menggeleng kepalanya. “Bapaknya sama aja.”
“Papa nggak rapi banget,” komentar Sia singkat.
Tiani mengangkat alisnya sambil menahan tawa. “Iya, jangan ditiru, ya.”
Dia menepuk seragam Sia yang sudah selesai dia rapihkan dan segera mengajak Sia pergi, menggandeng tangannya sambil memastikan bekal dan buku-buku pelajarannya sudah Sia bawa semua.
Setelah mengantar Sia ke sekolahnya, Tiani lanjut melakukan kegiatan hariannya: pulang dan beres-beres rumah. Tapi sebenarnya tidak banyak yang harus dilakukan siang itu, dia hanya membersihkan debu di ruang tamunya selama beberapa menit, dan pada akhirnya berhenti lama di depan meja kerjanya sambil memandangi taman belakang rumahnya yang asri.
Rumah mereka begitu hening dan damai.
Hampir dua minggu telah lewat sejak mereka diselamatkan dari hutan. Tiani tak pernah melihat kakaknya seheboh saat mereka bertemu kembali – kakaknya melompat, memeluknya dan menangis sejadi-jadinya tanpa memedulikan apapun lagi. Tiani tak akan pernah melupakan perasaan itu: perasaan saat akhirnya pulang, kembali bertemu keluarga yang dicintainya, dan pelukan sang kakak yang begitu erat, begitu takut kehilangan.
Tiani menyentuh kamera tua ayahnya yang dia letakkan di atas meja dan tersenyum. Untung saja saat itu dia memutuskan meninggalkan kamera tuanya di penginapan sebelum naik gunung. Foto-fotonya selama berada di Palangkaraya masih tersimpan di sana, tapi seluruh foto lain dan data yang dia kumpulkan di hutan lenyap entah di belahan hutan sebelah mana.
Tiani menghela nafas. Toh itu tidak penting lagi sekarang.
Setelah meletakkan kemocengnya kembali pada tempatnya, Tiani bergegas keluar rumah dan menghidupkan mesin mobilnya – saatnya dia menjenguk temannya.
Tiani sampai di rumah sakit tak lama kemudian, memarkir mobilnya baik-baik, lalu masuk ke dalam gedung dan naik ke lantai 3, terus berjalan sampai dia tiba di depan sebuah kamar dengan nama Shannon tertulis pada papan nama di pintu. Tiani mengetuk pintu tiga kali lalu membuka pintu pelan-pelan.
“Hei.”
Shannon menoleh ke pintu dari atas tempat tidurnya, kacamata bulatnya yang baru bertengger di atas pangkal hidungnya. Dia tersenyum melihat Tiani dan segera meletakkan buku yang sedang dibacanya.
“Hai, apa kabar?” balas Shannon dengan suara tak jelas.
Tiani langsung tahu Shannon sedang mengunyah-ngunyah permen karet, membuat pitamnya tiba-tiba naik.
“Kamu! Luka belum sembuh benar tapi udah ngunyah permen karet! Keluarin!” sahut Tiani.
“Aku bosen makan yang lembek-lembek terus, lagian udah lama nggak ngunyah permen karet,” kata Shannon bandel. “Lukanya udah kering, kok. Hehe.”
Tiani menghela nafas. “Pokoknya kalau sampai luka lagi aku nggak mau urus.”
“Iya, iya.”
Tiani melihat pembatas buku yang tadi diselipkan Shannon di bukunya sudah mendekati bagian akhir buku. "Udah mau selesai ya, bukunya? Ntar aku bawain buku lain lagi. Kamu terlalu cepet bacanya."
"Soalnya kalau nggak baca buku, aku jadi keinget hutan itu terus." Shannon lalu terdiam, bengong menatap keluar jendela kamarnya. “Aku masih tidak menyangka kita selamat. Dan aku masih hidup berkat kamu. Terima kasih, ya, Tiani.”
“Harusnya aku yang berterimakasih. Berkat kamu kita bisa bertahan sampai bantuan tiba,” kata Tiani.
“Jadi sampai sekarang gak ada yang tahu itu desa apa dan monster apa yang mereka pelihara?” kekeh Shannon. “Aku, sih, nggak percaya monster itu beneran ada. Mereka cuma orang-orang gila entah dari mana yang datang ke sana dan bersembunyi di gunung.”
“Entahlah. Aku juga hanya melihat siluet monster itu dari balik kabut. Mungkin juga itu buatan manusia. Dan mungkin ada desa rahasia lain juga di sekitar sana?” Tiani mengangkat bahunya.
“Jadi kamu kirim tulisan tentang desa dan hutan rahasia di dalam lubang yang kamu ceritakan itu ke Jelajah?” tanya Shannon.
“Nggak. Aku nggak kirim apa-apa ke Jelajah. Aku tidak mau mengekspos tempat itu. Cuma kamu, aku, dan petugas tim SAR yang tahu tentang hutan rahasia itu. Aku cerita tentang goa, tapi tidak bilang ada apa di lubang raksasa itu pada orang lain yang bertanya, bahkan pada kakakku,” kata Tiani.
“Oh. Tapi kameramu nanti gimana? Kamu bilang Arun mengirimkan tulisannya tentang Festival Selarung, kan?”
“Yah, kalau memang dia diterima…”
“Mau kucarikan kamera palsu yang identik dengan kamera tuamu, lalu kita tipu Arun dengan itu?” Shannon tersenyum nakal.
“Nggak usahlah. Kalo memang dia diterima, yah aku harus kasih kameraku."
“Tapi kamu… Ah.”
Shannon cepat-cepat mengambil tisu dari meja kecil di samping tempat tidurnya dan melepehkan permen karetnya yang berbercak darah ke sana. Shannon melirik takut ke arah Tiani yang sedang menatapinya dengan tatapan “apa kubilang?”. Tanpa banyak bicara lagi, dia cepat-cepat membuang permen karetnya dan tersenyum semanis mungkin, membuat Tiani menghela nafas.
“Jadi, ada update apa lagi tentang lukamu dari dokter?” tanya Tiani. “Lukamu banyak sekali, kan, di dalam mulut, sampai dijahit.”
“Ah, tidak ada yang penting. Sudah kubilang, lukanya mulai mengering. Suaraku udah jelas lagi, kan?” kata Shannon. “Mereka juga sudah mengecek apakah ada racun atau tidak, dan hasilnya nihil.”
“Syukurlah.” Tiani lalu terdiam memandangi liontin Shannon yang tergantung di lehernya. "Omong-omong, liontinmu itu... Apa itu pemberian seseorang?"
"Hm?" Shannon menyentuh liontinnya. "Oh, ini aku beli dulu banget."
"Sepertinya berharga sekali untukmu. Ada foto siapa di dalamnya?"