Aku ingin seperti Dia

Sunarti kacaribu
Chapter #2

#2 Sakit Hati

Mentari pagi tersenyum lebar, cahayanya menyeruak menembus jendela kamar Kanaya. Gadis dengan tinggi 168 cm itu, baru saja selesai menunaikan shalat subuh. Ditolehnya Anesya yang masih terlelap, ia ragu saat ingin membangunkan gadis itu. Kanaya memutuskan membiarkannya tidur, ia kembali bersiap berangkat ke kantor.

Di dapur, Niken sedang menyiapkan sarapan, saat keluar kamar, Kanaya segera membantu mamanya. Baros sudah duduk di meja makan. Bagi keluarga ini, sarapan pagi menjadi waktu yang istimewa untuk berkumpul. Sambil menyantap hidangan, mereka ngobrol ringan, atau membahas politik, agama, dan juga masalah di kantor. Biasanya Baros dan Kanaya yang aktif berdebat, sedangkan Niken menjadi wasit.

Berbeda dengan pagi ini, Baros membahas tentang Farel, lelaki yang ingin melamar Kanaya.

"Kamu yakin memilih Farel, Nay? Papa, kok, kurang sreg sama dia."

"Mm, yang bikin Papa kurang sreg, apanya?" tanya Kanaya, sesaat ia berhenti mengunyah.

 

"Sebagai calon menantu, dia kurang sensitif. Masa ngelamar anak gadis orang cuma datang sama Om-nya saja, padahal orangtuanya masih ada."

 

"Pa, kan Farel udah jelasin, kalau orangtuanya jauh di Jogja, lagian ini kan masih acara lamaran, kalo nikahan mereka pasti datang." bela Kanaya.

 

Ia mengerti mengapa Baros kurang sreg pada Farel. Tapi mau bagaimana lagi, orangtua Farel memang mewakilkan kehadiran mereka pada Johan, adik ayah Farel.

 

"Sudahlah, Pa, masalah kecil nggak usah dibesar-besarkan. Yang penting mereka saling mencintai." Niken menengahi.

 

Walau masih terlihat kesal, Baros memilih diam, ia tidak ingin membuat Kanaya sedih. Sebagai orang tua ia hanya bisa mengalah demi kebahagiaan anaknya.

 

Setelah menghabiskan nasi gorengnya, Kanaya pamit berangkat ke kantor. Diciumnya punggung tangan Baros dan Niken. Kanaya melaju mobil yaris merah kesayangannya, menusuri jalanan yang mulai ramai. Sesampainya di kantor, Nadia menyapanya.

“Ehem ehem. Duh, yang mau dilamar, manis banget senyumnya." Nadia menggoda Kanaya sembari berdehem.

 

"Dih, senyum manisku ini emang udah bawaan orok, kali,"  jawab Nadia percaya diri.

 

"Percaya, deh ... Percayaaa," goda Nadia kembali melanjutkan sarapannya.

 

Satu persatu karyawan mulai berdatangan, Kanaya bersiap memimpin briefing. Ia dan tim-nya baru saja memenamgkan tender yang dilelang oleh Pemda setempat. Kanaya sudah mempersiapkan job desk satu minggu ke depan untuk tim-nya. Sedangkan ia terus melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan tender baru.

 

"Nay, ke ruangan saya sebentar, ya!" pinta Exel, direktur oprasional perusahaan.

 

"Baik, Pak." tanpa berlama-lama, setelah menutup pesawat telphon, Kanaya segera menghadap.

 

"Kabarnya, kamu mau nikah, Nay?" tanya Exel setelah Kanaya duduk di depannya.

 

"Bapak dengar gosip dari siapa?" tanya Kanaya balik.

 

"Ada deh, tapi benar, kamu mau nikah?" tanya Exel memastikan.

 

"Rencananya, sih, begitu, Pak. Tapi masih tiga bulan lagi,  kok." ujar Kanaya santai.

