Braaakk!!" Anesya melempar kursi menghantam cermin rias di kamarnya. Seketika serpihan kaca berserakan. Dadanya naik turun, giginya merapat, matanya membulat.
"krieeek"
Tomy membuka pintu, matanya terbelalak melihat serpihan kaca berserakan dilantai. Dengan geram ia mendekati Anesya.
"Anak sinting!"
"Plakk!!"
Bentaknya sembari melayangkan tangan ke pipi Anesya.
Anesya terpental dua langkah kebelakang, tidak ada air mata yang tumpah, tidak ada rengekan kata ampun, ia sudah terbiasa diperlakuan kasar oleh lelaki paruh baya itu.
"Kamu ini maunya apa, sih? Kalau nggak bisa bikin orang tua bangga, setidaknya jangan bikin orang tua kesal! Mengerti?!" Suara Tomy menggelegar hingga dinding kamar seperti bergetar, "bersihkan!" lanjutnya membentak. Matanya tajan mengawasi Anesya yang enggan bergerak.
"Dasar pembangkang!" sentaknya sembari meninggalkan Anesya yang masih mematung dengan wajah memerah.
Anesya menatap punggung ayahnya geram. Selintas terbersit di kepalanya mengambil pecahan kaca lalu menghujamkan ke leher lelaki di depannya.
Tubuhnya merosot ke lantai, benci, sesal, frustasi, mengaduk-aduk jiwanya, ia merasa tak berguna. Dikutipnya satu serpihan cermin yang terbelah membentuk segitiga. Ditatapnya sepasang mata di dalam cermin. Benci, ia benci melihat sepotong wajah di cermin itu.
"Dasar bodoh, eeehhh!" grutunya geram.
"Praakk!!"
Dilemparnya potongan cermin di tangan ke lantai. Anesya menghempas ke tembok. Ingin ia pergi menghilang ditelan bumi.
"Anak tak berguna!" sergahnya pelan menyesali diri.
Diraihnya potongan kaca kecil, diputar-putarnya beling itu. Senyum sinis tergurat diwajahnya. Akalnya tak mampu lagi mencerna yang terjadi, jiwanya seolah terhimpit batu karang hingga membuatnya sekarat.
Di luar kamar, Tomy dan Sinta sedang duduk menyeruput secangkir kopi. Mereka seharian sibuk menyiapkan persiapan keberangkatan besok malam, dan itu membuat mereka lelah. Ditambah ulah Anesya yang menolak ikut.
Tomy dan Sinta tidak tega meninggalkan Anesya seorang diri di Indonesia. Walau pertengahan 2016 ini usianya sudah 23 tahun, namun di mata mereka, putri semata wayangnya itu belum mandiri. Tapi Anesya yang bersikeras tidak mau ikut, membuat mereka kesal.
"Anak itu selalu saja ingin berseberangan dengan kita! Disuruh jadi dokter, pengennya jadi arsitek. Perempuan mau jadi arsitek? Hah, yang benar saja!" Tomy mengoceh di depan istrinya.
"Yang pentingkan sekarang dia sudah menuruti Papa, kuliah di ekonomi seperti Kanaya." sahut Sinta memainkan rambutnya.
"Iya, setelah Papa ancam kalau tidak nurut, papa tidak mau membiayai kuliahnya. Percuma dari kecil di ikutkan les ini itu, otaknya tetap saja bodoh!" Tomy kesal mengingat uang yang ia keluarkan untuk les Anesya tapi hasilnya tidak sesuai yang ia harapkan.
"Mm, gimana kalau selama satu tahun ini, kita titip Anesya di rumah Kanaya? Biar terbuka matanya. Siapa tahu dia bisa seperti Kanaya?"
Usulan Sinta langsung mendapat restu Tomy, kemudian Sinta memanggil Anesya ke kamar.
"Nes! Sini, Mama dan Papa mau bicara!" Sinta berdiri di depan pintu, memanggil putri semata wayangnya tanpa beban, seolah tidak ada sesuatu luar biasa yang baru terjadi.
Anesya terkejut, buru-buru ia sembunyikan beling dari tangan, tanpa membantah, ia bangkit mengikuti Sinta dari belakang. Melihat beling masih berserakan di lantai, Sinta berteriak memanggil Bik Surti dan menyuruh membersihkan kamar Anesya.
Di ruang keluarga, Tomy sudah menunggu, ia mengamati Anesya yang berjalan mendekat. Sinta duduk disampingnya dan Anesya duduk di depannya, mata Anesya melotot pada sudut langit-langit rumah, ia enggan menatap lelaki bertubuh kekar didepannya. Tomy menarik napas kemudian membuka percakapan.
"Oke, kalau kamu tidak mau ikut ke Holland, Papa akan titip kamu di rumah Baros. Biar kamu belajar pada Kanaya. Lihat temanmu itu, karirnya sukses, membuat bangga kedua orang tuanya, tidak seperti kamu! Bikin malu!"