 

"Gini, Nay. Maksud saya, sebelum kamu married, gimana kalau kamu mentraining seseorang buat bantu-bantu. Agar kamu tidak terlalu repot nantinya setelah menikah. Apalagi kalau sudah punya anak, pasti repot, kan? Nah, biar kamu ada waktu juga buat keluarga dan pekerjaan kantor tidak terbengkalai, dari sekarang kamu cari asisten." tutur Exel.

Akhirnya kesempatan untuk meredupkan karier Kanaya di kantor ia dapatkan juga. Walau ia tahu, kehadiran Kanaya menjadi bawahannya membuat divisi yang ia pimpin sering mendapat pujian. Namun akhir-akhir ini, ia mulai terusik dengan berbinarnya nama Kanaya. Baginya saat ini Kanaya menjadi duri dalam daging yang kapan saja siap menggeser posisinya. Tapi tanpa Kanaya di sampingnya, Tugasnya pasti sangat berat. Exel hanya ingin memecah perhatian atasan dan rekan-rekannya agar tidak terlalu takjub pada Kanaya. Agar prestasi divisi yang ia pinpin, memang karena kemahirannya membina dan melatih skil anak buahnya, bukan karena sosok Kanaya yang sangat istimewa seperti anggapan mereka saat ini.

Kanaya tertegun sesaat, menurutnya ada benarnya juga ucapan Exel. Tanpa curiga, ia mengaminkan permintaan Exel.

"Baik, Pak. Nanti saya pertimbangkan."

 

Kanaya kembali ke ruangannya. Ia masih belum bisa memutuskan siapa calon asistennya. Sesaat kemudian ia kembali larut dalam pekerjaan.

Di rumah, Anesya terbangun dari tidurnya. Ditolehnya jam dinding yang sudah menunjukkan angka sebelas. Malas-malasan ia menyingkap selimut lalu tertegun beberapa saat. Gadis berambut panjang gelombang itu keluar kamar, dicarinya seseorang yang bisa ia ajak bicara, namun tak ada siapa pun di rumah itu kecuali dirinya. Perlahan ia menuju meja makan, didapatinya sepucuk surat untuknya.

 

Dear, Anesya.

Ini sarapan buat kamu, jika sudah dingin hangatkan di kompor. Maaf ya, Tante, Om, dan Kanaya, berangkat kerja dulu. Jika kamu ingin keluar rumah, kunci pintunya dan bawa saja kuncinya.

Salam sayang,

Tante Niken.

 

Anesya menguak tudung saji, dilihatnya sepiring nasi goreng yang sudah dingin. Anesya tidak selera memakannya, ia kembali ke kamar.

Anesya membuka lemari Kanaya, dipilah-pilahnya baju Kanaya. Tangannya menarik satu gaun merah. Ia tersenyum saat mengenakan gaun itu dan berputar-putat di depan cermin. Setelah puas, dikembakikannya gaun itu ke tempat semula.

 

Anesya kembali meraih album kenangan Kanaya, belum puas ia melihat satu persatu moment yang diabadikan Kanaya. Anesya penasaran pada hidup Kanaya yang sangat menarik perhatian  papanya. Matanya kembali tertuju pada sosok lelaki gagah di samping Kanaya. Lekat ia  menatap foto Farrel, terbersit di benaknya memiliki pasangan seperti sosok lelaki di album itu. Puas menikmati album, Anesya mendekati rak buku. Diambiknya satu buku berjudul  "Marketing  Sukses" dibukanya lembar demi lembar, menikmati setiap kata yang terangkai. Ia membayangkan dirinya adalah Kanaya. Kanaya yang pintar, gaul, berprestasi dan sukses.

 

Anesya menghabiskan waktunya seharian di kamar, karena lapar, terpaksa ia memakan nasi goreng yang sudah mengering dan dingin. Tidak ingin buang waktu, gadis bertubuh tinggi semampai itu lanjut membaca, melahap semua tulisan dengan cepat, hingga matahari lelah ingin kembali ke peraduan.

 

Tanpa disadari Anesya, Niken sudah sejak sore sampai di rumah, bahkan makanan malam sudah terhidang di meja. Setelah adzan magrib Baros juga tiba di rumah. Rutinitas yang sudah bertahun-tahun mereka kerjakan.

Lihat selengkapnya